Views: 18
Solidernews.com. DIFABEL perempuan. Adalah makhluk dengan kerentanan dua kali lipat dibandingkan dengan makhluk lain di bumi ini. Terlebih ketika era patriarki, atau stigma kelam ini tak kunjung hilang. Ketika masyarakat belum bersinergi memutus rantai patriarki. Bahkan, tak jarang masih dinormalisasi. Apa dan bagaimana dampak bagi difabel perempuan?
Sebagaimana disampaikan Deputi Perlindungan Hak Perempuan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Venetia Danesh, difabel perempuan memiliki situasi ganda. Sebagai perempuan saja sudah distigma lemah. Terlebih sebagai difabel, kelompok ini dilabeli sebagai orang yang tak mampu.
“Stigma sebagai perempuan saja sudah menjadi penghalang bagi mereka. Ditambah dengan kondisi difabilitasnya, difabel perempuan mengalami diskriminasi ganda. Sub-ordinasi yang rentan menjadi korban kekerasan,” mengutip pernyataan Venetia dalam konferensi pers-nya, pada akhir tahun 2023.
Kekerasan sering menimpa perempuan, lantaran konstrusksi gender telah menempatkan perempuan sebagai orang kelas dua. Kondisi ini kian rentan pada difabel perempuan di era perspektif patriarki yang melenggang hingga kini. Sementara, perempuan difabel harus menjalani fungsi domestik dan sosialnya, demi memenuhi kebutuhan keluarga. Karenanya, mereka tetap harus keluar rumah, karena peran tersebut.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) 2020, terhadap 55 responden difabel perempuan rentang usia 15-65 tahun, sebanyak 80 persen mengalami kekerasan berbasis gender. Kebanyakan kekerasan yang dialami adalah diskriminasi, pelecehan seksual, dan psikis. Banyak juga difabel perempuan yang mengalami penipuan.
Mengutip publikasi hasil penelitian HWDI, pelecehan seksual terhadap difabel perempuan dialami di dunia nyata maupun dunia maya. Di dunia nyata, tindakan pelecehan seksual tersebut ialah diraba dan disentuh tubuhnya. Sedang di dunia maya, mereka diminta menunjukkan alat kelaminnya atau melakukan gerakan sensual secara online.
Mengatasi berbagai permasalahan tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah menerbitkan panduan khusus penanganan dan pendampingan bagi difabel perempuan. Panduan tersebut diterbitkan sejak era pandemi Covid, Mei 2020, melalui tautan: https://r.search.yahoo.com/_ylt=AwrKEZEYMudlL.AXBRnLQwx.;_ylu=Y29sbwNzZzMEcG9zAzEEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1709679256/RO=10/RU=https%3a%2f%2finfeksiemerging.kemkes.go.id%2fdocument%2fdownload%2f9PB/RK=2/RS=5MU9bOD1chHwSqgnJx6QbyyGiCA-
Korban enggan melapor
Fakta di lapangan, difabel perempuan dengan kasus kekerasan berbasis gender sebagian besar enggan melapor. Kurang lebih sebanyak 68 persen, mereka tidak melaporkan kasusnya. Berbagai faktor menjadi penyebab. Di antaranya, minim atau ketiadaan akses, stigma, serta budaya patriarkis yang masih mengakar.
Sebagai catatan, terdapat beberapa lembaga sebagai tempat pelaporan kasus kekerasan yang dialami difabel perempuan. Lembaga tersebut ialah, organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, polisi, serta pengurus rukun tetangga/rukun warga.
Perspektif yang berpihak pada korban, harus ditumbuhkan pada kepala tiap-tiap warga. Karenanya, dukungan dari keluarga dan lingkungan masyarakat dibutuhkan oleh korban. Dengan harapan, menjadi kekuatan dan keberanian bagi korban serta keluarga melapor.
Payung hukum dan substansinya
Payung hukum perlindungan korban dan saksi telah dimiliki Indonesia. Yakni dengan pengesahan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada April 2022. Undang-undang ini menjadi jaminan bagi korban dan saksi. Karenanya, keberanian melapor saatnya ditumbuhkan. UU TPKS juga mengatur, pelaporan yang tidak hanya dilakukan korban. Namun, masyarakat sekitar korban, dapat menjadi pelapor atas kasus disaksikannya.
Secara substansi terdapat enam elemen kunci yang dimandatkan dalam UU TPKS. Yaitu, pemidanaan, pencegahan, pemulihan, tindak pidana, pemantauan, serta hukum acara.
Substansi tindak pidana yang diatur dalam UU TPKS sebanyak sembilan bentuk kekerasan seksual. Yakni, pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, kekerasan seksual dengan sarana elektonik, dan eksploitasi seksual.
Ada pun, pemaksaan aborsi dan pemerkosaan tidak masuk dalam UU TPKS. Namun pemerkosaan diatur di dalam pasal jembatan, yang akan diatur secara lebih detail di RKUHP. Dengan demikian, korban pemerkosaan dapat menggunakan hukum acara UU TPKS, jika dalam RUU RKUHP juga diatur pasal jembatannya.
Menyoal hukum acara, UU TPKS dinilai progresif mengatur restitusi (ganti rugi) yang merupakan hak korban. Sita restitusi dapat dilakukan sejak penyidikan. Jika pelaku tidak mampu, maka restitusi akan dibayarkan oleh negara melalui victim trust fund atau dana bantuan korban yang dikelola oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Layanan terpadu untuk penanganan dan pemulihan korban juga menjadi salah satu nyawa undang-undang ini. Di dalamnya, pendamping berbasis komunitas juga dieksplisitkan. Mengatur pula pemberatan pidana bagi pejabat negara, tenaga medis, tenaga pendidik, pemuka agama, keluarga. Bagi pelaku korporasi, juga ada pencabutan ijin usaha, pembekuan seluruh/sebagian kegiatan korporasi.[]
Penulis: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief