Views: 10
Solidernews.com – Revolusi Prancis diperingati setiap tanggal 14 Juli dan dikenal sebagai Hari Nasional Prancis. Pemilihan tanggal tersebut terjadi saat adanya serangan terhadap penjara Bastille pada tanggal 14 Juli 1789 berakhir tanggal 19 November 1799 yang dikudeta oleh Napoleon Bonaparte. Peristiwa tersebut sebagai dampak kekuasaan absolut yang sewenang-wenang oleh Raja Louis XV dan peralihan bentuk pemerintah Prancis yang monarki kepada pemerintah yang republik. Revolusi Prancis ini dikenal dengan slogan, yakni liberite (kebebasan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Hingga kini, Prancis menganut pemerintah dengan sistem demokrasi dan kekuasaan rakyat dalam pemerintah. Revolusi Prancis ini menjadi inspirasi bagi Amerika Serikat dan Eropa agar menerapkan sistem pemerintah yang berpihak pada rakyat. Konsep pemerintah demokrasi makin populer di negara barat, meskipun munculnya konsep pemerintah yang absolut dan otoriter, seperti komunisme di Uni Soviet, fasisme di Italia, dan nazisme di Jerman yang diperkenalkan pada abad ke 19.
Lalu bagaimana dampak Revolusi Prancis terhadap hak-hak difabel?
Pada masa Revolusi Prancis, difabel masih belum mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah dan masih sering diabaikan. Sebenarnya perhatian terhadap difabel pada era Revolusi Prancis sudah ada dengan kewajiban pemerintah untuk membantu para difabel menurut undang-undang yang berlaku pada 9 April 1898 yang memperkenalkan kompensasi untuk orang yang mengalami “cedera” sebagai akibat kecelakaan kerja dengan jaminan bantuan umum, asuransi, solidaritas, dan tanggungjawab bersama. Namun secara praktik, pekerja yang mengalami kecelakaan dan kerugian yang ditimbulkan maka ia berhak untuk mendapatkan kompensasi, tetapi hutang masyarakat tidak diwajibkan untuk membayar dengan moral kewajiban sederhana. (Ewald, F. & Stiker H. J. (1999))
Pada saat Prancis dilanda perang dunia, muncul undang-undang baru tentang jaminan dan perlindungan para korban perang maupun korban kecelakaan kerja. Sebuah federasi nasional yang menangani para korban perang dan difabel pun didirikan pada tahun 1921 yang bernama Federation Nationale des Mutiles et Invalides du Travail (FNMIT). Federasi ini kerap selalu menjadi lanksap penting dalam pergerakan hak-hak difabel di Prancis (Montes, 2003)
Prancis merupakan negara pertama yang menggelar Olimpiade untuk para atlet Tuli yang dikenal dengan Deaflympics dan hard-of-hearing yang digelar di Paris pada 10-17 Agustus 1924 yang diikuti oleh 9 negara (Prancis, Belgia, Inggris Raya, Belanda, Hungaria, Italia, Polandia, Romania, dan Cekoslovakia) dan 148 atlet. Pelopor Deaflympics adalah Eugene Rubens-Alcais. Ia juga mendirikan komite olahraga internasional untuk Tuli yang sejajar dengan IOC, bernama CISS (Comite International des Sports des Sourds). Lembaga ini berdiri tahun sama. Deaflympics ini biasa digelar setiap 4 kali sekali pada tahun ganjil dan edisi berikutnya akan digelar di Tokyo, Jepang sedangkan edisi sebelumnya digelar di Caxias do Sul, Brasil.
Masyarakat difabel setempat pada waktu itu seringkali kurang mendapatkan perhatian dan cenderung diabaikan dari segala kebijakan pemerintah. Kelompok ini dipandang sebagai orang sakit yang memerlukan pengobatan dan rehabilitas agar dapat berbaur kembali dengan masyarakat nondifabel. Pada awal abad ke 19, kelompok ini dianggap “beban” bagi negara sehingga saat terjadinya perang dunia pertama dan kedua, kelompok ini menjadi kelompok paling rentan dibunuh bahkan dimusnahkan, seperti pernah dilakukan oleh tentara Jerman pada era perang dunia kedua.
Setelah perang dunia kedua berakhir, kelompok difabel mulai berintengrasi secara inklusi dan setara dengan masyarakat. Hal ini tidak lepas dari banyaknya tentara masih hidup tapi terluka dari ringan hingga berat sebagai dampak perang dunia sehingga mereka memerlukan integrasi secara sosial dan medis agar dapat berbaur kembali dengan masyarakat. Aksesibilitas dan hukum bagi difabel mulai berkembang secara masif dan luas. Seiring dengan masif perkembangan demokrasi, kebebasan, dan persaudaraan yang dinikmati dan dikontrol oleh rakyat, para difabel memanfaatkan momentum untuk menyerukan pada pemerintah dan masyarakat agar dapat memberikan dukungan dan pelayanan untuk mereka.
Di Amerika Serikat, mereka berhasil meloloskan undang-undang disabilitas yang dikenal dengan nama ADA (Americans with Disabilities Act) yang ditandatangani oleh Presiden Amerika Serikat, George W. Bush tahun 1999 berkat aksi para pengguna kursi yang nekat menaiki tangga kantor DPR Amerika atau House of Representative tanpa kursi roda. Pada waktu itu tangga kantor DPR masih belum akses untuk para pengguna kursi roda. Kemudian ADA 1990 mendorong implementasi UU disabilitas secara internasional dan bersifat universal, yaitu CPRD (The Convention on the Rights of Persons with Disabilities) yang diadopsi melalui konsesus di PBB pada tanggal 13 Desember 2006 kemudian secara formal ditandatangani pada tanggal 30 Maret 2007, kemudian telah diratifikasi oleh beberapa negara anggota PBB di seluruh dunia dimana mulai berlaku pada 3 Mei 2008. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi CRPD tahun 2011 kemudian mengesahkan menjadi UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang mengadopsi CPRD.
Meski begitu, Indonesia sendiri masih panjang perjalanan komitmen dan keseriusan pemerintah terhadap UU disabilitas yang sudah disahkan. Sementara Prancis dan negara lain sudah lama menjalankan komitmen mereka dengan masing-masing kebijakan dan undang-undang nasional, bukan hanya secara hukum formal tetapi telah menjadi kesadaran sosial dimana masyarakat menghargai adanya kelompok tersebut. Dengan demikian, Indonesia masih butuh waktu untuk mewujudkannya baik secara formal maupun kesadaran sosial masih rendah, sebagai contoh masih ada pembuat konten media sosial yang dianggap melecehkan dan menghina komunitas difabel yang dijadikan sebagai bahan komedi. Oleh karena itu, Indonesia masih butuh waktu secara kompleks, termasuk dalam kesadaran sosial kita harus perlu ditingkatkan bukan hanya kita mengakui bahwa adanya UU disabilitas.
Jadi, mari tingkatkan semangat Revolusi Prancis dalam pemenuhan hak-hak difabel di Indonesia! Selamat Hari Revolusi Prancis dan Hari Keadilan Internasional![]
Penulis: Raka Nur M
Editor : Ajiwan
Referensi
Barral, Catherine. 2007. Disabled Persons’ Associations in France. Centre Technique National d’Etudes et de Recherche sur les Handicaps et les Inadaptations: Paris, France
Ewald, F. & Stiker H. J. (1999) Solidarite ́, assurance ou assistance? Entretien avec Franc ̧ois Ewald, Esprit, Decembre, pp. 3745.
Deaflympics. https://www.deaflympics.com/icsd/history
GCDD. 2024. A History of Development Disabilities. The Minnesota Governor’s Council on Development Disabilities: St. Paul, Minnesota, United States https://mn.gov/mnddc/parallels/two/1.html
Tim detikJabar. 2023. Revolusi Prancis 14 Juli: Sejarah dan Penyebabnya. https://www.detik.com/jabar/berita/d-6820467/revolusi-prancis-14-juli-sejarah-dan-penyebabnya
Montes J. F. (2003) Des mutile´s de guerre aux infirmes civils: les associations durant l’entre-deux-guerres in: C. Barral, F. Paterson, H.-J. Stiker & M. Chauvie`re (Eds) L’institution du handicap. Le roˆle des associations (Rennes: PUR).