Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Ulya Aufiah Mutmainah

Cerita Perjuangan Ulya Aufiah Mutmainah & Pelita Inklusi Nusantara (PINUS), Menerangi Isu Inklusi Difabel di Majalengka

Views: 100

“Di Majalengka, kendalanya selain kurangnya sensitivitas pemerintah, adalah akses yang jauh ke dinas karena banyaknya desa dan kecamatan. Banyak dari mereka enggan ke kota.” – Ulya, Ketua PINUS, dalam pesan WhatsApp saat dihubungi penulis.

 

Solidernews.com – Ketika saya—penulis—sedang menelusuri isu-isu difabel di wilayah 3 Cirebon melalui media sosial, saya menemukan perbedaan menarik dengan situasi di Majalengka. Meskipun di Cirebon–daerah penulis tinggal–sudah terlihat perhatian yang positif terhadap isu difabel, di Majalengka, situasinya terbilang memprihatinkan karena minimnya penggerak isu difabel di sana. Faktor-faktor beragam, termasuk kurangnya perhatian dari pemerintah dan masyarakat, menjadi penyebabnya. Saat saya sedang melihat-lihat Facebook, saya menemukan akun bernama Ulya Aufiah Mutmainah yang isinya cukup menarik perhatian saya. Ternyata, ia cukup peduli dengan isu-isu difabel. Saya pun menggali berbagai isu penting terkait difabel di Majalengka dari Ulya melalui pesan WhatsApp yang sebelumnya intens melalui Masanger FB, yang membuka pandangan saya akan kompleksitas tantangan yang dihadapi komunitas difabel di wilayah tersebut.

 

Ternyata dalam keriuhan sehari-hari, tersembunyi keironisan yang jarang diperhatikan: tantangan masyarakat difabel di Majalengka yang masih terpinggirkan. Meskipun sudah ada usaha inklusi, nyatanya masih ada kesenjangan yang menunjukkan bahwa sensitivitas dan ruang bagi masyarakat difabel masih belum memadai. Namun, di tengah kurangnya perhatian terhadap isu difabel dan kusta di Majalengka, saya menemukan sosok seperti Ulya Aufiah Mutmainah muncul sebagai salah satu yang berani menghadapi tantangan. Baginya, tidak hanya tentang mengamati, melainkan juga menjadi bagian aktif dalam mencari solusi.

 

Sejak 2018, Ulya, yang memiliki Cerebral Palsy ringan, telah aktif terlibat dalam isu-isu difabel. Langkahnya dimulai dengan keikutsertaannya dalam Forum Komunikasi Difabel Cirebon (FKDC) dan kontribusinya di Oemah Cirebon Inklusi (OCI). Meskipun bergelut dalam dunia akademis di UNU Cirebon, ia tetap tak menyurutkan berperan aktif dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Organisasi Intra Kampus (BEM) UNU Cirebon. Namun, seiring dengan Ulya yang jenjang akademisnya sudah purna, ia kembali tinggal di Majalengka, dari sini banyak dari rekan-rekannya yang menyarankan fokus pada isu difabel di wilayah tersebut.

 

Semua pengalaman itu membentuknya menjadi sosok yang memahami betapa pentingnya fokus pada isu-isu yang memengaruhi masyarakat difabel dan kusta. Terdorong oleh semangatnya, Ulya memimpin langkah dalam membentuk organisasi yang memberi sorotan khusus pada permasalahan ini.

 

Bersama M Ari Budiman sebagai mitra setianya, mereka mendirikan Pelita Inklusi Nusantara (PINUS). PINUS bukan sekadar organisasi, melainkan harapan bagi masyarakat difabel dan mereka yang terkena kusta di Majalengka. Di sini, bukan hanya tempat diskusi, tetapi panggung aksi nyata untuk mewujudkan perubahan.

 

Ulya dan PINUS tidak sekadar membuat gerakan, tetapi juga komitmen yang tulus untuk menciptakan perubahan yang lebih inklusif bagi masyarakat difabel dan mereka yang terkena kusta di Majalengka. Langkah Ulya tidak hanya terbatas pada melihat, tetapi juga membangun ekosistem inklusi yang lebih luas, memberikan ruang untuk belajar, tumbuh, dan berkembang dengan layak dan setara bagi semua.

 

PINUS, Merangkul Inklusi, Bersama untuk Majalengka!

Tepat pada bulan Juli 2023, impian Ulya membuahkan hasil: Pinus (Pelita Inklusi Nusantara) resmi berdiri sebagai yayasan nirlaba. Di balik pencapaiannya, Ulya didukung oleh Maman Sukamto mentornya di Formasi Disabilitas,  Lukman Hakim, dan  Surya sebagai pembina serta pengawas yang memberikan dorongan awal yang tak ternilai.

 

Meskipun masih dalam tahap awal, jumlah individu yang aktif terlibat dalam Pinus masih terbatas. Namun, semangat Ulya  tidak surut. “Pinus bukanlah wadah yang tertutup, melainkan pangkuan terbuka bagi siapapun yang ingin berkolaborasi dan memiliki visi serta misi yang sejalan,” ungkap Ulya.

 

Kenapa “Pelita”? Kata itu tak terambil begitu saja. Ulya menggandeng inspirasi dari kegiatan peduli terhadap difabel dan kusta. “Mengharapkan semangat kepedulian yang membawa perubahan bagi mereka yang terpinggirkan.” Jawab Ulya saat ditanya penulis terkait inspirasi nama Pelita.

 

Ulya memandang “inklusi” bukan hanya sebagai sebuah kata, tetapi upaya nyata dalam membentuk ekosistem yang merangkul kesetaraan bagi setiap individu, tanpa terkecuali. Ulya mempercayai bahwa hak setiap warga Nusantara harus diperjuangkan dengan tulus, maka nama “Nusantara” menjadi variabel nama di akhir.

 

Dalam perjalanannya, Pinus tidak hanya menjadi simbol semata. Ulya mengundang siapa saja yang memiliki semangat yang sama, siapa pun yang ingin berbagi peran dalam menyalakan semangat inklusi, untuk bergabung dan menjadikan perubahan nyata bersama-sama.”Ini bukan hanya tentang membangun yayasan, melainkan membentuk komunitas yang peduli, berbagi, dan mewujudkan keadilan bagi semua,” imbuhnya.

 

Memperjuangkan Inklusi, Perjalanan PINUS dan Komitmennya pada Difabel di Majalengka

Di balik cerita PINUS (Pelita Inklusi Nusantara) di Majalengka, ada semangat dari lima anggota inti yang dipimpin oleh Ulya, yang menggerakkan semua aktivitas mereka. Meski begitu, data menunjukkan jumlah individu difabel di wilayah ini masih sedikit, sekitar 200 orang.

 

Setiap hari, rutinitas pengajaran agama bagi anak-anak difabel terus berjalan di ruang musholla. Kebetulan, kantor organisasi ini berada di rumah Ulya yang bertetanggaan dengan musholla, memberi kemudahan dalam menjalankan program pendidikan agama.

 

Namun, dibalik kesibukan tersebut, ada berbagai hambatan yang jadi cobaan bagi PINUS. Sebagai organisasi baru, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang keberadaannya menjadi tantangan utama. Hal ini berdampak pada pelaksanaan program-program difabel yang masih belum optimal. Mereka masih terkendala dalam mengumpulkan dana untuk kegiatan organisasi dan memenuhi kebutuhan kantor, yang masih bergantung pada kontribusi finansial pribadi Ulya. Walaupun ada bantuan kecil dari penghasilan Ulya di bidang keuangan, kontribusi ini tetap menjadi faktor penentu.

 

Ditambah Kondisi di desa-desa yang minim data dan hanya adanya sepuluh puskesos di Majalengka memperumit akses difabel untuk mendapatkan informasi kesehatan yang menyeluruh. Hal ini menimbulkan hambatan bagi difabel yang membutuhkan informasi kesehatan secara komprehensif di wilayah tersebut.

 

Ketika ditanya  tentang tantangan yang dihadapi, Ulya dengan semangat menjawab, “Kami masih di awal perjalanan. Kami harus lebih berusaha agar masyarakat lebih sadar akan keberadaan kami dan terus menerapkan program-program yang mendukung difabel.”

 

Tapi semangat anggota PINUS tetap berkobar di tengah perjalanan yang penuh rintangan ini. Saya yakin bahwa setiap langkah yang mereka ambil akan membawa perubahan besar bagi mereka yang sering terlupakan dalam masyarakat.

 

Cerita Inspiratif Ulya, Memimpin Perubahan untuk Inklusi Difabel di Majalengka Melalui PINUS, perlu didukung masyarakat luas

Dengan semangat tanpa surut, Ulya telah memimpin langkah-langkah untuk mengatasi isu inklusi difabel di Majalengka melalui organisasi yang ia dirikan, PINUS. Berbekal harapan besar, Ulya bertekad keras agar PINUS bisa memberikan kontribusi yang berarti dalam menghadapi tantangan yang kian menggelayuti isu difabel di wilayah tersebut.

 

Meski terkendala biaya yang harus ia tanggung sendiri, dedikasi Ulya terhadap organisasi ini tidak pernah luntur. Ia terus berjuang demi menjaga roda organisasi berputar, menembus hambatan demi hambatan yang muncul. Dan dalam perjalanan yang penuh perjuangan ini, Ulya tak berjalan sendirian. Di sampingnya ada M Ari Budiman, tidak hanya sebagai pasangan hidup, tetapi juga rekan yang tak kalah penting dalam mendirikan organisasi tersebut. Bersama-sama, Ulya dan Budiman menjadi pionir dalam menyuarakan kepedulian terhadap isu difabel, menjalankan peran yang tak terpisahkan dalam membentuk masa depan yang lebih inklusif di Majalengka.

 

Ucapan terakhir dari Ulya menyoroti pentingnya nilai-nilai yang menjadi landasan PINUS, dengan terima kasih kepada berbagai lembaga yang mendukung. Dari kelompok difabel, Fahmina Institut, Peace Leader Indonesia, Human Initiative, Jabar Bergerak, dan DPD PPDI Jabar, kolaborasi dengan beragam pihak telah menjadi batu loncatan yang memungkinkan PINUS tegak berdiri hari ini. kolaborasi ini memperkuat posisi PINUS dalam mewujudkan lingkungan inklusi di Majalengka, di mana setiap individu dihargai. Pesan ini bukan sekadar pernyataan, tetapi komitmen kuat dalam mengubah dinamika sosial bagi masyarakat difabel di wilayah tersebut.

 

Struktur kepemimpinan PINUS dipimpin oleh Ulya sebagai Ketua, dengan Maman dan Lukman sebagai Pembina. Intan, Surya, dan Eka Danny mengawasi jalannya organisasi. Dewi menjabat sebagai Sekretaris, sedangkan Ida Dariah, Suci, Idham, dan Rivki mengelola keuangan dan pemasaran. Arman bertanggung jawab atas permodalan dan kemitraan, sementara dukungan sosial diberikan oleh Sukarya,  Ipin, dan  Iyos. Mereka bersama-sama membangun pondasi yang kuat bagi PINUS dalam upaya inklusi di Majalengka.[]

 

Penulis: Hasan Basri

Editor   : Ajiwan Arief

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air