Views: 75
Solidernews.com, Yogyakarta. MENGAKSES layanan kesehatan, puskesmas dalam hal ini, bukan hal mudah bagi difabel. Mengakses kesehatan dasar, menjadi tantangan tersendiri, bagi mereka warga masyarakat difabel. Apakah mereka difabel dengan hambatan pendengaran (tuli), penglihatan (netra), atau mobilitas (pengguna kursi roda). Fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama ini, minim dijumpai aksesibilitas yang mereka butuhkan.
Bagi difabel tuli, ketiadaan informasi visual (tulisan) di antara ketiadaan juru bahasa isyarat (JBI), menjadi tantangan berat. Karenanya, apa yang menjadi keluhan kesehatan, konsultasi kesehatan, serta berbagai informasi penting tak dapat dipahami petugas kesehatan. Hal ini dapat berakibat pada diagnosa salah, treatment membahayakan bagi pasien.
Terlebih, hampir semua petugas kesehatan (dokter yang memeriksa) dalam hal ini, tidak bisa melepas masker, saat berhadapan dengan pasien tuli.
Kasus salah diagnosa, bukan omong kosong, atau tidak pernah ada. Kasus tersebut terjadi pada difabel tuli, dari kulon progo. Dalam suatu sharing komunitas khusus tuli, Indri, nama gadis tuli tersebut, menceritakan kronologi kasus yang dialaminya. Dirinya mengunjungi puskesmas karena sakit perut. Lalu doberi obat pencahar. Hari berikutnya bukan sembuh, ternyata malah keguguran. Karena, sakit perutnya bukan karena diare, melainkan kehamilan yang bermasalah.
Kasus lain, pasien tuli tidak tahu bahwa antrian namanya sudah dipanggil. Karenanya, pasien tuli tersebut tetap duduk dan menanti, hingga layanan puskesmas berakhir. Inti dari sharing di atas, kondisi minim akses dan tanpa pendampingan keluarga, sangat tidak mendukung dalam dunia kesehatan tuli.
Di sisi lain, kemandirian difabel tuli mengakses layanan kesehatan, di manapun tidak dapat tercapai. Hal tersebut dikarenakan, minim aksesibilitas dan kurangnya mindset tenaga kesehatan. Sehingga, keluarga difabel tuli, harus mendampingi anggota keluarganya setiap kali harus mengakses layanan kesehatan. “Ingin mandiri, tapi tidak memungkinkan. Karena ketiadaan akses yang ada pada puskesmas,” ujar Laksmayshita.
Sementara, bagi difabel netra, tantangan yang dihadapi ialah ketiadaan guiding block (jalur pemandu) dan minimnya informasi berupa suara. Dampaknya, tak mudah bagi difabel netra menemukan ruang-ruang yang mereka butuhkan. Satu cerita pun pernah didapat solidernews.com. Sri Sartini difabel netra. Dia mengaku obat-obatan yang diterima, tidak akses. Dalam arti, dia dengan inisiatif sendiri memberi tanda khusus pada obat yang diterimanya. Tanda dibuat berdasar bentuk obat, kapan dan berapa kali harus diminum.
Untuk memudahkan mengingat, Sri meletakkan obat dengan catatan tertentu, pada tempat tertentu, yang hanya dirinya yang tahu. “Hal itu menjadi masalah, ketika obat-obat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan, justru obat yang sudah saya simpan dan tandai, dijadikan dalam satu tempat penyimpanan keluarga,” tutur perempuan yang berprofesi memijat itu.
Sedang, para pengguna kursi roda, mereka tidak bisa mandiri karena ramp (jalan landai) dibangin tidak landai, melainkan curam. Selain itu, meja pendaftaran terlalu tinggi, serta, bagian dari tubuh (kursi roda), tidak bisa masuk ke ruang pemeriksaan karena pintu sempit.
Butuh waktu lebih
Ketiadaan aksesibilitas sesuai kebutuhan, berdampak pada masyarakat difabel kehilangan kesempatan mengakses layanan kesehatan standar. Karena fasilitas di Puskesmas tidak dirancang secara universal, sehingga difabel tak bisa mengaksesnya. Demikian pula dengan tenaga kesehatan yang belum terlatih. Belum memiliki kesadaran terkait pasien difabel, serta layanan kesehatan inklusif.
Dalam mengakses layanan kesehatan, difabel memerlukan lebih banyak waktu dan bergantung pada bantuan tambahan dari tenaga kesehatan, yang jumlahnya terbatas. Pun begitu, sering kali petugas kesehatan disibukkan dengan tambahan tugas lain.
Selain tidak mendapat akses ke layanan kesehatan, banyak difabel belum didaftarkan oleh keluarganya untuk mendapatkan jaminan kesehatan. Terkadang masih ada stigmatisasi bahwa difabel dianggap aib oleh keluarganya.
Perlu pemahaman yang lebih baik tentang hambatan kesetaraan akses dan pelayanan kesehatan bagi difabel. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang perlunya inklusi disabilitas dalam pelayanan dan program kesehatan.
Kisah yang dialami para narasumber di atas, menunjukkan bahwa difabel belum sepenuhnya mendapatkan akses yang sama, terhadap pelayanan publik. Khususnya pada akses pelayanan kesehatan.
Pemenuhan hak
Hak layanan kesehatan adalah salah satu hak asasi bagi seluruh warga negara, tanpa terkecuali dan tanpa diskriminasi. Para pemangku kepentingan perlu mengambil pendekatan yang tepat, dalam mewujudkan layanan kesehatan universal. Pendekatan pukul rata atau one size fits all dalam kebijakan, justru dapat meminggirkan kelompok rentan, terutama difabel.
Dukungan negara, melalui para pemangku kepentingan sangat signifikan bagi terwujudnya layanan kesehatan bagi masyarakat difabel, di semua jenis fasilitas kesehatan yang ada.
Keterjangkauan lingkungan fisik berupa bangunan gedung dan infrastruktur. Kebijakan publik yang responsif terhadap perlindungan dan pemenuhan hak kesehatan warga difabel, merupakan jaminan dilaksanakannya program dan layanan publik yang berpihak. Kebijakan responsif yang inklusif mampu menempatkan difabel sebagai bagian dari keberagaman. Yang mampu berperan sosial sehingga memberi kontribusi positif dalam pembangunan.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan