Views: 14
Solidernews.com – Pada webinar yang dihelat oleh Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) terkait dengan perempuan difabel mental, terdapat temuan ada banyak obat yang memiliki efek samping pada ibu dan anak. Persoalan lainnya kebanyakan obat di faskes pertama adalah obat generasi lama. Lantas bagaimana jika perempuan psikososial yang hamil dan hanya bisa akses faskes terdekat tetapi mendapat obat yang ada efek sampingnya. Pertanyaannya adalah apakah BPJS Kesehatan bisa menyediakan obat yang aman? Juga adanya pembatasan bahwa kontrol dokter hanya dilakukan sebulan sekali. Demikian pula dengan terapi psikolog seakan dibatasi, tidak sesuai kebutuhan dan ditentukan waktunya dalam satu bulan.
Direktur BPJS Kesehatan dr. Ghufron Mukti, M. Sc.,Ph.D, AAK, menjawab pertanyaan bahwa pihaknya siap menerima masukan. Menurutnya penyediaan obat biasanya dilakukan setelah ada satu kajian. Setiap hari ada generasi baru dengan harga bahkan bisa sampai sepuluh kali lipat. Dengan catatan asal bisa masuk di formularium. Kedua, BPJS Kesehatan tidak membatasi sebulan sekali baru bisa mengakses lagi dan tidak ada pembatasan. Termasuk saat mengakses psikolog.
Sedangkan menurut Dr. dr Nurmiati Amir, Sp. KJ, obat psikiatri sebenarnya sudah masuk di BPJS, hanya obat itu tidak masuk di puskesmas dan banyak dokter tidak paham di puskesmas tidak ada.
Lain hal terkait hal tersebut Kemenkes keluarkan Penduan Praktik Klinis (PPK) bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (fktp) berdasar Kepmenkes nomor 1186 Tahun 2022 dan Kepmenkes nomor 1936 tahun 2022.
Timboel Siregar dari BPJS Watch menanggapi paparan dan pertanyaan bahwa semestinya jangan hanya kuratif tetapi juga preventif dan promotif. Masyarakat rentan harus mendapatkan pelayanan lebih seperti misalnya kebutuhan psikolog dan akupuntur harusnya dilayani.
Saat ini sedang menjadi diskusi hangat terkait pemeriksaan darah yang seharusnya tidak berbiaya alias dibayari oleh BPJS Kesehatan. Menurut Tomboel, persoalan dan alternatif harusnya dibuka dan yang didorong oleh BPJS Kesehatan tak hanya kuratif tetapi bagaimana penyediaan obat harus sistematik. Saat ini publik sedang menunggu revisi Perpres 82 Pasal 52 ayat (1) tentang korban kekerasan TPKS yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan.
Pada sesi tanya jawab, Wella survivor bipolar dan skizofrenia serta kepribadian ganda beberapa tahun lalu melakukan program hamil lalu konsultasi kepada dokter spesialis kandungan dan mendapat masukan jika sebaiknya ia tidak hamil. Lantas dirinya berkata bahwa dokter tersebut melanggar HAM. Waktu pandemi Covid-19 ia hamil dan sudah melakukan vaksinasi pertama. maka vaksin kedua harus ditunda dan ia menuruti apa kata dokter kandungan (yang berbeda)
Lantas Bagaimana dengan Perempuan yang Terdiagnosis Gangguan Jiwa Justru Setelah Melahirkan?
Nur Yana Yirah, pendiri dan ketua Mother Hope Indonesia (MHI) mempertanyakan bagaimana jika perempuan yang sebelumnya tidak mengetahui jika ada gangguan jiwa tapi pasca melahirkan, oleh adanya berbagai gejala, lantas dia didiagnosis mengalami gangguan jiwa Post Partum Depression (PPD). Di antara mereka ada yang mengalami kesembuhan setelah setahun berobat. Ada yang kronis lantas menetap. Yana berharap ada kerja sama antara dokter spesialis kejiwaan dan dokter spesialis kebidanan.
Ia juga menyinggung pentingnya screening bagi ibu hamil dan pentingnya data berapapakah ibu yang mengalami PPD atau psikosis post partum. Ia juga berharap tenaga kesehatan keperawatan, SpOG yang melakukan pengecekan kepada ibu hamil dan ini terlalu sering terjadi laporan bahwa mereka tidak memilki perspektif disabilitas mental. Hendaknya mereka memiliki Maternity Respect to Care.[]
Rwporter: Astuti
Editor : Ajiwan