Views: 25
Solidernews.com – Perintah untuk menulis sudah ada di dalam kitab suci Al-Quran, salah satunya terdapat di dalam surat Al-Qalam ayat pertama, yang berbunyi ‘nuun. wal qalami wama yasturuun,’ (demi pena dan apa yang mereka tuliskan). Untuk menjadi penulis yang berkualitas tentunya kita juga harus sering membaca. Lagi-lagi, perintah membaca juga sudah ada di dalam Al-Quran, tepatnya surat al-Alaq ayat pertama, yang artinya (Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu). Jadi membaca dan menulis merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Untuk menjadi penulis yang baik tentunya kita juga harus sering-sering membaca, baik bacaan dalam bentuk buku/E-Book maupun membaca alam secara lebih luas.
Sebagai difabel, tentunya anggapan bahwa kami tak bisa seperti manusia yang nondifabel akan selalu menjadi stigma yang tak gampang dihilangkan. Akan selalu ada saja orang-orang yang menilai kami dari satu sisi, yaitu kedifabelan yang kami sandang. Walaupun jargon keseteraan sudah digaungkan berkali-kali, namun nyatanya masih banyak difabel yang belum bisa terlepas dari belenggu diskriminatif.
Literasi dan Difabilitas
Sebagai manusia yang mengalami difabel netra semenjak lahir ke dunia, penulis tak jarang mendapatkan stigma yang telah saya tuliskan di atas. Lalu pemikiran untuk melawan semua rasa ketidak berdayaan melawan stigma itu mulai saya dapatkan setelah mengenal luasnya dunia literasi. Banyak sekali ilmu pengetahuan yang didapatkan dari seringnya mengakrabkan diri dengan indahnya kesusastraan. Semenjak itu, saya mulai menemukan bahan obrolan dengan mereka, (nondifabel). Pelbagai topik yang mereka obrolkan pun bisa saya ikuti karena kegemaran saya membaca. Dari novel yang baru viral, dunia olahraga, agama, isu sosial, dan lain sebagainya. Banyak candaan jika saya mengobrolkan topik sepak bola kepada mereka:
“Ah … Ikhwan itu bukan difabel netra deh, soalnya kok ya tahu aja kalau pertandingannya tadi seru, kok bisa tahu juga presentase penguasaan bola dan taktik yang digunakan oleh para pelatih.”
Ungkapan seperti itu bisa saya dapatkan karena seringnya membaca laporan jalannya pertandingan dan juga berita tentang sepak bola.
“Kamu sudah baca buku ini?”
“Sudah. Bukunya bagus loh. Di buku itu banyak sekali hikmah yang bisa diambil, secara alur dan bahasa juga gampang dipahami.”
Hal-hal di ataslah yang membuat saya semakin yakin bahwa literasi sangatlah penting untuk semua manusia, tak terkecuali kita (difabel). Dengan meleknya kita terhadap isu-isu yang tengah viral, kita tak akan dipandang sebelah mata.
Tunjukkan potensi melalui Buku Antologi
Banyak cara untuk para difabel menunjukkan potensinya, salah satunya melalui kesusastraan. Banyak difabel yang sukses dengan dunia kepenulisan, diantaranya adalah Dr. Didi Tarsidi melalui jurnal ilmiahnya, Ramaditya Adikara melalui novel-novelnya, Putu Agus Setiawan, Syamsu Anita Fitrianingsih, dan banyak sastrawan lainnya, yang menjadi bukti bahwa kedifabelan sama sekali tak membatasi mereka berkarya. Oleh karena itu, saya tertarik untuk mengikuti jejak mereka dengan menuliskan pengalaman yang saya alami ke dalam antologi cerpen.
Dua antologi cerpen yang saya tulis sebagian besar mengisahkan lika-liku sebagai difabel, baik memoar, maupun pengalaman teman-teman yang lain. Saya sangat berharap pembaca dari dua buku antologi yang saya tulis ini bisa memahami difabel dari pelbagai sudut pandang.
Beberapa kutipan yang saya tulis dalam antologi saya:
“Allah, terima kasih untuk semua ini, atas rahmat dan izin-Mu-lah semua ini terjadi. Kini julukan riset dan inklusi benar-benar sudah bisa hamba-Mu yang lemah ini raih.” ‘Asing’
“Allah, terima kasih karena Engkau telah memberikanku kesempatan untuk berjumpa dengan seseorang yang mampu membuatku lebih bersyukur. Mereka yang tetap mampu memancarkan kilaunya dengan keadaannya yang temaram. Semoga dengan cerita ini membuat kami tidak memandang difabel sebelah mata, sekaligus tidak mendewakan makhluk ciptan-Mu ini.” ‘Berkilau dalam Temaram’
“Aku selalu percaya, biarpun mereka tak sempurna di mata manusia, kita harus memperlakukan mereka dengan sewajarnya. Kita tidak boleh menganggap mereka sampah, namun juga tidak berhak memberikan lebel malaikat kepada anak-anak difabel. Mereka juga manusia yang tentunya memiliki beban taklif sesuai dengan keadaan mereka. Yang kita harus yakini, selama ketakwaan kepada Allah baik, sejatinya mereka itulah yang mendapatkan derajat tinggi di sisi-Nya.” ’Sama di Hadap-Nya’
Tiga petikan cerpen itu terdapat dalam dua buku antologi saya yang sudah resmi diterbitkan oleh komunitas “yuk menulis” dengan blog goresan pena. Antologi pertama berjudul Berkilau dalam Temaram, dengan tebal 245 halaman, (terbit Maret 2024), sementara yang kedua adalah Menuai Hikmah, tebal 100 halaman (terbit mei 2024).
Sebagai seseorang yang baru saja selesai menempuh pendidikan di MAN 2 Sleman, pengalaman yang saya alami tentunya tak sebanyak Dr. Didi maupun Mas Rama dan para senior sastrawan difabel lainnya, namun harapan untuk menjadi salah satu yang menyebarkan inklusivitas lewat sastra tentunya akan selalu menyala di dalam sanubari.
Abadikan Diri dengan Menulis
“Jika kamu bukan anak seorang raja dan bukan juka anak seorang ulama, maka menulislah,” Imam Ghozali RA.
“Orang boleh pintar setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian,” Pramoedya Ananta Toer.
Kutipan di atas hendaknya menjadi pemantik agar kita bersemangat untuk menorehkan jejak kebaikan melalui tulisan. Menulis tentunya membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan hati yang peka terhadap apa pun yang terjadi di alam semesta ini. Banyak sekali keuntungan jika kita menulis, diantaranya adalah menjadi sarana katarsis yang paling aman dan insyaallah berpahala jika kita lakukan dengan tak melanggar perintah-Nya. Menulis tak terlalu membutuhkan banyak media, seperti bermusik, menggeluti dunia siniar, dan pelbagai kegiatan nontulis lainnya.
Semoga dengan membaca sedikit tulisan ini membuat kita semakin bersemangat untuk menulis dan tentunya membaca. Masih banyak sekali anggapan miring bagi kita (difabel) di masyarakat, dan tugas kitalah untuk memberikan edukasi kepada mereka. Jika kita mempunyai kesempatan untuk memberikan inside kepada mereka, lalu apalagi alasan untuk menundanya. Pengalaman kita sebagai difabel mungkin akan sangat menarik bagi mereka yang belum banyak mendapatkan edukasi tentang difabel. Apalagi pengalaman itu dikemas melalui bahasa yang mudah dipahami oleh pelbagai lapisan masyarakat.
Dewasa ini menjadi penulis sangatlah mudah, tak terkecuali untuk kita yang difabel. Sudah teramat banyak cara untuk kita meluapkan isi hati melalui tulisan. Baik yang menghasilkan inkam maupun yang tak berbayar. Marilah kita pergunakan kesempatan yang telah Tuhan berikan ini untuk memberi manfaat bagi sesama. Semoga yang kita torehkan di dunia ini mampu menjadi penolong saat kita membutuhkan semua amal baik untuk menuju ke surga-Nya.[]
Penulis: Ikhwan Khanafi
Editor : Ajiwan
Penulis: Ikhwan Khanafi
Editor : Ajiwan Arief