Views: 4
Solidernews.com – Saya tiba agak terlambat dari kesepakatan sebelumnya. Di titik kumpul, sudah banyak teman-teman yang datang lebih dulu. Tentu saja ada teman-teman dari Yayasan Kota Kita, sebagai penyelenggara kegiatan dan pengurus PerDIK, mitra mereka di Makassar. JBI dan sebagian teman Tuli pun sudah lebih dulu datang. Hari itu adalah Minggu yang terik di Kota Makassar. Belum juga jam delapan pagi sebenarnya, dan saya sudah harus melumuri tangan dan kakiku dengan sun block yang tebal betul. Tapi saya tetap semangat 45. Bertemu dengan senior dan teman di organisasi difabel Makassar memang selalu sukses membuatku berapi-api.
Sebelum proses audit aksesibilitas itu benar-benar dijalankan, kami berdiri dan berkumpul di tepi trotoar lebih dulu, untuk sekali lagi memperjelas apa yang akan dikerjakan sesuai kesepakatan. Pertama, kami akan dibagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing ragam difabel digabungkan ke dalam satu kelompok yang sama. Dalam kelompok teman Tuli ada Aswita, Fauzan dan Emon. Di dalam kelompok difabel fisik ada Rina, Ega dan Agum. Di dalam kelompok difabel netra ada saya, Wawan, Yoga, Lutfi dan Ridwan. Kami akan menelusuri trotoar dengan alat bantu masing-masing dan menilai aksesibilitas setiap spot yang dilewati. Bersama kami, sebenarnya, ada pendamping yang akan mengawasi dan membantu jika diharapkan. Tapi kuputuskan untuk berjalan sendiri tanpa didampingi agar dapat benar-benar menilai tingkat aksesibilitas jalan pejalan kaki untuk difabel netra.
Rara, dari Yayasan Kota Kita, pada pembekalan di hari sebelumnya sudah menjelaskan pentingnya advokasi berbasis bukti dalam kegiatan yang akan kami lakukan. Hal itu berarti mengaudit trotoar bukan hanya sekadar mengaudit, tetapi juga menuliskan detail temuan dan mengambil bukti berupa foto atau video. Menurut Rara, itu akan sangat membantu proses advokasi. “Karena kita bukan hanya mengkritik, tapi menyertakan bukti,” ucapnya.
Tak lupa juga ia beberapa kali menekankan pentingnya memikirkan solusi dan berpedoman pada aturan yang resmi. Maka dari itu, hari ini juga kami harus melakukan beberapa hal dalam waktu bersamaan: mengenali jalan, menilai aksesibilitas, menulis detail temuan, membuat video atau mengambil foto, mengingat-ingat aturan resmi, kemudian memikirkan solusi.
Kami memulai perjalanan itu dari ujung Jalan Andi Jemma yang berbatasan dengan Jalan Veteran Selatan. Itu adalah perempatan dan tidak perlu diragukan tingkat kebisingannya. Saya akhirnya menyerahkan telepon genggam ke pendamping. Sebenarnya, setiap orang diwajibkan untuk memberi penilaian atas kondisi yang aksesibel dan kondisi yang tidak aksesibel di dalam website www.google.com/mymaps. Tapi untuk pengguna pembaca layar, bahkan ketika kita menggunakan headset, suara pembaca layar tetap sulit terdengar dan kalah dengan kebisingan kota.
Belakangan saya tahu bahwa Jalan Andi Jemma memang sengaja dipilih, mengingat statusnya sebagai pemilik trotoar dengan guiding blok terbaru di Kota Makassar. Yang dibangun saat persiapan ASEAN High Level Forum (AHLF) on Enabling Disability and Partnership beyond 2023 yang lalu. Menjadi salah satu pembangunan yang dibangga-banggakan pada perhelatan agenda internasional tersebut. Mengingat statusnya, saya merasa sangat miris.
Dalam perjalanan menelusuri trotoar yang dilengkapi dengan guiding block tersebut, sekurang-kurangnya, ada sembilan permasalahan pembangunan yang ditemui.
Pertama, curamnya ramp yang saat dicoba oleh Rina (pengguna kursi roda) justru membuatnya nyaris terjungkang ke belakang. Kemiringan ramp itu kemudian diukur dan ditemukan hasil 8 derajat, yang sangat jauh dari standar sebenarnya, yaitu 5 derajat.
Kedua, adanya cela di antara guiding block. Celah tersebut berada setiap kita melintasi lima keramik guiding block. Jika standar panjang guiding block 30 cm per satu keramik, berarti setiap satu setengah meter berjalan, tongkat akan tersangkut di cela kemudian harus mengangkatnya untuk melanjutkan perjalanan.
Ketiga, ada beberapa kendaraan roda dua yang mengambil badan trotoar sebagai spot parkir. Beberapa di antaranya sangat mepet ke area guiding block.
Keempat, beberapa titik trotoar berkontur tidak rata akibat adanya penutup drainase. Membuat roda-roda kursi sulit berputar dan membuat guiding block tidak rata.
Kelima, tidak semua bagian ujung trotoar dilengkapi dengan ramp. Di mana ketinggian trotoar yang sebesar 22 cm, juga tidak memungkinkan untuk dilewati paksa oleh pengguna kursi roda.
Keenam, batang-batang pohon yang menjalar ke samping mengancam pengguna guiding block, berpotensi untuk menghantam kepala difabel netra.
Ketujuh, kegiatan sosial kemasyarakatan seperti hajatan perkawinan yang tendanya didirikan di atas trotoar, menghalangi pejalan kaki.
Kedelapan, tepat di depan Kelurahan Mamajang Dalam, ditemui pipa besar yang melintang menutupi keseluruhan badan trotoar.
Kesembilan, trotoar juga digunakan untuk kegiatan komersial. Di atas guiding block, berdiri kontainer, tenda warung nasi dan aneka peralatan jualan lainnya.
Untungnya, kami melakukan audit aksesibilitas itu beramai-ramai. Sembari berjalan, juga kami sesekali bercanda dan saling menyemangati satu sama lain. Membuat teriknya matahari dan bisingnya jalan raya tidak terlalu mengganggu. Makassar adalah kota yang sejuk, tapi itu hanya dulu. Sekarang ia menjelma menjadi kota yang panas dan gersang. Di beberapa jalan besar, pohon-pohon ditebang lalu digantikan dengan semen atau beton sepanjang mata memandang. Itu membuat saya sempat lama termenung di depan pohon yang batangnya berada di atas guiding block, berpotensi untuk membuat celaka pengguna jalur pemandu tersebut. Jika keadaannya seperti itu, yang harusnya mengalah apakah guiding block sebagai akses masyarakat difabel, ataukah pohon sebagai paru-paru kota? Yang akhirnya berwenang untuk memilih, tentu saja, ya pemerintah. Pilihan yang sekaligus akan menentukan takdir hidup banyak orang.
Bima, dari Yayasan Kota Kita menjelaskan kepadaku ruwetnya kondisi yang dihadapi oleh pemerintah. Berada di antara pilihan aksesibilitas jalan, penghijauan kota dan apalagi persaingan bisnis itu tidak mudah. Belum lagi jika masing-masing aktivis yang memperjuangkan isu-isu tersebut justru hanya mengkritik, tanpa memahami keseimbangan antar satu sama lain. Bima, sambil menata miniatur-miniatur bagian kota, kemudian mengajakku maju. Dia meletakkan miniatur pohon di tengah jalan, tepat di atas guiding block. “Misalkan Lala adalah walikota. Mendapati keadaan yang seperti ini, apa yang akan Lala lakukan?” tanyanya.
Saya meraba sebentar, mengambil pohon buatan itu, mencampakkannya jauh ke belakang. Meninggalkan miniatur trotoar yang akhirnya bersih dari hambatan. Itulah trotoar ideal menurutku, menurut banyak difabel di luar sana.
Tapi, walikota yang bukan difabel mungkin saja luput memikirkan hal-hal itu. Pohon, undakan, ramp curam tidak dipandang sebagai tantangan. Hanya hiasan kota saja. Bima kemudian melanjutkan penjelasannya. Menurutnya, ada beberapa pohon yang memotong jalan, yang masih bisa ditoleransi. Sebab apa? Misalnya, letak pohon itu sebenarnya sudah benar. Hanya kontraktor pemasang guiding block yang tidak mengerti fungsi guiding block, sehingga membiarkan saja pohon yang lebih dulu ada itu tetap di tempatnya padahal ada opsi lain, misal seperti mencari rancangan baru di mana guiding block bisa tetap lurus atau berbelok tanpa menabrak pohon. Itu jika misal tidak lagi ada space untuk menanam pohon. Ini juga dipengaruhi oleh jenis-jenis jalan dan aturan peletakan pohon yang berbeda. Bima mengambil contoh jalan alternatif, yang luas dan memiliki pembatas tengah, yang memungkinkan untuk dijadikan area resapan dengan menanam pohon. Jalanan jenis ini, jika di trotoar tetap saja ada pohon yang menghalangi guiding block, ya patut dipertanyakan. Tetapi jika hal ini terjadi pada jalan kecil di dalam perumahan di mana tak ada cukup ruang lain untuk menanam pohon, dapat dimengerti, dan mungkin sedari sekarang kita harus mulai memikirkan bagaimana guiding block dan pohon tidak menghalangi satu sama lain atau bahkan, meniadakan satu sama lain.
Sementara pemerintah sebenarnya sudah memiliki aturan yang jelas terkait aksesibilitas, seperti Permen PUPR No. 14 Tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Aksesibilitas Bangunan dan Lingkungan, serta Permendagri No. 70 Tahun 2016 yang mengatur tentang Pedoman Perencanaan dan Penyelenggaraan Infrastruktur Jalan yang Ramah Difabel, kenyataannya implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Seharusnya, setiap pembangunan jalan dan fasilitas publik wajib memenuhi standar aksesibilitas yang ketat, termasuk ketersediaan ramp yang aman, guiding block tanpa cela, serta trotoar yang bebas dari penghalang. Namun, dalam praktiknya, kondisi ini kerap diabaikan—baik karena kurang pengawasan, maupun karena sikap permisif terhadap pelanggaran penggunaan trotoar.
Kami hanya berjalan sekitar 700 meter, tetapi catatan ketidakramahan trotoar pada masyarakat difabel sudah sangat banyak. Matahari pun semakin terik. Sebelum mengakhiri proses audit, kami memutuskan untuk foto bersama terlebih dahulu.
Sambil menunggu sesi foto bersama, kami istirahat sambil menertawakan kejadian lucu satu sama lain. Yoga menabrak gerobak jualan orang, Rina nyaris terjungkal dari kursi rodanya. “Kalau dari saya cuma ini, sih, guiding block kan itu lantainya tipe yang licin. Jadi tolong disampaikan kepada pemerintah, guiding block itu dibersihkan, jika perlu ya disikat. Karena pengguna kruk seperti saya, misalnya, itu akan sangat dibahayakan jika guiding block kotor. Apalagi saat hujan. Sementara di Makassar ini banyak sekali jalanan yang kotor,” ujar Agum.
Setelah, proses audit aksesibilitas ditutup. Tapi kegiatan belum berakhir. Kami lalu masuk ke dalam restoran untuk mendiskusikan hasil audit yang ditemukan, sambil tentu saja makan siang bersama.
Apa yang kami temukan di lapangan memang sangat krusial dan perlu diobrolkan. Menurut Lutfi, cara penggunaan tongkat sebagian difabel netra di Makassar tidak benar, termasuk yang saat itu ikut dalam proses audit aksesibilitas. Lutfi menyoroti cara beberapa teman yang menggunakan tongkat putih dengan cara membiarkan ujung tongkat meluncur di atas guiding block, alih-alih menggerakkannya ke kiri ke kanan seperti cara penggunaan yang benar. Di sana saya agak heran. Bukan hanya karena pengetahuan itu baru, tetapi juga karena saya bingung bagaimana bisa merasakan tekstur guiding block jika tongkat tidak dibiarkan menelusuri garis. “Akan terasa di kaki,” kata Lutfi.
Tapi saya masih keheranan. Sehemat pengalamanku, tekstur guiding block itu baru terasa jika kuraba dengan ujung tongkat. Kakiku sangat sulit mengenali tekstur, meski memakai sepatu dan sendal yang paling tipis sekali pun. Kecuali jika saya berjalan sambil menyeret-nyeret kaki. “Juga menurutku alat bantu yang diberikan pemerintah, tidak sesuai dengan standar,” lanjut Lutfi.
Saya kemudian memperhatikan tongkapt putih yang saya gunakan. Tongkat itu saya beli dengan harga 100 ribu saja di kantor DPD Pertuni Sulawesi Selatan. Sudah paling bagus dari tongkat-tongkat yang dijual lainnya, tapi ini pun tidak layak pakai menurut Lutfi. Saya kemudian termenung panjang. Bagaimana dengan teman-teman yang benar-benar hanya bertumpu pada tongkat atau alat bantu pemberian pemerintah? Yang tidak tahu harus membeli tongkat di mana, atau bahkan tak punya biaya untuk membeli alat bantu? Apakah aksesibilitas hanya untuk mereka yang punya uang banyak?
Syarif, ketua Yayasan PerDIK menanggapi kebingunganku dengan serius. Menurutnya, kita (difabel di Makassar) tidak selalu harus mengikuti standar-standar yang dibuat di tingkat nasional, apalagi internasional. Syarif menekankan pentingnya melihat konteks lokal dan bagaimana berbedanya konstruksi masyarakat wilayah Timur Indonesia, dengan konstruksi yang lazim di pulau-pulau lain. “Ada pengetahuan lokal yang harus kita pertimbangkan. Cara menggunakan tongkat, misalnya. Jika berbeda dengan standar, selama kita nyaman dan sesuai dengan lingkungan kita di Makassar, menurut saya itu tidak perlu dipermasalahkan. Sekarang yang menjadi penting adalah bagaimana kita mendorong pemerintah untuk menyediakan aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan difabel di Makassar,” tutup Syarif.
Saya langsung mengangguk-angguk, masuk akal juga. Untuk apa segala macam standar yang sudah pakem diikuti kemudian diimplementasikan jika ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan? “Siapa yang menentukan standar itu, sebenarnya, penting juga. Jangan sampai selama ini pembangunan bertajuk inklusi difabel terus dilakukan, tapi tidak sesuai dengan kebutuhan,” lanjut Mela, dari Yayasan Kota Kita.
Pernyataan Syarif dan Mela membuka ruang diskusi baru. Ruang di mana difabel Kota Makassar perlu bertanya: bagaimana pembangunan kota inklusi, dan apakah standar-standar yang diikuti telah sesuai dengan kebutuhan lokal? Dari diskusi itu, pentingnya standar yang mengacu pada pengalaman lokal dan pengawasan serius terhadap implementasi, menjadi titik awal yang harus diperjuangkan.[]
Reporter: Nabila May
Editor : Ajiwan