Views: 63
Dalam pandangan yang kritis, 97,06% dari populasi difabel, hampir seluruh populasi difabel diproyeksikan masih terpinggirkan, tidak terdaftar dalam DPT. Ironisnya, mayoritas dari mereka masih terkungkung dalam ketidakpartisipasian, terpinggirkan dari proses demokrasi yang seharusnya inklusif.
Solidernews.com – Mendekati tanggal 14 Februari, momentum dimulainya Pemilihan Umum (Pemilu) memperlihatkan kenyataan yang semakin intens terhadap partisipasi pemilih, termasuk di antaranya adalah keterlibatan difabel dalam proses demokrasi. Namun, di balik gebyar demokrasi ini, tersembunyi tantangan yang masih menghambat partisipasi penuh mereka.
Berdasarkan data statistik yang tersedia, keterlibatan difabel dalam Pemilu masih merupakan titik rawan. Banyak dari mereka yang belum terdaftar secara resmi sebagai pemilih, memunculkan ketidakpastian dan kekhawatiran akan kesetaraan hak politik mereka. Meskipun telah ada upaya untuk meningkatkan inklusi difabel dalam proses pemilihan, kenyataannya masih jauh dari memuaskan.
Tantangan utama terletak pada kurangnya pemahaman dan kesadaran di kalangan penyelenggara pemilu tentang kebutuhan serta hak-hak yang harus diberikan kepada pemilih difabel. Hal ini menciptakan hambatan yang signifikan bagi mereka yang berkebutuhan khusus untuk turut serta dalam menentukan masa depan negara.
Sebagai hasilnya, upaya-upaya untuk memperbaiki aksesibilitas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak pemilih difabel menjadi semakin mendesak. Dengan demikian, harapan akan inklusi penuh dalam proses demokrasi dapat menjadi kenyataan bagi setiap warga negara, tanpa terkecuali.
Dekatnya Pemilu 2024 telah menyorot kekurangan sistem dalam memperhatikan hak suara para warga difabel. Data terkini dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan sebuah fakta yang memprihatinkan: hanya 0,54% dari total pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) merupakan pemilih difabel. Angka ini sangat jauh dari proyeksi BPS yang menaksir sekitar 37.414.960 pemilih difabel.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah ini disebabkan oleh kesalahan dalam pengumpulan data ataukah kelalaian yang lebih serius? Pertanyaan ini menekan perlunya audit menyeluruh terhadap sistem registrasi pemilih, untuk memastikan bahwa setiap suara, tidak peduli latar belakang atau keadaan fisiknya, diakomodasi dan dihargai sepenuhnya.
Meskipun telah ada upaya untuk meningkatkan inklusi difabel dalam proses politik, data menunjukkan bahwa masih ada jurang besar yang perlu ditutup. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk tidak hanya menyuarakan komitmen pada inklusi, tetapi juga mengambil tindakan konkret untuk memastikan bahwa hak suara setiap warga negara, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus, dijamin sepenuhnya.
Hak Pilih Bagi Difabel, Survei Membuka Tabir Realitas Tersembunyi
Survei Persepsi Pemilih Difabel pada Pemilu 2024 telah mengungkapkan serangkaian tantangan yang melingkupi pengalaman mereka dalam mengekspresikan hak politik mereka. Dalam eksplorasi mendalam terhadap realitas pemilih difabel, hasil survei menyoroti kehampaan pengakuan resmi terhadap mereka dalam sistem pemilihan.
Dari data yang terhimpun, terungkap bahwa hanya 35,7% dari total pemilih difabel yang terdaftar secara resmi, sementara sisanya, mencapai 44,9%, masih terdaftar sebagai pemilih biasa. Mengejutkan, sebesar 19,4% dari prosentase ini bahkan tidak menyadari status mereka sebagai pemilih, menyoroti minimnya kesadaran akan hak-hak mereka dalam proses pemilihan.
Tantangan utama yang terkuak adalah kurangnya pemahaman dan kesadaran di kalangan penyelenggara pemilu mengenai kebutuhan serta hak-hak yang harus diberikan kepada pemilih difabel. Hasil survei ini, yang berasal dari kolaborasi antara Pusat Rehabilitasi Yakkum (PRYKUM), Formasi Disabilitas, dan Sasana Inkllusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), membuka mata akan eskalasi permasalahan yang belum terselesaikan.
Implikasi dari temuan ini memperlihatkan perlunya peningkatan aksesibilitas layanan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), guna memastikan bahwa semua warga, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, dapat melaksanakan hak pilihnya tanpa kendala berarti. Tak hanya itu, diperlukan upaya serius untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak serta kebutuhan yang harus dipenuhi bagi pemilih difabel.
Diperlukan langkah-langkah perbaikan konkret dan kolaboratif yang diambil segera oleh pemerintah, lembaga pemilihan, dan seluruh masyarakat. Hanya melalui tindakan bersama ini, setiap suara, termasuk suara pemilih difabel, dapat diakui dan dihargai sepenuhnya dalam proses demokrasi yang seharusnya inklusif bagi seluruh rakyatnya.
Keterlibatan Difabel dalam Proses Demokrasi, Tantangan Nyata yang Harus Diselesaikan
Data statistik yang telah diungkap menunjukkan bahwa masih banyak yang harus diperbaiki, terutama terkait status terdaftar atau tidaknya difabel dalam Pemilu kali ini. Fakta ini menjadi sorotan yang jelas bagi penyelenggara pemilu, menunjukkan adanya potensi diskriminasi terhadap difabel dalam proses demokrasi.
Hasil survei ini memanggil untuk evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilu yang masih belum sepenuhnya inklusif bagi teman-teman difabel. Masalah registrasi pemilih difabel harus ditangani secara serius dan dipecahkan dengan langkah-langkah perbaikan yang berkelanjutan.
Untuk menghindari pertanyaan tentang apakah teman-teman difabel telah didiskriminasi, tindakan konkret dan berkelanjutan harus diambil. Ini termasuk peningkatan aksesibilitas di Tempat Pemungutan Suara (TPS), pelatihan bagi petugas pemilu tentang kebutuhan pemilih difabel, dan pengawasan ketat terhadap proses registrasi pemilih.
Hanya dengan memastikan bahwa setiap individu, tanpa terkecuali, dapat dengan efektif dan setara melaksanakan hak politiknya, kita dapat menuju ke arah proses demokrasi yang benar-benar inklusif dan adil bagi semua warga negara.
Meskipun hanya tersisa 2,94% yang terdaftar, artinya masih ada 97,06% dari populasi difabel yang belum terdaftar, kita tidak boleh menyerah. Setiap warga negara, termasuk teman-teman difabel, berhak untuk diakui dan dihargai sepenuhnya dalam proses demokrasi. Angka 97,06% harus ditekan lagi, KPU sebagai penyelenggara harus terbuka dan mau memperbaiki kenyataan ini.[]
Reporter: Hasan Basri
Editor : Ajiwan