Views: 9
Solidernews.com – Pada Sabtu, 11 Januari 2025, Disability Care Center (DCC) menyelenggarakan webinar online dengan tajuk “Disabilitas Tanggap Bencana: Persiapan Hadapi Megathrust dan Risiko Bencana Lainnya” yang membahas mengenai langkah konkret dan strategi inklusif dalam kesiapsiagaan bencana, khususnya bagi masyarakat difabel. Acara tersebut menghadirkan Fretha Julian, praktisi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Maluku.
Difabel dalam keadaan bencana tentunya sangat berdampak. Karena tidak dapat dengan mudah mengakses jalur evakuasi. Ketika berada di tempat pengungsian juga ada situasi tertentu yang membuat difabel tidak terlalu nyaman. Contohnya seperti aksesibilitas di tempat pengungsian tidak bisa disesuaikan dengan keadaan difabel, distribusi makanan yang kurang memadai, serta upaya pemulihan yang belum menyeluruh.
Ketika diadakan survey mengenai rencana kedaruratan bencana masih sangat sedikit yang memiliki kesadaran tentang pentingnya kesiapsiagaan bencana. Di tahun 2013 ada 29% responden yang memiliki rencana kedaruratan bencana tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, pada tahun 2023 tersisa 16%. Artinya, walaupun perkembangan media informasi semakin mumpuni, namun literasi pentingnya kesiapsiagaan bencana di masyarakat dan kaum difabel sangat kecil. Sehingga mereka banyak yang tidak memiliki kesiapsiagaan bencana.
Mengingat tantangan-tantangan tersebut, penting untuk memastikan bahwa rencana kedaruratan bencana juga mencakup kebutuhan difabel.
“Ketika difabel terlibat dalam forum pengurangan resiko bencana dapat memperkuat ketangguhan bencana di daerah masing-masing. Saya berpikir setiap orang, tidak peduli kondisinya memiliki hak hidup dengan martabat dan kesetaraan bahwa ketika terjadi bencana memiliki hak-hak yang sama.” Tutur Fretha Julian dalam webinar yang diadakan DCC via online pada 11 Januari 2025.
“Tahun 2016 saya menjadi fasilitator di salah satu sekolah luar biasa di Kota Ambon. Ketika itu kami membuat dua macam peringatan dini untuk melakukan evakuasi. Pertama dengan sirine tujuannya agar yang tidak bisa melihat bisa mendengar peringatan tersebut. Kedua dengan lampu agar yang tidak bisa mendengar bisa melihat. Akan tetapi, untuk mendapatkan fasilitas tersebut tentunya memerlukan biaya yang lebih. Sehingga tidak jarang di lingkungan sekitar kita yang memiliki fasilitas peringatan dini.” Lanjutnya.
Mempersiapkan Diri Hadapi Kedaruratan Bencana
Ada beberapa hal yang perlu dipahami oleh difabel maupun kelauarga yang memiliki angota keluarga difabel. Sebelum terjadi bencana, perabotan seperti lemari dan rak buku diatur menempel di dinding agar ketika ada guncangan lemari tersebut tidak jatuh, roboh, atau bergeser. Benda-benda yang berat jangan ditaruh di atas lemari. Benda berat di taruh di bawah sehingga jika ada guncangan tidak berpotensi menimpa. Cek kestabilan benda yang terganggu sehingga jika ada gempa bumi, benda yang tergantung tidak jatuh dan menimpa. Selain itu, dapat mematikan aliran air, gas, dan listrik apabila tidak digunakan. Selain itu, usahakan memilah benda yang mudah terbakar. Letakkan di tempat yang aman untuk menghindari adanya kebakaran.
Dirumah masing-masing menyiapkan tas siaga bencana. Tas yang isinya keperluan pribadi dalam waktu 3 hari 24 jam. Tas tersebut dapat diisi dengan lilin, korek api, senter, baterai cadangan, jas hujan, surat-surat berharga, tanda pengenal, pakaian, handuk, sarung, air minum dalam kemasan, makanan kering, dan obat-obatan. Mengapa tas siaga harus ada makanan, minuman, dan obat-obatan? Karena disaat terjadi bencana, kita tidak tahu waktu distribusi bantuan tersebut dapat dilakukan. Jangan lupa, 3 bulan sekali makanan, minuman obat-obatan tersebut harus di cek guna menghindari masa kadaluarsa.
Selain gempa bumi, tindakan yang harus dilakukan sebelum terjadi tsunami yaitu dengan memahami status peringatan dini. BMKG biasanya mengeluarkan peringatan dini dalam tiga kategori berbeda. Pertama, kategori waspada artinya tinggi tsunaminya kurang dari setengah meter atau tsunami kecil. Tetapi semua orang diminta tetap menjauhi pantai dan sungai. Kedua, siaga artinya tinggi tsunami berkisar setengah meter sampai 3 meter. Diharapkan semua masyarakat dapat evakuasi mandiri ke tempat yang aman dan lebih tinggi. Ketiga, kategori awas artinya tinggi tsunami bisa mencapai lebih dari 3 meter. Semua orang diminta untuk melakukan evakuasi ke arah tegak lurus dari pinggir pantai, segera mencari gunung atau bukit terdekat.
Upaya selanjutnya yaitu dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat lokal khususnya yang tinggal di daerah pantai tentang tsunami dan cara evakuasi mandiri apabila terjadi tsunami, membangun tempat evakuasi di daerah dekat pemukiman, membangun tembok penahan tsunami pada garis pantai yang berisiko, penanaman mangrove serta tanaman lainnya di sepanjang garis pantai untuk meredam gaya air tsunami, segera jauhi pantai dan sungai apabila terjadi gempa yang sangat kuat.
“Jika merasa gempa bumi dengan durasi lebih dari 20 detik itu artinya gempa yang merusak dan bisa membangkitkan tsunami. Dari catatan sejarah kebencanaan di Belanda, umumnya mereka tidak pernah menulis kejadian gempa bumi dengan kekuataannya, tetapi mereka pada zaman dulu menulis waktu dan apa yang mereka rasakan. Tips berikutnya jika melihat air laut surut segera lapor ke petugas dan mengajak masyarakat evakuasi.” Tutur Fretha Julian dalam webinar yang diadakan DCC via online pada 11 Januari 2025.
Rencana Kedaruratan Bencana adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam perencanaan dan pelaksanaan program tanggap bencana. Penyandang difabel seringkali terpinggirkan dalam situasi darurat, dan tanpa persiapan yang matang, mereka akan lebih rentan terhadap bahaya. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, aman, dan aksesibel bagi penyandang difabel. Dengan perencanaan yang baik, pelatihan yang sesuai, serta infrastruktur yang ramah difabel, kita dapat memastikan bahwa setiap orang, tanpa terkecuali, dapat menghadapi bencana dengan lebih aman dan tangguh.[]
Reporter: Ajeng Safira
Editor : Ajiwan