Views: 4
Solidernews.com – Tanpa partisipasi, demokrasi hanya cangkang kosong atau demokrasi prosedural. Cara pandang yang selama ini ada adalah soal kebijakan yang merupakan “pemberian” negara. Warga cenderung dijauhkan dari politik kecuali untuk mencoblos lima tahun sekali. Artinya semua urusan seakan diserahkan pada wakil rakyat padahal bahkan seakan tidak ada komunikasi antara warga biasa dengan para wakilnya (hanya elit dan yang punya akses). Pelaksanaan demokrasi perwakilan bermasalah saat partai politik tidak demokratis, tidak punya akar pada warga, dan tidak melakukan pendidikan politik. Realita berikutnya proses pengambilan keputusan dalam proses legislasi cenderung tertutup karena adanya berbagai kepentingan.
Dari perspektif masyarakat sipil, ada rasa frustrasi yang begitu besar. Paling tidak di tahun 2019. Rasa frustrasi ini yang memang harus bisa direspon. Publik paham bahwa pada suatu titik, perancang undang-undang tidak punya wewenang untuk membuat konsep partisipasi, tetapi barangkali yang bisa disumbangkan untuk proses politik yang mulai membuat rasa frustrasi di kalangan masyarakat sipil adalah: membuatkan sebuah teknik dan metode yang dituangkan dalam perancangan dalam perundang-undangan. Demikian dikatakan oleh Bivitri Susanti, Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera saat menjadi narasumber pada seminar dan diskusi panel pembentukan perundang-undangan evaluasi dan tantangan ke depan oleh Badan Keahlian DPR RI, Senin 29/7.
Bivitri mengambil tema “Partisipasi Substantif Vs Partisipasi Teknokratis”
Mengapa partisipasi? Menurutnya, ia menggunakan istilah demokrasi Pancasila. Lantas masyarakat terpaku pada demokrasi perwakilan sehingga seolah-olah semua sudah selesai diwakili saat selesai mencoblos. Ia menggarisbawahi bahwa kebijakan bisa berdampak buruk bisa juga berdampak baik pada kelompok yang berbeda. Proses yang berjalan tidak baik bisa memperpanjang dampak buruk tersebut
Karena banyak hal dia saksikan dengan berkeliling ke kampus-kampus, ia melihat rasa frustrasi pada proses politik bisa berbahaya : 1. Pada proses demokrasi yang substansif. Karena orang sudah tidak lagi skeptis tapi apatis atau tidak peduli, “Apa saja deh, memangnya kita punya suara…” begitu yang disuarakan masyarakat sipil 2. Banyak prosedur demokrasi seperti pemilu dan pilkada dijauhi karena mereka merasa tidak ada gunanya memilih. Jelang Pilkada saat ini mereka juga sudah mulai frustrasi.
Menurut Bivitri, sebagai perancang semestinya perlu memberikan ruang-ruang itu. Jadi tantangan terbesar dari setiap membicarakan partispasi adalah partispasi di teknokratis tetapi sewaktu diturunkan menjadi mekanisme dan prosedur akhirnya jadi partispasi formalitas saja. Partispasi misalnya seminar. Waktu dalam konteks Ibu Kota Negara (IKN), apakah parlemen sudah berbicara pada masyarakat adat, apakah mereka diikutsertakan? Nyatanya di beberapa tempat mereka tidak diperbolehkan masuk. Puluhan ahli yang terlibat, apakah ia menceritakan bukan keahlian tetapi pengalaman? “Saya bisa mengutip buku tentang masyarakat adat tetapi saya tidak punya pengalaman dengan masyarakat adat. Saya jadikan contoh betapa pentingnya partispasi itu akhirnya menjadi turun kualitasnya dibuat sebagai formalitas saja,” ungkap Bivitri.
Bagian keduanya yang ingin disampaikan oleh Bivitri adalah tantangan yang ada tiga 1. Transparansi proses dan ketersediaan dokumen, masih jadi catatannya yang menurutnya bagi perancang tidak ada masalah untuk mendapatkan dokumen tetapi bagi pihak Bivitri sulit mendapatkan dokumen contoh saja RUU TNI. Yang menjadi pertanyaannya apakah ini bagian proses yang sangat sensitif padahal menurutnya apabila ingin partisipasi bermakna hal seperti ini harusnya bisa diantisipasi.
Kedua, Tantangan Inklusi, sebagai bagian dari Tim Percepatan Reformasi Hukum Pokja Perundang-undangan, ia mengingatkan bahwa kelompok-kelompok difabel aksesnya sangat minim. Hal ini mengapa pentingnya dilakukan pemetaan pemangku kepentingan dalam konteks inklusi karena yang ia pahami kemudian betul-betul banyak sekali fokusnya di akademik.
Bivitri juga merasa senang jika diundang sebagai akademisi tetapi kalau yang ia baca putusan MK, bisa dijadikan acuan karena bagus sekali, disebutkan bahwa yang namanya kelompok yang harus berpartisipasi adalah kelompok yang terdampak. Dan ini menurutnya yang sangat kurang.
Hal yang ketiga adalah waktu yang cukup. Misalnya bagi masyarakat kecil untuk punya waktu yang cukup untuk menentukan. Sebagai seorang dosen yang diundang, kadang-kadang dua hari sebelum acara konsultasi publik, draft-nya juga tidak diberi sehingga harus mencari. Contoh lagi misalnya acara konsultasi publik dengan pemerintah, judulnya konsultasi publik tapi dari 105 yang diundang, 85 dari Kementerian /Lembaga, sisanya baru masyarakat.
Bagaimana mengelola partisipasi?
Dari pengalaman Bivitri sebagai pemberi masukan karena dia berasal dari luar pemerintahan, sekaligus belajar dari berbagai kesempatan, ia kemukakan pengalaman pernah kuliah di Seattle, lantas ikut kuliah legislative process. Ia sengaja magang di kelompok-kelompok masyarakat sipil yang mendorong grassroot lobying yang di situ banyak hal yang dia dapatkan bagiamana tidak semua masukan diterima, tetapi bagi masukan yang tidak diterima ada template, ada tempatnya serta ucapan terima kasih dan permohonan maaf karena usulan mereka tidak bisa diterima. Itu membuat mereka berkata dalam hati, “Oke, berarti masukan kita sudah dibaca, nanti kita lihat hasilnya seperti apa. Jadi tidak ada kemarahan yang timbul, tidak ada rasa frustrasi yang muncul, dan sekadar mendapatkan penjelasan,”terang Bivitri. Menurutnya itulah yang diinginkan oleh para pemberi masukan. Dan rekamannya harus diarsipkan untuk pengembangan stakeholder.
Terakhir Bivitri sampaikan adalah beberapa hal yang saya dapatkan. Ada persoalan fundamental yang berhasil ia dapatkan sebagai bagian dari Tim Percepatan Reformasi Hukum Pokja Perundang-undangan ; yang pertama ternyata banyak bentuk partisipasi masyarakat yang belum sepenuhnya berdasarkan prinsip demokrasi dan HAM. Dalam konteks ini ia ingin bahkan mendorong. Dalam rekomendasi tim, ada roapmap-nya. Tidak asal merekomendasikan tetapi tim ingin konkret maka dibuatkan roapmap jangka pendek, menengah dan panjang. Ada penggunaan kata dapat dalam pasal di dalam undang-undang yang berpotensi meniadakan partisipasi bermakna. Ada poin parameter pihak ketiga yang dilibatkan, menurutnya belum sepenuhnya memahami dampak materi perundang-undangan, pihak terdampak seperti apa.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan Arief