Views: 17
Solidernews.com – Terdapat sebuah sorotan menarik dalam Webinar Sharing Session bertema “Layanan ULD dan Pengalaman Mahasiswa Disabilitas di Luar Negeri” yang digelar pada Selasa (3/12) oleh Unit Layanan Disabilitas UGM dalam rangka memperingati Hari Difabel Internasional. Sorotan itu membahas mengenai bagaimana peran bahasa isyarat sebagai media komunikasi bagi Tuli Indonesia, yang disampaikan oleh Phieter Angdika, seorang aktivis Tuli dan alumni Master of Sign Language Education, University of Gallaudet, US.
Perkembangan Bahasa Isyarat
Dalam webinar itu, Phieter Angdika mengungkapkan bahwa saat ini bahasa isyarat terus berkembang agar mampu mengakomodasi kebutuhan tuli di berbagai ranah, termasuk dunia pendidikan. Ia mencontohkan upaya menjadikan bahasa isyarat sebagai bagian dari proses seleksi beasiswa LPDP dan seleksi masuk perguruan tinggi, dan kegiatan akademik lainnya.
Namun, ia juga mengakui bahwa hingga kini, Indonesia belum memiliki standarisasi bahasa isyarat seperti yang dimiliki Amerika Serikat. Di sana, American Sign Language (ASL) sudah menjadi bahasa baku. “Saat ini, komunitas Tuli di Indonesia masih dalam proses panjang menuju standarisasi Bisindo sebagai bahasa pemersatu,” jelasnya.
Meski demikian, Phieter tetap menekankan pentingnya menghargai keberagaman bahasa isyarat daerah. Menurutnya, saat Kongres Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) beberapa waktu lalu, penggunaan bahasa isyarat daerah terbukti tidak menjadi hambatan komunikasi bagi Tuli. Ia juga mencatat bahwa Bisindo kini lebih banyak digunakan oleh komunitas Tuli dibandingkan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI), karena Bisindo merupakan bahasa alami, mirip dengan struktur ASL yang tidak mengikuti tata bahasa Inggris.
Hambatan Standarisasi dan Tantangan di Dunia Akademik
Dalam sesi tanya jawab, Rania Naura Anindhita, seorang Tuli alumni Fakultas Biologi UGM, menyampaikan kekhawatirannya terkait belum adanya standarisasi Bisindo di Indonesia. Ia mempertanyakan apakah Bisindo mampu menjadi akses atau justru menjadi hambatan bagi komunitas Tuli, terutama dalam memahami berbagai disiplin ilmu yang kompleks, seperti biologi.
Rania menyoroti kesenjangan akibat belum adanya standar bahasa isyarat yang seragam, yang mengakibatkan banyak perbedaan interpretasi di antara pengguna. “Ini adalah masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian bersama. Standarisasi akan memberikan dampak signifikan pada kemampuan Tuli memahami sesuatu hal yang kompleks, termasuk pada profesionalisme juru bahasa isyarat,” tegasnya.
Ia cukup meragukan apakah Bisindo mampu menjangkau kosakata ilmiah dan teknis di bidang sains, teknologi, atau disiplin ilmu lainnya. Dimana dalam tingkat pendidikan tinggi tentu memiliki kompleksitas bahasa yang tinggi pula. Sebagai contoh apabila ada seminar keilmuwan farmasi berarti Juru Bahasa Isyarat juga harus mampu ahli dalam pengetahuan di bidang obat-obatan.
Hal itu merujuk pada bagaimana bahasa isyarat dapat menjadi medium yang efektif dalam dunia pendidikan, seperti menggantikan laporan praktikum dengan bahasa isyarat, tanpa kehilangan esensi konsep ilmiah.
“Hambatan kawan-kawan Tuli adalah dalam hal komunikasi dan informasi, maka dari itu alat komunikasi dalam hal ini bahasa isyarat juga harus baku agar seragam, dimanapun kita berada,” tandasnya.
Bahasa Persatuan dalam Keberagaman
Lebih lanjut, Phieter menegaskan bahwa meskipun keberagaman bahasa isyarat adalah hal yang wajar, dirinya sepakat bahwa penting untuk terus mendorong proses standarisasi. Proses ini tidak hanya memperkuat identitas komunitas Tuli tetapi juga membuka jalan bagi mereka untuk lebih mudah beradaptasi di dunia pendidikan. Sebab dengan pendidikan dapat menjadi senjata ampuh dalam mengubah dunia ke arah yang inklusif.
Acara ini memberikan wawasan mendalam mengenai tantangan sekaligus harapan bagi bahasa isyarat di Indonesia. Komunitas Tuli diharapkan dapat terus memperjuangkan standarisasi bahasa isyarat, tanpa melupakan akar budaya lokalnya, sehingga bahasa isyarat tidak hanya menjadi alat komunikasi semata, tetapi juga simbol menuju kemajuan komunitas Tuli di Indonesia.[]
Reporter: Bima Indra
Editor : Ajiwan