Views: 34
Solidernews.com – Ada hal penting selain pemaparan materi pada webinar yang diselenggarakan oleh Sigab Indonesia lewat program GOOD beberapa waktu lalu yakni saat sesi diskusi dan tanya jawab. Pertanyaan kritis terlontar dari beberapa peserta terkait integrasi dan keterbukaan organisasi dan perusahaan untuk menerima difabel mental psikososial bekerja. Pertanyaannya seperti ini, ” Integrasi difabel mental psikososial untuk bisa maju dalam karir, apa saja yang mereka alami dalam mencari pekerjaan. Sejauh mana organisasi atau perusahaan di Indonesia saat ini terbuka untuk difabel psikososial?”
Menanggapi pertanyaan dari Bayu D, Wicaksono dalam diskusi yang dipandu oleh Ika Hana Pratiwi, Agus Hidayat, narasumber webinar dari organisasi Remisi, menjawab bahwa tentu integrasinya adalah Undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Penanganan difabilitas psikososial dalam pekerjaan, termasuk difabel secara umum (berbagai ragam_red), menurut Agus ada di setiap daerah. Yang menjadi persoalan adalah difabel psikososial dan difabel mental yang dalam bahasa undang-undang kesehatan masih disebut sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) tidak punya atau belum terkoneksi, dan apakah mereka yang merasa dirinya memiliki identitas sebagai difabel psikososial itu sudah sama apa belum? sebab menurut Agus terkadang ia menemui teman-temannya dengan permasalahan mental dengan diagnosis a, b, c termasuk dalam kategori difabel psikososial, tetapi dia tidak merasa sebagai difabel psikososial. Mereka pendekatannya masih sosial, farmakologi dengan obat, bertemu dan berkonsultasi dengan psikiater yang menurut Agus itu bagus untuk keberfungsian.
Tetapi kalau difabel mental dan difabel psikososial. itu terus-terusan tidak masuk dalam gerakan disabilitas, ini adalah sebuah persoalan karena menjadi tertinggal. Agus menambahkan jika yang pertama adalah ketika peningkatan skill sudah ada, lantas bagaimana resosialisasi dan rehabilitasi berbasis komunitas, yang pilot projectnya masih dilakukan saat ini dan yang kedua adalah ketika orang dengan disabilitas psikososial yang dia perlu bantuan dalam bentuk pelatihan/training misalnya okupasi terapi, belum bisa berjalan maksimal dan ketika sudah berjalan serta lulus, lantas ia mencoba mencari pekerjaan maka terjadi disconnected.
Menurut Agus, peran Unit Layanan Disabilitas (ULD) di daerah-daerah masih belum maksimal karena peraturan pemerintah (PP) yang dibuat tahun 2020, fokusnya masih bagaimana mengakomodir pelatihan-pelatihan atau menyalurkan difabel yang bukan mental psikososial jadi di sini ada disconnected. Difabel mental dan difabel psikososial sepertinya masih menjadi dua hal yang berbeda padahal ini saling terkoneksi, jadi skill-nya harus di-upgrade, artinya orang-orang dengan disabilitas psikososial yang dalam gerakan tidak bisa didominasi oleh hanya satu organisasi atau dua organisasi tetapi harus bekerja sama supaya dilihat sebagai subjek pembangunan.
“Kita punya skill dan kita ingin punya peran dalam masyarakat dan bukan hanya beban di keluarga dan masyarakat. Bahkan ketika saya melihat dalam dokumen-dokumen internasional, kita dilihat sebagai beban. Beban kesehatan mental itu sudah merugikan negara sejauh apa. Kok, kita melihatnya sebagai “sampai masyarakat dan sampah dunia” ya. Jadi ini saya pikir, pola pikir yang salah. Maka pola pikir harus diubah, “tegas Agus.
Difabel Mental Psikososial Masuk ke Gerakan untuk Pemenuhan HAM
Ada beberapa strategi menurut Agus Hidayat, yang bisa dilakukan oleh difabel mental psikososial agar mereka “Terlihat”antara lain dengan masuk ke dunia komunitas, tanpa mengecilkan kesehatan mental. Karena menurutnya kalau hanya berfokus ke kesehatan mental saja maka hanya fokus kepada obat-obatan, bagaimana kondisi atau gejala yang tidak kambuh. Tetapi juga penting masuk ke gerakan difabilitas karena seluruh aspek pemenuhan hak asasi manusia termasuk pekerjaan itu menjadi kunci utama keberfungsian sosial.
Terkait dengan pertanyaan tentang identitas, ke depan akan ada diskusi lagi apakah akan menggunakan kata difabel, atau orang dengan psikososial atau orang dengan skizofrenia, intinya tidak perlu mengkotak-kotakkan, yang penting tujuannya bagaimana, untuk melihat situasi sosial dan politik karena tujuannya bersama adalah ingin mengubah peraturan perundang-undangan yang lebih inklusif. Yang diharapkan bersama adalah orang-orang dalam kelompok semuanya bisa bekerja, bisa hidup lebih mandiri, ingin punya skill yang terus di-update dan yang bukan dilihat sebagai objek charity saja tetapi subjek pembangunan. “Untuk itu difabel mental psikososial harus dilibatkan dalam setiap kebijakan-kebijakan, bagaimana itu di RPJM, RPJMN? apakah kita sudah terlibat di Bappenas, apakah kita sudah terlibat di konsesi, karena saat ini sedang ramai-ramainya bahas konsesi, RPP Konsesi dan ada juga RPP soal RPP Kesehatan dan Permenkes soal Kesehatan dan Disabilitas? kita harus masuk dan kita harus terlibat bahwa permasalahan kesehatan mental ini bukan hanya permasalahan kesehatan mental semata tetapi permasalahan sosial, permasalahan hukum termasuk Hak Asasi Manusia,”tegas Agus.
Saking getolnya Agus memperjuangkan teman difabel psikososial untuk terlibat dalam gerakan, ia menceritakan sampai-sampai pernah ditanya, “Gus, kamu kok seperti menjauhkan dari kesehatan mental?” Menurut Agus, karena kalau teman-temannya hanya diberi obat saja, ke psikiater saja, masalahnya tidak selesai karena toh diskriminasinya masih ada, contohnya masih ada mereka yang diusir orangtuanya, mereka dijauhi masyarakat, dijauhi oleh teman-teman sendiri ya masih ada. Jadi permasalahan hukum, kebijakan, sosial, bukan hanya tentang akses obat-obatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan mental saja. Jadi pendekatannya harus lebih holistik dan nanti strateginya mau pakai disabilitas mental, atau disabilitas psikososial, bisa dibicarakan di forum selanjutnya. Dan apakah persoalannya stigma lagi, apa institusional lagi, yang menurutnya harus diubah lewat mekanisme- mekanisme di institusi.
Ada lagi tentang RAN penyandang disabilitas kalau di RPJM itu disusun oleh Bappenas lalu ke Bappeda. Nah, menurutnya, di sini difabel mental psikososial perkembangan, dianggap “kok kayaknya nggak ngerti” Mereka, difabel mental psikososial dianggap tidak tahu skema anggaran bagaimana, skema pemerintahan itu seperti apa.
“Kita sebagai anak muda, kita nggak bisa skeptis aja “ah pemerintah gitu-gitu aja kerjanya, ” Kita nggak bisa gitu, kita memang harus terlihat, kita harus tahu bagaimana sebuah kebijakan, sebuah rencana negara membuat kebijakan seperti apa, anggaran seperti apa, bermain dalam strategi-strategi menggolkan suatu perundang-undangan, advokasi anggaran sepeti apa. Kita perlu pengetahuan khusus, kita perlu pembelajaran khusus. Itu bisa dilakuan lewat training, workshop, kita bisa ‘nodong” Sigab lewat bantuan dari CBM dan Australia untuk memastikan bahwa untuk ke depan kita punya rencana lewat Bappenas dan keuangannya ada di Kemenkeu. Itu semua harus kita pahami bagaimana negara punya sistem, punya mekanisme itu bekerja. Sampai desentralisasi yang ada di daerah-daerah, “pungkasnya.
Terakhir Agus menyesalkan difabel mental psikososial yang seakan-akan gampang padahal sering dianggap seperti dekorasi saja : tidak didengar dan cuma diundang saja. Jadi penting bagi teman dengan difabilitas maupun tanpa difabilitas mengasah lagi untuk capacity building, pertajam lagi dan bagaimana bisa gerak bersama dan harapan kepada difabel muda supaya lebih aware lagi terhadap bagaimana strategi advokasi kita ke depan supaya ada regenerasinya. Karena kalau bicara disabilitas mental perkembangan belum banyak yang terlibat di dalam gerakan-gerakan advokasi khususnya yang muda.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan