Views: 8
Solidernews.com – Film “Daredevil” yang dirilis pada tahun 2003, disutradarai oleh Mark Steven Johnson dan dibintangi oleh Ben Affleck, Jennifer Garner, serta Michael Clarke Duncan, adalah adaptasi dari karakter komik Marvel yang terkenal dengan nama yang sama. Meskipun film ini menghadapi berbagai kritik, ia tetap menawarkan pengalaman yang menarik dalam genre superhero dengan beberapa elemen yang layak untuk dibahas lebih dalam.
Tentunya menjadi hal yang menggembirakan bagi kawan-kawan difabel penyuka serial super hero. Film ini menggunakan tokoh utama yang merupakan seorang difabel netra. Jadi, setidaknya ada upaya kesetaraan dalam jagat MARVEL, yang diwujudkan adanya serial film super hero yang memiliki latar belakang difabel. Nah, Artikel ini akan mengeksplorasi alur cerita film, aksesibilitasnya, dan pesan moral tentang inklusivitas yang coba disampaikan.
Singkat Alur Film
Daredevil merupakan kisah Matt Murdock, seorang pengacara yang buta setelah mengalami kecelakaan mobil yang melibatkan bahan kimia berbahaya. Kecelakaan tersebut tidak hanya menghilangkan penglihatannya, tetapi juga memberikan dia kemampuan panca indera yang tajam, yang memungkinkan dia untuk mendeteksi bahaya dan berinteraksi dengan lingkungan sekelilingnya secara unik. Di siang hari, Matt Murdock bekerja sebagai pengacara di New York City, bersama sahabatnya, Foggy Nelson (Jon Favreau). Meskipun mereka berusaha membela klien-klien yang kurang mampu, mereka sering menghadapi sistem peradilan yang korup dan penuh tantangan.
Pada malam hari, Matt mengambil peran sebagai Daredevil, seorang vigilante yang membela kota dari kejahatan. Dengan bantuan kemampuan panca inderanya yang luar biasa, Daredevil menegakkan keadilan di jalanan kota yang penuh dengan kejahatan. Konflik utama film berpusat pada pertarungannya melawan Wilson Fisk, alias Kingpin, seorang penguasa kejahatan yang berusaha mengendalikan kota dengan kekuatan dan kekejamannya. Kingpin, yang diperankan oleh Michael Clarke Duncan, adalah karakter antagonis utama yang memiliki agenda untuk menghancurkan semua yang menghalangi kekuasaannya.
Cerita film ini semakin rumit ketika Matt bertemu dan jatuh cinta pada Elektra Natchios (Jennifer Garner), seorang wanita dengan latar belakang misterius yang memiliki agenda tersendiri. Ketika Elektra mengetahui identitas Daredevil, hubungan mereka menghadapi banyak tantangan. Konflik emosional dan fisik yang muncul memberikan dimensi tambahan pada cerita, meskipun beberapa elemen kisah cinta ini terasa klise.
Mencermati Aksesibilitas Film
Dari segi aksesibilitas, “Daredevil” menghadirkan beberapa aspek yang patut dicatat. Pertama, sebagai film yang menggambarkan seorang protagonis dengan difabel visual, film ini berusaha untuk menggambarkan bagaimana Matt Murdock berfungsi dan beradaptasi dengan dunia di sekelilingnya. Penggambaran kemampuan panca indera Matt dan bagaimana dia menggunakan kemampuan tersebut dalam pertempuran merupakan salah satu cara film ini mencoba mengubah persepsi tentang difabel. Meskipun tidak semua elemen film ini sepenuhnya akurat atau realistis, usaha untuk memperlihatkan kekuatan dan keterampilan khusus dari individu dengan difabel patut diapresiasi.
Namun, ada kekurangan dalam bagaimana film ini mengatasi aksesibilitas dan representasi. Beberapa kritik menganggap bahwa film ini tidak sepenuhnya mengeksplorasi kedalaman emosi dan tantangan yang dihadapi oleh individu dengan difabel. Karakter Matt Murdock, meskipun memiliki kekuatan yang luar biasa, sering kali digambarkan dengan cara yang terlalu idealistis dan tidak selalu mencerminkan realitas hidup seseorang dengan difabel visual.
Pesan Moral tentang Inklusivitas
Salah satu pesan moral yang bisa diambil dari “Daredevil” adalah pentingnya inklusivitas dan penerimaan. Matt Murdock, meskipun buta, memiliki kemampuan yang tidak hanya memungkinkan dia untuk bertarung melawan kejahatan tetapi juga memberikan dia perspektif yang unik tentang dunia di sekelilingnya. Film ini menunjukkan bahwa individu dengan difabel tidak hanya memiliki kekurangan, tetapi juga dapat memiliki kekuatan dan potensi yang luar biasa.
Dalam konteks inklusivitas, film ini mencoba menyampaikan pesan bahwa keadilan dan keberanian dapat datang dari berbagai bentuk dan latar belakang. Meskipun Matt Murdock menghadapi berbagai rintangan, dia tetap berjuang untuk keadilan dan tidak membiarkan hambatan pengelihatannya menghalangi tujuannya. Ini bisa menjadi inspirasi bagi penonton bahwa kondisi yang berbeda, termasuk hambatan fisik tidak selalu mengurangi kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan dan membuat perbedaan di dunia.
Namun, film ini juga menggarisbawahi pentingnya representasi yang lebih mendalam dan realistis. Dalam konteks film superhero, sering kali karakter dengan difabel ditampilkan dengan cara yang berlebihan atau idealis, dan ini dapat mengabaikan tantangan nyata yang dihadapi oleh individu dengan difabel dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun “Daredevil” menunjukkan beberapa aspek positif dari karakter Matt Murdock, ada ruang untuk eksplorasi yang lebih mendalam dan realistis tentang kehidupan dengan difabel.
Daredevil, (2003) adalah film yang menawarkan kombinasi antara aksi, drama, dan elemen superhero, dengan Ben Affleck sebagai Matt Murdock dan Jennifer Garner sebagai Elektra. Meskipun film ini memiliki beberapa kekurangan dalam hal aksesibilitas dan representasi difabel, ia tetap memberikan pesan moral yang berharga tentang inklusivitas dan potensi individu. Karakter Matt Murdock menunjukkan bahwa meskipun seseorang mungkin menghadapi keterbatasan fisik, mereka masih memiliki kekuatan dan potensi yang luar biasa untuk membuat perbedaan di dunia.
Film ini, meskipun tidak sepenuhnya berhasil dalam menggambarkan realitas difabel dengan akurat, tetap menjadi tontonan yang menghibur dan menginspirasi. Ini mengingatkan kita bahwa inklusivitas adalah tentang lebih dari sekadar penerimaan; ini adalah tentang menghargai dan memanfaatkan potensi unik yang dimiliki setiap individu, terlepas dari tantangan yang mereka hadapi.[]
Penulis: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan