Views: 5
Solidernews.com – Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Peduli Difabel UGM mengadakan diskusi publik bertema “Ironi Sistem Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia”, Sabtu (26/10) kemarin di Kantor ULD. Acara ini diselenggarakan sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan yang inklusif bagi difabel. Diskusi tersebut menghadirkan Theresia Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., seorang dosen Fakultas Psikologi UGM yang juga co-founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, yang aktif mengadvokasikan isu pendidikan inklusif di Indonesia.
Dalam paparannya, Theresia menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi oleh difabel dalam memperoleh pendidikan yang layak. Salah satu isu utama yang diangkat adalah minimnya jumlah sekolah inklusi di Indonesia. Berdasarkan data yang disampaikannya, hanya sekitar 8,14% dari total 439.823 sekolah di Indonesia yang berstatus inklusi. Hal ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara di Skandinavia yang menjadi kiblat dari pendidikan dunia seperti Finlandia, Denmark dan Kanada, yang menetapkan target minimal 70-80% sekolah harus berstatus inklusi.
“Di Finlandia, semua sekolah adalah sekolah inklusi yang menerima siswa tanpa terkecuali. Namun, di Indonesia, hanya sekitar 8,14% dari total sekolah yang berstatus inklusi,” ungkapnya menggarisbawahi besarnya kesenjangan yang ada.
Theresia juga menyoroti hambatan kultural yang seringkali diabaikan dalam diskusi mengenai pendidikan inklusif. Menurutnya, budaya kompetisi dan sistem pendidikan yang masih hierarkis atau kastanisasi di Indonesia menjadi penghambat utama bagi terciptanya lingkungan pendidikan yang setara. Budaya ini mendorong langgengnya diskriminasi terhadap difabel, membuat mereka kesulitan untuk diterima dalam lingkungan sekolah reguler. Theresia mengajak semua pihak untuk mulai mengubah pola pikir dan budaya pendidikan yang selama ini cenderung materialistis dan berfokus pada prestasi akademis semata.
Menurutnya, kasus anak difabel yang ditolak melalui PPDB jalur afirmasi beberapa waktu lalu menjadi wujud nyata upaya kebiri hak pendidikan anak dengan difabel. Sebagai solusi, Theresia memperkenalkan konsep “Ruang Ketiga,” dalam Gerakan Sekolah Menyenangkan yang ia usung. Dimana terdapat empat aspek penting yaitu lingkungan belajar positif, pembelajaran kontekstual, keterhubungan sekolah, dan pembelajaran emosi sosial.
Ruang Ketiga merupakan ruang interaksi yang setara dan aman untuk semua siswa, termasuk mereka yang difabel. Konsep ini bertujuan menciptakan lingkungan yang mendukung anak untuk mengembangkan potensi terbaiknya.
“Pendidikan inklusi bukan hanya tentang memasukkan anak dengan difabel ke sekolah reguler, tetapi memastikan mereka benar-benar diakomodasi sesuai kebutuhannya,” jelasnya. Theresia menekankan bahwa pendidikan inklusif harus dilihat sebagai proses yang mencakup perubahan di berbagai aspek, termasuk infrastruktur, pola pengajaran, dan lingkungan sosial.
Selain menyampaikan tantangan yang ada, Theresia juga mengapresiasi upaya pemerintah yang sudah mulai memperhatikan pendidikan bagi difabel. Beberapa program, modul, dan kebijakan sekolah inklusi telah diinisiasi, namun ia menilai hal ini masih jauh dari kata cukup. Menurut Theresia, masih banyak sekolah inklusi di Indonesia yang belum mampu memenuhi kebutuhan anak difabel secara optimal, baik dari sisi fasilitas maupun metode pengajaran. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya peran aktif dari seluruh elemen masyarakat, termasuk kalangan akademisi untuk mendorong perubahan yang lebih besar dalam sistem pendidikan inklusif.
Salah satu peserta acara, Siham Hamda Zaula Mumtaza, seorang mahasiswa dengan autisme dari UGM, memberikan testimoninya. Bagi Siham, acara ini menjadi ruang refleksi yang penting, mengingatkan kembali pengalamannya selama bersekolah di lingkungan yang ia anggap masih represif terhadap difabel. Ia mengungkapkan bahwa selama masa sekolah, dirinya sering diperlakukan dengan kurang menyenangkan, bahkan kerap merasa terasing di antara teman-temannya.
“Saya pernah merasa seperti tak benar-benar diterima,” ucap Siham, mengenang pengalaman yang masih menyisakan luka emosional. Menurutnya, acara seperti ini mampu membuka mata banyak orang tentang betapa mendesaknya perubahan dalam sistem pendidikan Indonesia, agar inklusivitas tidak hanya menjadi wacana tetapi benar-benar dapat dirasakan manfaatnya di lapangan.[]
Reporter: Bima Indra
Editor : Ajiwan