Views: 13
Solidernews.com – Setiap bulan Ramadan, umat Islam memperingati peristiwa agung yang dikenal sebagai Nuzulul Quran, yaitu turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW. Momen ini bukan hanya sekadar sejarah, tetapi juga menjadi refleksi bagi setiap Muslim untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui kitab suci Al-Qur’an. Salah satu berkah dari turunnya Al-Qur’an adalah kemampuannya untuk menjangkau semua kalangan, termasuk lapisan masyarakat difabel netra melalui Al-Qur’an Braille.
Sudah sepatutnya, pada momen ini umat muslim melakukan muhasabah atau introspeksi diri dan kembali untuk teguh memegang Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, tidak terkecuali difabel muslim. Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), K. H. Ahmad Bahauddin Nursalim menjelaskan bahwa peringatan Nuzulul Qur’an tidak hanya boleh dilakukan pada malam 17 Ramadhan saja. Namun, boleh dilakukan di hari lain dalam bulan Ramadhan. Malam Nuzulul Qur’an adalah malam mulia dari seribu bulan karena malam Nuzulul Qur’an juga dikaitkan dengan Lailatul Qadar.
“Kalau tradisi pesantren, atau yang mengilhami banyak tradisi di masyarakat, karena banyak masyarakat desa yang dipandu oleh para Kiai, biasanya setiap 17, 21, 23, 25 Ramadhan, masyarakat mulai memeringati nuzulul Qur’an,” jelas Kiai Bahauddin, dikutip dari channel youtube Najwa Shihab, 21 Maret 2025.
Difabel Netra dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, semua manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT. Tidak ada perbedaan antara yang melihat dan yang tidak melihat, kecuali dalam ketakwaan mereka. Al-Qur’an sendiri telah menegaskan bahwa manusia diciptakan dengan keistimewaannya masing-masing. Selain itu, Al-Qur’an juga memandang eksistensi manusia sebagai sebuah keragaman yang ditujukan untuk saling mengenal.
Sebagaimana firman Allah Swt, dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dari penggalan ayat di atas, masyarakat difabel juga termasuk di dalamnya. Al-Qur’an sendiri sudah menjelaskan bahwa manusia itu memang penuh dengan keragaman. Jadi tidak ada yang lebih sempurna. Karena kesempurnaan manusia dilihat dari hati dan ketakwaan. Bukan kesempurnaan fisik.[1]
Tidak hanya itu, Al-Qur’an dalam Surat An-Nur ayat 61 juga menegaskan kesetaraan dan kesamaan hak dalam bersosial. Ayat tersebut menegaskan bahwa tidak boleh ada diskriminasi saat seorang difabel berada di suatu lingkungan. Asbabun Nuzul dari ayat ini adalah sebelum Nabi Muhammad hadir di Madinah, masyarakat Anshar sering merasa tak nyaman dengan kehadiran difabel netra dan difabel fisik. Dalam pandangan mereka, kalangan difabel tidak bisa menikmati makanan sebagaimana mereka yang sehat. Karena itu, mereka cenderung berpikir lebih baik memisahkan makanan bagi kelompok ini daripada berbagi meja bersama. Sikap diskriminatif semacam ini kemudian diluruskan oleh Allah dengan turunnya Surat An-Nur ayat 61, yang menegaskan bahwa tidak ada masalah bagi difabel netra dan kelompok lainnya untuk makan bersama dalam kebersamaan yang setara.[2]
Selain itu, pada Surat Abasa ayat 1-10, Allah menegur Nabi Muhammad SAW yang kurang memperhatikan seorang sahabat difabel netra, yaitu Abdullah bin Ummi Maktum. Saat itu ia datang untuk belajar agama. Namun, respons Nabi saat itu kurang baik. Lalu langsung ditegur Allah Swt lewat surat Abbasa ini. Hal ini menunjukkan bahwa difabel netra memiliki tempat terhormat dalam Islam dan berhak mendapatkan akses yang sama dalam memahami ajaran-Nya.[3]
“Bagaimana pun Al-Qur’an telah memberikan kejelasan, ketegasan, dan penjelasan bahwa disabilitas itu bukanlah kekurangan. Selain itu, hak kita juga sama dengan muslim lainnya. Penghargaan Allah lewat berbagai ayat yang menjelaskan tentang disabilitas itu sudah bisa menjadi bekal untuk kita harus lebih semangat dalam belajar, mengejar mimpi, dan utamanya dalam mendalami Al-Qur’an,” jelas Nurhadi, Ketua Majelis Ikhwanul Qalbi, wadah yang menaungi difabel muslim di Yogyakarta, saat ditanya soal ayat-ayat yang menjelaskan tentang difabel, 19 Maret 2025.
Al-Qur’an Braille: Cahaya Bagi Difabel Netra
Hadirnya Al-Qur’an Braille, menjadi momen penting pada akses difabel netra terhadap Al-Quran. Sistem tulisan ini pertama kali dikembangkan oleh Louis Braille dan kemudian diadaptasi dalam bahasa Arab untuk memudahkan difabel netra membaca Al-Qur’an. Kini, banyak lembaga yang mencetak dan mendistribusikan Al-Qur’an Braille, sehingga difabel netra dapat membaca, menghafal, dan mendalami isi kitab suci.
“Maka dari itu, saya sangat tidak sepakat kalau tulisan braille dianggap sudah usang. Karena kontribusi huruf braille ini masih sangat relevan, utamanya saat ingin membaca Al-Qur’an braille, belajar bahasa arab, atau membaca literatur berbahasa arab,” jelas Supriyati, pengurus Lembaga Sosial Tunanetra Al-Hikmah Yogyakarta, pada 4 Maret 2025.
Pemerintah Indonesia sendiri memiliki kepedulian terhadap hak-hak difabel, termasuk dalam akses terhadap kitab suci. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang menjamin hak difabel, khususnya difabel netra, dalam mendapatkan kitab suci sesuai keyakinan mereka. Upaya ini sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1974, yang kemudian melahirkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 25 Tahun 1984. Salah satu poin penting dalam aturan ini adalah pembentukan Al-Qur’an braille yang sesuai standar nasional.[4]
Namun, perjalanan pengembangan Al-Qur’an braille sempat terhenti hampir dua dekade. Baru pada tahun 2010–2011, Kementerian Agama, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ), dan komunitas difabel netra di Bandung kembali menginisiasi pedoman pembacaan Al-Qur’an braille. Sejak saat itu, pengembangan terus berjalan. Sebagai contoh, pada tahun 2024, LPMQ bersama komunitas Muslim difabel netra di Yogyakarta menerbitkan “Buku Pedoman Praktis Tajwid Al-Qur’an Braille,” yang menjadi salah satu tonggak penting dalam upaya memperkuat aksesibilitas kitab suci bagi difabel netra.[5]
Hadirnya Al-Qur’an Braille adalah berkah tersendiri, terutama di bulan Ramadan. Banyak difabel netra yang mampu menghafal Al-Qur’an secara mandiri berkat mushaf ini. Beberapa di antaranya bahkan menjadi qari dan hafiz, membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk mencapai kemuliaan di sisi Allah SWT. Dengan teknologi yang semakin maju, kini juga tersedia Al-Qur’an digital berbasis suara, yang semakin mempermudah difabel netra dalam belajar dan memahami ayat-ayat suci.
“Belajar Al-Qur’an bagi saya begitu memberi ketentraman di hati. Apalagi, saat saya mampu membacanya dengan Al-Quran braille. Saya makin dimudahkan. Selain itu, saya juga kerap ikut lomba MTQ di Medan, dan juga pernah sampai Yogyakarta. Berkat Al-Qur’an juga saya dapat umrah ke Makkah dan Madinah,” ujar Shinta, difabel netra dari Medan, yang menceritakan pengalamannya saat berproses dalam mempelajari Al-Quran, 16 Maret 2025.
Sebagai kitab suci yang menjadi pedoman hidup umat Islam, Al-Qur’an hadir untuk semua, tanpa memandang perbedaan fisik atau latar belakang. Kehadiran Al-Qur’an Braille menjadi bukti bahwa setiap Muslim, termasuk difabel netra, memiliki hak yang sama dalam mengakses dan memahami wahyu Ilahi. Dengan kemajuan teknologi dan dukungan berbagai pihak, aksesibilitas Al-Qur’an bagi difabel semakin terbuka luas. Semoga semangat untuk terus belajar, menghafal, dan mengamalkan Al-Qur’an semakin tumbuh, khususnya di bulan Ramadan yang penuh berkah ini. Mari bersama menjadikan Al-Qur’an sebagai cahaya yang membimbing setiap langkah kehidupan kita.[]
Reporter: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan









