Views: 5
Solidernews.com – pemberdayaan bagi difabel merupakan isu yang tak kunjung habis dibicarakan. Memberdayakan difabel berarti berupaya agar difabel yang memeiliki kemampuan berbeda dapat berdaya dan bermanfaat dan bahkan dapat hidup mandiri di masyarakat. Mengupayakan hal ini bukan hal mudah. Banyak hambatan, tantangan, dan bahkan jalan terjal untuk melaluinya.
Pemberdayaan bagi kelompok difabel sudah diupayakan sejumlah pihak dari berbagai masa. Dahulu, pemberdayaan bagi difabel yang diupayakan cenderung asumtif dan cenderung membangun stigma dan identik. Pemberdayaan bagi difabel netra misalnya, identik dengan kursus dan pelatihan memijat dengan output banyak kawan netra yang membuka usaha panti pijat di berbagai tempat, sementara untuk difabel fisik diberi pelatihan dan diberdayakan lewat kursus menjahit sehingga banyak kawan difabel e jadi penjahit dan menjamurlah penjahit difabel di berbagai daerah. Hal ini memunculka stigma di masyarakat serta kurang inovatif dan cenderung menutup potensi dan keahlian lain bagi difabel. Difabel netra kemudian identic dan stigma sebagai pemijat dan kemudian ofer produksi pemijat, akhirnya klinik pijat menjadi sepi dan tidak laku. Meninjau hal tersebut, penulis akhirnya bertemu dengan Kopi Egalita dalam acara peresmian pelatihan barista bagi difabel netra pada 20/06/2024. Dari tema, kajian, dan demo produk yang disajikan, penulis cukup kagum dan tercengang pada pencapaian Kopi Egalita dalam memberdayakan difabel netra melalui skill baru, yang masih jarang ditemui di Yogyakarta. Berikut cerita pengalaman rekan peserta dalam mengupgrade diri dan keahlian baru sebagai barista difabel netra.
Bermodal Suka Ngopi dan Kenekatan Hati
Mengapa Kopi Egalita mencanangkan pelatihan barista bagi difabel netra ini? Gagasan yang mindblowing bagi difabel netra Yogyakarta ini, mulanya merupakan cita- cita dari CEO kafe ini, yaitu Irwan Dwi Kustanto. Ia bersama Setia Adi Purwanta ketua yayasan Dria Manunggal Indonesia selaku yayasan yang menaungi Kopi Egalita, memutuskan untuk menggeberak dan melakukan langkah visioner untuk pengembangan keahlian bagi difabel netra di Yogyakarta melalui pelatihan barista. Akhirnya dengan persiapan satu bulan, mereka menyebar informasi pelatihan. Dari informasi yang mereka sebarkan, terdapat lebih dari 50 peserta yang mendaftar.
Dalam sambutannya Setia Adi menjelaskan bahwa Irwan merupakan difabel netra yang mahir meracik kopi. Hal itu dibuktikan dengan berdirinya Kafe Egalita. Selain itu saking dalamnya menyelami kopi, Irwan juga memiliki sebuah buku terbarunya yang berjenis antologi puisi yang bertemakan kopi.
“irwan ini merupakan peracik kopi handal. Ia jugalah yang melakukan pengembangan dan pembuatan strategi pengajaran untuk pelatihan barista untuk difabel netra yang hari ini diresmikan,” imbuh Setia Adi, dalam sambutannya di pembukaan pelatihan barista untuk difabel netra, 20/06/2024.
Lewat bekal yang dimiliki Irwan, Setia Adi, dan rekan Egalita melakukan kerja sama dengan beberapa pihak untuk mewujudkan pelatihan tersebut. Namun pelatihan ini baru terbuka untuk difabel netra dengan kategori lowvision. Akhirnya dari 50-an pendaftar, terjaringlah 5 peserta yang lolos untuk mengikuti pelatihan barista untuk difabel netra ini.
Saat solidernews.com bertanya pada para peserta, antara lain Sigit, Ridho, dan Ardit yang semuanya adalah difabel netra, mengenai proses ikut jadi barista difabel netra. Mereka bertiga meski memiliki latar belakang masing-masing, nyatanya memang memiliki kecenderungan dan kesukaan pada minuman kental dan berwarna hitam ini. Jadi, karena mereka bertiga adalah penikmat kopi, saat ada info dari instagram @kopiegalita, mereka lantas nekat mendaftar.
“Saya itu sama sekali tidak ada basic apapun mas tentang kopi dan per-baristaan. Namun, saat ada info dari instagram @kopiegalita, jujur saya tertarik dan ingin mencoba hal baru tersebut. Jadi, hanya modal suka kopi hitam dan ingin belajar,” tutur Sigit pada 20/06/2024.
“Saya juga, mas. Hanya karena dapat info dari adik yang kebetulan sedang sekolah di Jogja. Jadi, saya yang selaku berasal dari orang ngapak, juga tertarik. Terus ya, itu. Karena saya juga ingin belajar dan menambah keahlian. Karena sebelumnya saya kerja ikut orang,” timpal Ridho.
“Kalau saya sebetulnya di rumah sudah ada usaha, mas. Seperti bantu keluarga jaga warung, memijat, dan lain-lain. Tapi, karena saya menyadari bahwasannya saya adalah anak pertama, saya harus selalu meningkatkan skill yang sesuai kebutuhan zaman dan tidak lekang oleh waktu. Saya juga penikmat kopi, mas. Apalagi jenis Robusta. Makanya saat tahu info dari @kopiegalita, akhirnya saya ikut daftar. Dan beruntungnya saya diterima dari sekian peserta yang mendaftar,” sahut Ardit.
Mencoba, berusaha, dan berkomitmen jadi kekuatan barista difabel netra
Manakala solidernews.com menanyakan soal tantangan yang dihadapi kawan-kawan peserta pelatihan barista ini, penulis akhirnya mendapatkan pemetaan perjuangan mereka. Mulai dari yang harus berjuang membangun keyakinan, harus kuat berproses, tidak mudah menyerah, dan terus mencoba menjadi spirit yang tiga serangkai ini alami. Mulai sigit, Ridho, dan Ardit tentunya mereka memiliki tantangan versi mereka masing-masing. Namun, berkat semangat, rasa persaudaraan&kekeluargaan, serta saling mendukung akhirnya mereka sukses menjalani pelatihan tersebut.
Semua memang tidaklah mudah. Berbagai aspek seperti mental, daya juang, saling mendukung, saling menasehati, dan mendapat bimbingan langsung dari Irwan dan Setia Adi selaku inisiator pelatihan, menjadi modal besar bagi peserta pelatihan barista. Mereka didukung, diajari sampai bisa, pengajaran yang telaten, dan tidak mengecam juga menjadi tips & trick kesuksesan mereka mengikuti prosesi pelatihan menjadi barista sebagai peserta difabel netra.
Seperti Sigit yang menceritakan pengalamannya secara pribadi saat berproses di pelatihan. Ia mengungkapkan bahwa pada fase awal, ia sempat goyah, ragu, dan drop. Pasalnya ia tidak terbiasa dengan mesin kopi, harus detail dalam meramu dan meracik kopi, serta kebersihan baik dari personal, alat, dan gelas kopi. Contohnya saat ia kurang maksimal mencuci piring. Hal itu membuatnya minder. Namun, karena bantuan dan dukungan dari Ridho dan Ardit, akhirnya Sigit bisa mencuci dengan maksimal. Begitu juga dengan urusan takaran kopi, jumlah air, dan tahapan pembuatan kopi. Sigit sangat merasakan dirangkul, dihargai, dan diberikan selalu kesempatan untuk mencoba dan membangun komitmen yang kuat. Nasihat Irwan, Setia Adi, dan Ardit yang selaku peserta tertua, juga sangat berperan dalam menguatkan mental dan daya juang Sigit.
“Belum lagi saat kita diajarkan untuk fokus memilah varian kopi, mas. Awalnya memang gampang karena hanya berjumlah 8 varian. Tetapi saat sudah terjadi peramuan dan campuran, varian tadi bertambah menjadi 30-an lebih jenis rasa kopinya. Namun, karena berkat kesabaran, ketlatenan, dan kesigapan dari pelatih, kawan, dan para relawan, akhirnya kami bisa menyelesaikan proses demi proses dalam pelatihan barista difabel netra,” ujar Ardit.
“Saya juga merasa tidak menyangka, mas. Saya justru malah ditunjuk oleh teman-teman sebagai perwakilan demo membuat kopi, di depan petugas dinas, para hadirin, dan pelatih. Padahal mereka yang lebih oke. Tapi justru mereka malah memberikan kepercayaan itu kepada saya. Padahal di awal saya sempat menyerah, tapi berkat dukungan mereka, akhirnya saya sukses mewakili mereka saat demo pembuatan kopi berlangsung,” timpal Sigit dengan haru.[]
Reporter: Wachid
Editor : Ajiwan