Views: 45
Solidernews.com – Kontruksi dunia kerja bagi kelompok difabel sudah dibentuk dari beberapa dekade yang lalu. Menjamurnya klinik pijat difabel netra di semua provinsi, misalnya, tentu saja bukan sekadar kebetulan atau hobi yang seragam dari para difabel penglihatan. Melainkan sebuah hasil dari kebijakan pemerintah, rancangan anggaran dan penyediaan fasilitas dari negara terhadap warganya. Mirisnya, profesi atau bahkan cita-cita para difabel di Indonesia terbentuk dari rasa ketidak nyamanan, pengabaian, diskriminasi dan tekanan dari masyarakat sekitar. Untuk membuktikan opini ini, kita bisa mencoba menghitung jumlah difabel yang sedang berkuliah di sebuah perguruan tinggi yang memiliki jurusan pendidikan khusus. Ada berapa banyak mahasiswa difabel yang berkuliah di jurusan pendidikan khusus, dan ada berapa banyak mahasiswa difabel yang berkuliah di jurusan non pendidikan khusus?
“Waktu itu kupikir, kan kalau aku kuliah di kampus ini, di jurusan PKH, itu sudah jelas akses. Sudah banyak juga kan temanku yang kuliah di sini. Setidaknya sudah amanlah dari diskriminasi,” papar Tyo (mahasiswa jurusan PKH angkatan 2022 di salah satu PTN di Indonesia).
Mirisnya, di Indonesia, difabel tidak merasa bebas bahkan hanya untuk bermimpi dan bercita-cita. Kurangnya kepercayaan masyarakat, fasilitas pablik yang tidak ramah difabel dan diskriminasi dari sejumlah pihak menghambat dan menidakmampukan mereka. Alhasil, misal ketika ingin berkuliah, kebanyakan difabel cenderung akan memilih jurusan pendidikan khusus atau jurusan semacamnya yang terbukti ramah terhadap mahasiswa difabel. Jurusan-jurusan itu di antaranya adalah PKH, PAI dan Sastra Indonesia. Kendati pun satu dekade belakangan ini mulai tumbuh gagasan difabel berhak berkuliah di jurusan apapun yang ia minati di beberapa universitas besar seperti UI, UGM, UPI dan Unhas. Ya jejak ketidak inklusifan dunia pendidikan terhadap seluruh ragam difabel tetap bisa kita temui dengan rasa ketidak percayaan diri dari difabel itu sendiri. Alasan seperti, “aku emang sukanya kuliah jurusan ini,” pasti akan muncul dari para mahasiswa yang memilih jurusan-jurusan yang dikenal aksesibel, contoh seperti PKH.
Dalam ilmu psikologi, fenomena ini disebut dengan istilah desensitisasi. Di mana seseorang sudah tidak lagi mampu merasakan dampak emosional karena rasa cemas, takut dan atau trauma yang berkepanjangan. Dalam ilmu sosial, fenomena ini juga disebut sebagai internalisasi diskriminasi. Ini merujuk pada proses di mana individu akhirnya menerima dan meyakini stereotip negatif yang dilabelkan lingkungan sekitar pada diri dan kelompoknya sebagai hal yang benar dan sudah seharusnya terjadi. Kedua fenomena ini dengan sangat definitif akan semakin menidak mampukan difabel.
Tentu saja gerakan organisasi difabel di Indonesia melalui aksi nyata, pengingkatan kapasitas difabel itu sendiri dan penyebaran kesadaran pada masyarakat luas terus berjalan dan melahirkan praktik-praktik baik. Misalnya seperti kepercayaan yang akhirnya datang dari universitas untuk menerima dan memperlakukan mahasiswa difabel dengan selayaknya mahasiswa nondifabel, juga dengan lahirnya banyak kebijakan yang membela hak-hak kelompok difabel. Keberhasilan dan praktik baik ini perlu dirayakan, tetapi juga kita harus tetap mencari kerentanan berikutnya. Kekurangan dan kelemahan dari sistem pemerintahan yang menidakmampukan difabel, agar menjadi sasaran advokasi yang selanjutnya perlu di upayakan bersama-sama.
Adanya fenomena desensitisasi dan internalisasi diskriminasi juga perlu untuk dipikirkan dan menjadi konsentrasi baru, karena dua fenomena ini akan sangat menghambat implementasi kebijakan dan pemenuhan hak yang sudah berhasil diadvokasi oleh organisasi difabel di Indonesia. Dan sebagai hal yang mengakar dalam mentalitas para difabel, ini memerlukan perhatian ekstra. Dengan dua fenomena ini, hambatan tidak lagi hanya berasal dari eksternal diri mereka, tetapi juga berasal dari internal diri mereka sendiri.
Rendah diri, merasa tak pantas, tidak percaya diri dan perasaan-perasaan negatif lainnya adalah aspek-aspek psikologi yang akan berdampak negatif juga pada kehidupan difabel. Maraknya pertumbuhan pengamen difabel di kota-kota besar belakangan ini, misalnya, menjadi salah satu tanda dampak dari desensitisasi dan internalisasi diskriminasi. Selain itu juga sebenarnya ada faktor lain, seperti kurangnya skil difabel dan minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia bagi kelompok difabel. Tapi tetap, pengabaian hak dan diskriminasi yang berjalan dalam jangka waktu yang lama , tidak bisa dipungkiri juga mempengaruhi pertumbuhan pengamen difabel yang semakin signifikan belakangan ini.
Desensitisasi dan internalisasi diskriminasi adalah dua hal kecil yang berdampak besar pada masa depan lapangan pekerjaan bagi difabel. Faktor lain yang perlu menyita perhatian organisasi difabel tentu saja banyak dan lebih kompleks, tapi persoalan mentalitas buah dari trauma yang terlanjur mengakar ini tentu saja juga tidak bisa dipandang sepele. Hal paling memungkinkan yang dapat dilakukan dengan anggaran terbatas adalah kampanye masif. Sasarannya bukan masyarakat luas, tetapi terbatas pada masyarakat difabel. Kepercayaan diri mereka kepada pemerintah, kepedulian negara dan regulasi yang mendukung peningkatan diri difabel harus dibangun bersama-sama. Dengan harapan bahwa kedepannya, kelompok difabel bisa tumbuh lebih optimis, percaya diri untuk memilih impian dan cita-cita mereka. Memercayai bahwa ruang-ruang publik sudah mulai terbuka untuk melibatkan difabel bukan hanya sebagai objek penerima bantuan, tetapi juga subjek pekerja dalam sebuah negara.[]
Penulis: Nabila May
Editor : Ajiwan