Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Catatan Atas Buku “Api Kami Sudah Menyala” Persembahan Teras Baca Difalitera

Views: 49

Solidernews.com – Pernahkah  kamu bermimpi menerbitkan buku yang di situ ada karyamu dan teman-teman komunitasmu, dengan tanpa mengeluarkan biaya sepersen pun? Pernahkah kamu bercerita kepada teman-temanmu di luar sana bahwa kamu pernah berkarya dan itu dibuktikan dengan penerbitan buku? Nah, mungkin itu pertanyaan yang juga kerap ditanyakan oleh diri sendiri bagi seseorang yang tidak memiliki latar belakang penulis namun aktif berkomunitas literasi.

 

Komunitas Teras  Baca Difalitera contohnya, adalah salah satu komunitas yang bergiat di bidang literasi berawal dari kongkow-kongkow, saling ngobrol santai antara pegiat sastra di Solo ketika  bersama teman-teman netra di Yayasan Kesejahteraan Anak-anak Buta (YKAB) Surakarta. Teman pegiat sastra sering  bertanya apa saja kebutuhan teman netra yang belum bisa diakses kaitannya dengan literasi. Sedangkan teman-teman netra selain mengungkapkan bahwa mereka “haus” bacaan karya sastra juga menginginkan adanya interaksi secara mendalam. Artinya mereka ingin ada komunikasi dua arah secara nyata yakni secara offline. Gayung pun bersambut, karena sebentar saja setelah lahir Difalitera, web sastra audio, maka kemudian Teras Baca terbentuk. Teras Baca  beranggotakan Achmad Yusuf, Faizal, Dani, Ira, Bayu, Hendra, dan banyak lagi.

 

Apakah mereka kemudian cukup berkegiatan begitu saja, dengan pembacaan secara tatap muka karya-karya sastra? Tentu selain kegiatan outdoor  yang banyak sekali_ Solidernews.com pernah menuliskan kegiatan-kegiatan tersebut_mereka juga ingin  menghasilkan karya yang dibukukan. Setali tiga uang, para relawan yang tergabung di Teras Baca dan web Difalitera pun juga memimpikan  hal yang sama, sebab beberapa di antara relawan juga menginginkan adanya penerbitan buku yang menggoreskan tentang pengalaman mereka selama saling berinteraksi dan belajar. Bukan hanya teman-teman netra saja lho yang menerima manfaat atas pertemanan tersebut. Teman-teman relawan pun juga banyak belajar kepada teman netra, terkait bagaimana cara berkomunikasi dan berinteraksi termasuk sensitivitas disabilitas. Bahwa mereka teman relawan ini kemudian menuju kepada suatu kesadaran tentang kesetaraan.

 

Pemahaman itu datang tidak ujug-ujug atau tiba-tiba, misalnya sekali datang wis, gitu, terus mereka (teman relawan) ini kemudian merasa sok kenal dan sok dekat. Bukan begitu konsepnya. Karena kesadaran yang dibangun adalah dengan proses yang begitu panjang, melalui interaksi dan komunikasi, tidak hanya daring tapi juga luring. Bahkan perwujudan penerbitan sebuah buku ini pun juga melalui proses yang panjang, di usia Teras Baca yang keenam. Layaknya sebuah keluarga, yang saling mengerti satu sama lain. Bahkan dalam kutipan tulisan saya yang ada di dalam buku yang berjudul “Api Kami Sudah Menyala” ini saya mengunduh bagaimana percakapan kami di WhatsApp Group (WAG) Teras Baca, kepedulian kami dengan anggota keluarga lain, teman  netra, yang saat itu sedang mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, apakah sudah ada yang mendampingi. Lantas juga pertanyaan menanyakan kabar, teman si A kerja di mana, sekarang beraktivitas apa.

 

Ya, pada akhirnya butuh seseorang yang peduli dengan keinginan kami, teman netra dan para relawannya untuk membiayai penerbitan buku. Lantas mimpi-mimpi kami pun dijemput oleh MaySanie Foundation sebuah yayasan nirbala yang sering membersamai Teras Baca dan Difalitera dalam kegiatan-kegiatannya. Lantas terbitlah buku “Api Kami Sudah Menyala” yang memiliki halaman 176 lembar dan berisi karya-karya Achmad Yusuf, Anissa Wulandari, Cahyo Sulistyo. Ketiganya menuliskan puisi yang manis dengan bahasa sederhana. Lalu Hendra  Dwi Pratama yang menulis fiksi mini nan gurih dan menggoda. Lihat saja pada karyanya yang berjudul “Monyet”, Hendra mencoba membanyol dengan cerdas dan tiada terkira, bercerita tentang percakapan ibu dan anak yang menertawakan tragedi yang menimpa rumah mereka. Pada karya berjudul “Ibu Guru Berpenyakit”, tampak keseriusan Hendra untuk lebih fokus kepada cerita fiksi yang benar-benar menghibur. Kiranya modalitas itulah yang bila terus-menerus diasah akan moncer suatu saat untuk menjadikanya seorang penulis jitu.

 

Sedangkan Risqi Ristanto menulis reportase  bagaimana perjalanannya menelusuri sejarah Lokananta. “Saya juga ditunjukkan rumitnya proses rekaman dan pengeditan hasil rekaman. Saya bayangkan itu ribut sekali. Mulanya diperdengarkan suara yang belum diedit, ternyata memang jelek. Suaranya itu seperti lagu yang dikompres atau diperkecil ukurannya. Lalu suara hasil rekam awal itu diedit, diperhalus sehingga menjadi enak didengar.”..hal.19. Lantas ada  cerpen  karya  Shelvi Eightiarini,  narasi  Joko Supriyanto, serta Puput Pudjiatmojo.

 

Sedangkan para relawan juga turut menyumbang karya yang diawali  dengan tulisan pendiri Teras Baca Difalitera,  Indah Darmastuti dan founder MaySanieFoundation, Sanie B. Kuncoro sebagai  pagar pembuka.  Sonsky Ekalya, dosen sinematografi di UIN Raden Mas Said Surakarta  menulis kegelisahannya akan karya yang tak juga kelar, dengan bahasa kocak dan bernas. Juga refleksi Angelina Enny dan Muthia Sayekti  saat berinteraksi dengan teman netra yang kemudian melahirkan kesadaran baru. Sebuah tulisan bukan kategori porn inspiration tapi benar bahwa kita para pembaca dibuat untuk memahami dengan membaca santai namun menohok.

 

Ada pula tulisan ringan pengakuan  Endah Fitriana dan Liston P. Siregar, para peramu musik di balik layar Difalitera tentang bagaimana awal mula mereka tergerak untuk ikut tercebur dalam kerja-kerja kerelawanan yang penuh kegembiraan ini. Selain itu tersaji pula tulisan panjang Aryani Wahyu yang seolah sebuah gerbong perjalanan waktu serta cerita Yessita Dewi, Widyawati Puspita Dewi dan Nanik Indarti. Berbeda dengan teman lainnya, Ringgana Wendy Wiguna lebih menyoroti bagaimana sebuah kota memberikan akses publik yang aksesibel  bagi teman-teman netra saat mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang melibatkan fasilitas publik.

 

Ya, betul, buku ini pun distempel sebagai sebuah catatan kegembiraan dari interaksi bersama.  Tentu penyajian dalam bentuk fisik  layout dan materi tulisan lebih banyak bersifat subjektif namun yakinlah bahwa pengalaman, perjalanan, apabila dituliskan itu adalah sebuah pengetahuan.[]

 

Reporter: Astuti Parengkuh

Editor      : Ajiwan Arief

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air