Views: 21
Solidernews.com – membentuk rumah tangga adalah hak setiap orang. Manusia sebenarnya punya fitrah untuk saling membutuhkan dan punya kecenderungan suka berkelompok dan berkomunitas. Selain itu, manusia juga punya fitrah untuk berpasangan dan hidup bersama dengan pasangan mereka. oleh karenanya, sangat wajar jika masyarakat difabel umumnya juga membina dan hidup berumah tangga. Meski dengan perjuangan yang mungkin tak semudah orang lain, namun kawan difabel terbukti punya daya juang yang tinggi untuk membuka gerbang menuju kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, tak jarang banyak masyarakat difabel sangat sukses hidup berumah tangga bersama pasangan mereka.
Namun, tak jarang, banyak pula kawan difabel yang kurang mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga mereka. bahkan ada pula diantara mereka yang menjadi korban dan pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Difabel menjadi salah satu kelompok yang paling rentan terkena dampak kekarasan dalam rumah tangga. Berbagai hambatan yang mereka miliki, memungkinkan mereka semakin rentan dan makin berdampak buruk dalam kehidupan.
Beberapa Faktor Penyebab KDRT yang korbannya Difabel
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan masalah serius yang dapat memengaruhi berbagai lapisan masyarakat. Masyarakat difabel sering kali menjadi kelompok rentan terhadap KDRT. Berbagai hambatan dan kebutuhan spesifik yang mereka miliki, membuat difabel seringkali kehilangan kesempatan untuk meraih hak-haknya untuk dapat mempertahankan diri di posisi yang aman dari tindak kekerasan. Oleh karena itu, difabel kerap kali menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Beberapa faktor difabel dapat menjadi korban KDRT adalah:
Pertama Stigma dan Diskriminasi: Stigma terhadap difabel dapat menciptakan lingkungan yang tidak ramah dan merendahkan. Hal ini dapat meningkatkan risiko KDRT. Diskriminasi dalam berbagai bentuk dapat membuat difabel merasa tidak dihargai dan rentan terhadap eksploitasi. Dalam hal ini, banyak masyarakat kita yang masih memiliki stigma terhadap difabel, lebih-lebih pada perempuan difabel. Mereka memberikan stigma bahwa difabel tidak dapat mengurus rumah tangga, perempuan difabel tidak dapat mengasuh dan merawat anak, dan sejumlah stigma lain yang membuat difabel, khususnya perempuan difabel memiliki kerentanan untuk menjadi korban KDRT.
Kedua, individu difabel sering mengalami isolasi sosial karena minimnya aksesibilitas atau stigma. Isolasi ini dapat membuat mereka lebih rentan terhadap KDRT karena kurangnya dukungan sosial dan sumber daya. Karena biasanya kawan difabel sering berada di rumah dan bahkan tidak dapat mengakses apa pun di luar rumah keluarga mereka. Kawan difabel menjadi rentan menjadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga. Pada saat pandemi misalnya jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga meningkat karena sejumlah kebijakan pemerintah yang mengharuskan tiap warga untuk tetap di rumah dan meminimalkan kegiatan di luar rumah. Selain itu, pada saat pandemi Covid – 19, banyak keluarga yang kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan. Situasi semacam ini membuat difabel menjadi semakin rentan menjadi korban KDRT.
Selain itu, Ketidakpahaman terhadap kebutuhan khusus dan hambatan yang menyertai difabel dapat menciptakan tekanan tambahan dalam hubungan. Pasangan atau anggota keluarga yang tidak memahami hambatan tertentu atau sisi emosional dapat memicu konflik dan meningkatkan risiko kekerasan. Hal ini tentu perlu penyadaran dari berbagai pihak, termasuk keluarga besar pasangan akan pentingnya memahami kebutuhan dan berbagai hammbatan yang mungkin bisa diatasi atau yang mungkin harus dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam keluarga tersebut.
Masih minimnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan bagi warga difabel di negara ini secara tidak langsung juga dapat membuat difabel bergantung pada orang lain secara ekonomi. Ketergantungan ini dapat menciptakan situasi yang memudahkan terjadinya KDRT. Dengan terjadinya relasi kuasa yang tidak sehat, memungkinkan orang-orang difabel yang menjadi korban KDRT tak hanya merasa bergantung dari sisi ekonomi saja, namun mereka juga berkemungkinan merasa tidak memiliki daya tawar. Situasi semacam ini memungkinkan terjadinya kasus KDRT yang melibatkan korban difabel.
Selain itu, Ketidaksetaraan dalam sistem hukum, seperti akses yang terbatas terhadap perlindungan hukum atau proses peradilan yang tidak ramah terhadap difabel secara umum, dapat membuat difabel tersebut lebih rentan menjadi korban KDRT.
Lebih jauh, Kurangnya dukungan masyarakat dan edukasi tentang hak-hak difabel dapat meningkatkan risiko KDRT. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kesadaran dan berkolaborasi untuk menciptakan sumber daya yang cakap dan cukup dalam menangani difabel yang berhadapan dengan hukum.
Dampak KDRT terhadap Korban Difabel
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang sering kali menyebabkan dampak yang sangat serius, terutama bagi korban yang mungkin mengalami kedifabelan. Korban KDRT difabel sering kali menghadapi tantangan dan dampak yang unik.
Dampak dari KDRT terhadap korban difabel sangat merugikan dan mungkin lebih parah daripada korban KDRT nondifabel. Beberapa dampak yang mungkin terjadi adalah:
Pertama, Difabel korban KDRT memiliki hambatan untuk melaporkan diri. Hambatan aksesibilitas Korban KDRT yang difabel mungkin menghadapi keterbatasan aksesibilitas yang mempersulit mereka untuk mencari bantuan dan perlindungan. Misalnya, korban difabel fisik mungkin kesulitan untuk meninggalkan rumah atau mendapatkan akses ke layanan dukungan karena hambatan mobilitas.
Selain itu, difabel yang menjadi korban KDRT dimungkinkan justru memiliki ketergantungan pada pelaku. Seorang difabel korban KDRT juga mungkin lebih bergantung pada pelaku KDRT untuk perawatan dan kebutuhan sehari-hari. Hal ini dapat membuat korban terjebak dalam lingkaran KDRT karena ketergantungan finansial atau fisik pada pelaku.
Selain bergantung pada pelaku, Korban KDRT yang difabel mungkin lebih rentan terhadap dampak psikologis KDRT, mereka juga sulit untuk mencari bantuan atau melarikan diri dari situasi berbahaya karena hambatan fisik atau mental.
Dampak Kesehatan Mental yang Lebih Parah juga mungkin terjadi. Korban difabel yang alami KDRT mungkin lebih rentan terhadap dampak psikologis KDRT. Mereka juga sulit untuk mencari bantuan atau melarikan diri dari situasi berbahaya karena hambtan fisik atau mental yang mereka alami.
Sementara itu, Layanan dukungan untuk korban KDRT mungkin tidak selalu terjangkau bagi korban difabel. Layanan tersebut mungkin kurang memperhatikan kebutuhan khusus dan akomodasi yang layak bagi korban difabel, seperti layanan juru bahasa isyarat atau aksesibilitas fisik. Saat ini, peraturan pemerintah tentang kewajiban lembaga peradilan untuk menyediakan akomodasi yang layak bagi difabel dalam proses peradilan memang sudah diterbitkan, namun hingga kini pemerataan terkait implementasinya masih belum merata.[]
Penulis : Sri Hartanty
Editor : Ajiwan