Views: 12
Solidernews.com –DIFABEL. Ialah kelompok minoritas terbesar di dunia. Lebih dari satu miliar orang atau setara dengan 15% populasi dunia, hidup dengan beberapa bentuk Kedifabilitasan.
Sebanyak 190 juta (3,8%) di antaranya berusia 15 tahun ke atas. Menurut World Health Organization (WHO: 2021), prevalensi penduduk difabilitas lebih tinggi, di negara berkembang. Indonesia, satu di antaranya.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mendefinisikan, difabel sebagai segala kondisi tubuh atau pikiran (impairment) yang mempersulit orang dengan kondisi tersebut, dalam melakukan aktivitas tertentu (activity limit) dan berinteraksi dengan dunia sekitarnya (participan restriksi).
Impairment mengacu pada kondisi tidak adanya atau adanya perbedaan yang signifikan (kehilangan atau kelainan) dalam struktur dan fungsi tubuh atau mental seseorang. WHO (2001), difabilitas memiliki tiga dimensi. (1) Penurunan struktur atau fungsi tubuh dan mental seseorang, seperti gangguan yang disebabkan oleh hilangnya anggota badan dan kehilangan memori, (2) Keterbatasan aktivitas, seperti kesulitan melihat, mendengar, berjalan, atau memecahkan masalah, dan (3) Pembatasan partisipasi dalam kegiatan sehari-hari, seperti bekerja, terlibat dalam kegiatan sosial dan rekreasi, dan memperoleh perawatan kesehatan dan layananan pencegahan.
Berbagai hambatan yang dialami difabel, dapat membatasi akses mencapai peluang dan layanan dasar. Kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan, sebagai contohnya. Difabel, merupakan kelompok yang heterogen dan memiliki kerentanan tinggi yang bergantung pada tingkat kerusakan, jenis gangguan dan hambatan, dan karakteristik pribadi dan sosial.
Dengan adanya batasan-batasan yang mereka miliki, difabel tidak memenuhi standar sosial. Karenanya, tidak dapat berpartisipasi sebagai anggota aktif masyarakat dan tidak dapat bekerja. Selain itu, difabel sering mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan sering dianggap sebagai kelompok yang tidak terlihat, serta biasanya tidak termasuk ke dalam strategi pembangunan. Oleh karena itu, difabel memiliki kaitan yang sangat erat dengan kemiskinan, bahkan kemiskinan kronis.
Kualitas hidup
Difabel yang merasa puas terhadap kualitas hidupnya, menganggap hidup dalam kedifabilitas sebagai hal yang bermakna. Mereka memiliki citra diri yang positif dan merasa bahwa orang lain menghargai mereka. Difabel yang merasa puas dengan hubungan sosial, memiliki aktivitas yang lebih bermakna daripada difabel yang tidak merasa puas.
Selanjutnya, mereka tidak memiliki gejala stres psikologis atau somatik. Mereka berorientasi pada persahabatan, hobi, dan prestasi serta merasa puas dan baik dengan apa yang telah mereka lakukan. Hal ini didukung dengan fakta yang ditemui di lapangan yang menyatakan bahwa, difabel bawaan lahir mengaku tidak ada masalah tentang diri mereka sendiri.
Akan tetapi, hal tersebut berbanding terbalik dengan mereka yang menjadi difabel karena sakit atau kecelakaan. Mereka terpaku pada diagnosis atau kecelakaan mereka, mencari pertolongan dari teman dan keluarga, menggunakan lebih banyak obat dan membutuhkan lebih banyak bantuan dalam situasi sehari-hari.
Selain itu, mereka lebih depresi, cemas, kesepian, negatif, serta memiliki lebih banyak gejala stress psikologis dan somatik. Mereka juga menganggap dirinya tidak berharga, merasa harga diri rendah, serta tidak menerima individu lain yang berbadan sehat sebagai teman.
Mereka merasa tidak diterima secara sosial di masyarakat, tetapi mereka juga cenderung mengasingkan diri sehingga mereka tidak memiliki kemungkinan untuk menjadi terintegrasi secara sosial. Oleh karena itu, penyediaan akses pelayanan penunjang kualitas hidup sulit untuk didapatkan.
Difabel dan pekerjaan
Negara Indonesia sudah memiliki undang-undang yang memberikan perlindungan bagi difabel dapat mengakses pekerjaan. Namun, faktanya banyak difabel yang belum memiliki pekerjaan layak dan sesuai. Pemenuhan kuota bagi pekerja difabel sebesar 1 – 2 persen, tidak terimplementasi. Artinya, pengangguran yang tinggi pada kelompok difabel, berdampingan dengan kekurangan kesempatan pada berbagai sektor pasar tenaga kerja.
Pengangguran kelompok usia kerja difabel, tidak terlepas dari adanya fakta bahwa, terdapat hambatan yang dihadapi difabel saat memasuki dunia kerja atau saat sudah bekerja. Salah satu hambatan paling signifikan yang dihadapi saat memasuki dunia kerja adalah sikap dan stereotip rekan kerja.
Pekerja difabel sering merasakan jarak sosial yang tinggi terhadap pekerja non difabel. Dalam hal ini jarak sosial diartikan sebagai pandangan bias tentang kapasitas atau kemampuan karyawan difabel. Diafbel sering kali dianggap tidak berdaya, tidak memiliki kapasitas untuk berkembang. Tak ayal, reaksi dan sikap negatif dari rekan kerja, dijumpai mereka.
Di sisi lain, kadang kala hambatan datang dari penyedia pekerjaan. Meskipun konstitusi mengatur agar mempekerjakan pekerja difabel. Masih banyak pengusaha memutuskan untuk tidak mempekerjakan pekerja difabel. Pemberi kerja seringkali tidak memahami kebutuhan pekerja dan tidak mengetahui cara mengakomodasi mereka di tempat kerja.
Ada pula, pemberi kerja yang kurang percaya pada tingkat produktivitas dan kualitas pekerja difabel. Dalam bukunya, Colella dan Bruyere (2011) menuliskan, adanya “Aesthetic anxiety”. Yaitu, merujuk pada fenomena kecemasan yang bisa saja dimiliki oleh pemberi kerja, terkait dengan persepsi negatif dari bisnis mereka.
Hambatan tidak hanya berasal dari lingkungan kerja saja, melainkan juga berasal dari persepsi bias dan subjektif dari pekerja difabel itu sendiri, termasuk dalam antisipasi stigmatisasi. Diafabel, lebih sering mengantisipasi stigmatisasi daripada yang sebenarnya mereka alami.
Disabilitas dan kemiskinan, sebuah siklus
Difabel dan kemiskinan. Dua hal ini memiliki hubungan yang kompleks, bersifat dua arah, terkait dengan pengucilan sosial. Sebuah literatur Bank Dunia (World Bank) menunjukkan bahwa sekitar 15% sampai 20% populasi miskin di negara berkembang adalah difabel dan rumah tangga dengan anggota keluarga difabel, memiliki risiko lebih tinggi.
Terdapat hubungan dua arah antara difabel dan kemiskinan. Dalam hal ini difabel dapat menjadi penyebab dan akibat dari kemiskinan. Difabel menghadapi biaya tambahan dan hambatan dalam akses mereka ke layanan kesehatan, termasuk rehabilitasi dan bantuan lainnya. Karenanya, ada yang menjadi difabel karena sakit yang tidak tertangani dengan baik.
Selain itu, mereka secara sosial dikucilkan dari pendidikan dan pekerjaan. Serta harus menanggung biaya langsung, tidak langsung, serta kesempatan, yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan konsumsi mereka. Dengan itu, orang yang hidup dalam kemiskinan dan orang dengan kerentanan, menghadapi risiko lebih tinggi untuk menjadi difabel dan miskin.
Karenanya, kondisi difabel dapat meningkatkan risiko menjadi miskin. Diskriminasi dari layanan dasar (pendidikan, kesehatan), berdampak negatif pada tingkat modal (human capital) individu. Selain itu, biaya tambahan yang terkait dengan kedifabilitasan juga merupakan sumber risiko utama, baik untuk individu maupun untuk keluarga.
Apa yang bisa dilakukan?
Langkah pertama untuk mengatasi tantangan yang berasal dari persinggungan antara kemiskinan dan disabilitas adalah mengakui adanya masalah. Ketika kelompok atau individu difabel mengalami hambatan untuk menjangkau layanan dasar (kesehatan, tempat berlindung, transportasi, pendidikan, hingga pekerjaan), negara harus hadir.
Penyedia layanan dasar perlu memastikan bahwa penyediaan pekerjaan berkualitas dengan perawatan kesehatan dan manfaat lainnya, dukungan komunitas dan tempat tinggal yang memadai, dan kesempatan pendidikan serta pelatihan kerja yang tepat bagi pekerja difabel, baik ringan hingga berat, secara umum harus ada dalam agenda pembangunan nasional sebagai prioritas legislatif dan pendanaan.
Upaya mengurangi tingginya eksklusi sosial yang dihadapi oleh difabel, kebijakan pembangunan juga harus mencakup strategi untuk mengurangi diskriminasi dan menjamin hak asasi manusia. Selain itu, program bantuan sosial sangat diperlukan untuk memberikan tingkat pendapatan minimum kepada rumah tangga atau individu difabel.
Berikutnya, media massa dibutuhkan dalam menyadarkan publik akan efek gabungan dari kemiskinan dan disabilitas. Upaya penyadaran publik harus dapat mengatasi aspek-aspek kedifabilitas yang tersembunyi.
Instansi pendidikan, khususnya sekolah menengah atas, harus memiliki tanggung jawab utama dan dimintai pertanggungjawaban untuk memastikan bahwa siswa telah mengidentifikasi pendidikan atau pekerjaan yang diinginkan sebelum keluar dari sekolah. Sekolah dapat membantu siswa dan keluarga mereka dalam melakukan transisi ke penempatan ini, dan mengkoordinasikan layanan dan dukungan pascapendidikan untuk memastikan keberhasilan penempatan dan hasil.
Selain itu, saat siswa masih bersekolah, kesempatan untuk berpartisipasi dalam lingkungan yang merangsang di luar kelas pendidikan khusus, di mana siswa dapat membuat pilihan, memecahkan masalah, dan mempelajari keterampilan penentuan nasib sendiri harus diberikan, khususnya di sekolah berpenghasilan rendah di mana kesempatan ini mungkin lebih kecil kemungkinannya terjadi[].
Penulis: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief
Artikel ini, disarikan dari laman webiste: himpunan mahasiswa ilmu ekonomi (HIMIESPA) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.