Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Orang menutup kepala dengan kertas pembungkus bertanda "?"

Difabel Rentan Alami Kiris Jati Diri, Ini Cara Mengatasinya

Views: 17

Solidernews.com – Sobat inklusif, pernahkah Kamu merasa bingung tentang hidup, kehilangan arah, tidak tahu siapa diri Kamu, atau merasa tidak memiliki cita-cita dan tujuan? Jika pernah, Kamu mungkin sedang mengalami krisis jati diri. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh psikolog terkemuka, Erik Erikson, pada tahun 1950-an melalui teorinya tentang perkembangan psikososial. Menurut Erikson, krisis jati diri sering muncul selama masa transisi dalam kehidupan, seperti saat remaja, memasuki fase dewasa muda, atau mengalami perubahan besar lainnya. Saat mengalami krisis ini, kita sering kali mempertanyakan diri sendiri dengan pertanyaan seperti “Siapa saya sebenarnya?” atau “Apa yang ingin saya capai?” Akibatnya, kita menjadi gelisah, cemas, dan merasa tidak nyaman dengan diri sendiri.

Tanda-Tanda Krisis Jati Diri

Untuk mempermudah mengenali krisis jati diri, berikut adalah beberapa tanda umum yang sering muncul:

 

  1. Kebingungan tentang tujuan hidup:  Rasanya seperti menjalani hidup tanpa arah, seperti mengemudi tanpa bantuan GPS.
  2. Keraguan terhadap nilai dan keyakinan:  Secara tiba-tiba, Kamu merasa tidak yakin dengan prinsip-prinsip yang selama ini dipegang.
  3. Ketidaknyamanan dengan diri sendiri:  Seolah-olah ada yang salah dalam diri ini.
  4. Ketakutan akan masa depan:  Perasaan cemas dan takut yang berlebihan karena tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

 

Krisis Jati Diri pada Difabel

Bagaimana jika krisis jati diri ini dialami oleh teman-teman difabel? Tantangan yang dihadapi bisa jauh lebih besar. Difabel sering kali harus berhadapan dengan stigma sosial, hambatan fisik atau mental, serta pandangan negatif dari lingkungan sekitar. Semua ini dapat semakin memperkuat perasaan bimbang terhadap identitas diri. Misalnya, seorang difabel mungkin merasa, “Saya berbeda dari orang lain” atau “Saya tidak bisa seperti mereka,” padahal kenyataannya, kemampuan mereka setara dan memiliki nilai yang sama.

Faktor-faktor yang Membuat Difabel Rentan terhadap Krisis Jati Diri:

  1. Stigma Sosial:  Pandangan masyarakat yang keliru sering kali menganggap difabel tidak mampu, yang dapat mengurangi rasa percaya diri.
  2. Keterbatasan Fisik atau Mental:  Difabel mungkin merasa frustasi karena tidak dapat memenuhi ekspektasi, baik dari orang lain maupun dari diri sendiri.
  3. Perubahan Identitas:  Ketika seseorang menjadi difabel akibat kecelakaan atau penyakit, mereka mungkin merasa kehilangan identitas lama dan bingung dengan identitas baru.
  4. Pengucilan Sosial atau Perundungan:  Rasa kesepian yang disebabkan oleh pengucilan atau bullying dapat memperdalam krisis jati diri.

 

 Solusi untuk Mengatasi Krisis Jati Diri pada Difabel

Bagaimana cara mengatasi krisis jati diri ini? Berikut beberapa solusi yang dapat membantu:

  1. Penerimaan Diri (Self-Acceptance):  Terimalah kondisi diri sendiri, baik fisik maupun mental. Ini adalah langkah pertama untuk mulai melihat sisi positif dari diri kita.
  2. Dukungan Sosial:  Cari lingkungan yang mendukung, baik keluarga, teman, maupun komunitas difabel. Dukungan dari orang lain membantu kita merasa diterima dan dihargai.
  3. Pendampingan Psikologis dan Konseling:  Konsultasi dengan psikolog atau konselor dapat membantu memahami diri sendiri lebih dalam dan menemukan arah hidup yang sesuai.
  4. Pengembangan Diri dan Keterampilan:  Gali potensi diri dengan mempelajari keterampilan baru. Hal ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan produktivitas.
  5. Menetapkan Tujuan Hidup yang Realistis:  Tentukan tujuan yang sesuai dengan kondisi pribadi dan mudah dicapai, baik dalam pengembangan diri, karier, atau keterlibatan sosial.
  6. Promosi Kemandirian:  Difabel juga bisa mandiri. Langkah kecil seperti mengelola keuangan pribadi atau berpartisipasi dalam kegiatan sosial dapat memberikan rasa kontrol atas hidup.
  7. Bergabung dengan Komunitas:  Terlibatlah dalam komunitas difabel atau komunitas umum untuk merasa dihargai dan menunjukkan bahwa hambatan fisik tidak membatasi nilai diri.
  8. Edukasi Publik untuk Mengurangi Stigma:  Krisis jati diri sering dipicu oleh stigma sosial, jadi penting untuk mengedukasi masyarakat tentang potensi difabel. Jika stigma berkurang, difabel akan lebih mudah merasa diterima dan dihargai.

Cerita Teman-teman Difabel Tentang Krisis Jati Diri  yang mereka rasakan dan Cara Mereka  Mengatasinya

Dua teman difabel, yaitu Triana Puspita Sari (difabel netra) dan Abimanyu (difabel fisik), berbagi pengalaman mereka terkait krisis jati diri yang mereka alami serta cara mereka mengatasinya kepada Solidernews.com, pada 10/29. Triana Puspita Sari  berbicara mengenai pengalamannya sebagai difabel netra dan bagaimana ia menghadapi keraguan terhadap kemampuan dirinya. Ia mengatakan, “Kalau ditanya masalah krisis jati diri apakah pernah mengalaminya, jawabannya pernah. Sebagai difabel, khususnya difabel netra, kadang kita nggak yakin sama diri sendiri kalau kita tuh bisa ngelakuin seperti orang-orang pada umumnya.” Triana menceritakan bagaimana di masa lalu ia sempat merasa tidak percaya diri dalam menjalani aktivitas sehari-hari, bersekolah, atau memiliki pekerjaan seperti orang lain. Ia merasa tidak yakin bahwa ia bisa melakukan hal-hal tersebut.

Poin perubahan terjadi ketika ia bergabung dengan teman-teman sesama difabel di sebuah asrama setelah lulus SD. Di sana, Triana menyadari bahwa ada orang-orang yang menghadapi tantangan yang lebih berat daripada dirinya. “Dari situ saya menyadari kalau ada yang lebih susah lagi daripada saya,” ujarnya.

Selain itu, ia juga berkisah tentang pengalaman terlibat dalam olahraga Judo. Meskipun pada awalnya tidak yakin dengan kemampuannya, terutama setelah mengalami cedera di bahu saat bertanding, Triana tetap melanjutkan perjuangannya. “Rasa percaya diri itu masih belum ada… tetapi saya berpikir untuk kedua kalinya kalau saya nyerah sudah mau di titik final,” katanya. Peran orang tua dan teman-temannya sangat besar dalam membantunya membangun kembali kepercayaan diri yang perlahan muncul seiring berjalannya waktu.

Triana menutup ceritanya dengan menyampaikan pesan bahwa penting untuk tidak terlalu lama meragukan diri sendiri. “Jalanin aja, yakin kalau kita itu bisa,” tegasnya. Baginya, meskipun setiap orang memiliki keterbatasan, setiap orang juga memiliki kemampuan dan kelebihan.

Sementara itu, Abimanyu juga membagikan kisahnya yang sedang menghadapi krisis jati diri setelah lulus kuliah. “Sejujurnya hal itu sedang kualami sekarang,” akunya. Ia menggambarkan perasaannya seperti hidupnya telah “di-reset ulang” dari titik nol. Kebingungan melanda tentang arah hidupnya dan ia merasa iri melihat teman-temannya yang seolah sudah melangkah lebih jauh dalam hidup mereka, sementara dirinya merasa stagnan.

Abimanyu mengakui bahwa situasi ini membawanya untuk bertanya kepada Tuhan tentang alasan keberadaannya di dunia. Namun, ia tak tinggal diam. Untuk mengatasi krisis ini, Abimanyu berusaha “meng-upgrade” dirinya dengan mengikuti berbagai pelatihan dan seminar kesehatan mental. Ia berharap dengan cara ini, ia bisa menjaga kewarasannya dan menemukan arah hidup yang lebih jelas. “Yang sedang aku lakukan sekarang mencoba mengupgrade diri dengan banyak ikut pelatihan dan seminar kesehatan mental biar tetap waras,” tutupnya.

Dari cerita  kedua teman difabel di atas, terlihat bahwa baik Triana maupun Abimanyu berjuang dengan caranya masing-masing dalam menghadapi krisis jati diri. Dukungan dari orang-orang di sekitar serta usaha untuk terus berkembang menjadi kunci bagi mereka untuk tetap maju di tengah hambatan yang mereka hadapi.

Krisis jati diri dapat terjadi pada siapa saja, namun bagi difabel, tantangannya bisa lebih besar akibat stigma, keterbatasan, dan isolasi sosial. Untuk mengatasi krisis ini, penting bagi difabel untuk menerima diri, mencari dukungan sosial, mendapatkan konseling, dan terus mengembangkan diri. Dengan pendekatan yang tepat, difabel dapat melewati krisis jati diri dan menemukan makna hidup yang selaras dengan identitas diri yang kuat dan positif. Jadi, jangan biarkan krisis jati diri mengendalikan hidupmu, ya![]

 

Reporter : Andi Syam

Editor      : Ajiwan

Referensi:

– Dunn, D. S., & Burcaw, S. (2013). *Disability Identity: Exploring Narrative, Self-concept, and Stigma*. In *Rehabilitation Psychology*, 58(2), 148-157.

– Erikson, E. H. (1968). *Identity: Youth and Crisis*. New York: Norton.

– Smart, J. F., & Smart, D. W. (2006). “Models of Disability: The Positioning of People with Disability in Society.” In *Rehabilitation Counseling Bulletin*, 49(4), 207-217.

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content