Views: 19
Solidernews.com – Buku Lantun tiga derau bagian pertama merupakan buku tentang difabel yang saat ini memiliki beberapa kondisi disabilitas sekaligus. Timeline dari cerita dalam buku ini yaitu dari Fahri Kecil yaitu usia 0 tahun hingga menjelang masuk kuliah yaitu usia 18 tahun. Sedangkan untuk kondisi 2 disabilitas lainnya baru Fahri alami pada saat usianya 20 tahun sehingga buku pertama ini lebih fokus menceritakan tentang Fahri dan Kondisi Autis yang ia alami.
Buku lantun derau ini ditulis oleh Prima Naomi ibu dengan anak autisme dan Fahri sebagai individu dengan autisme itu sendiri. Perjuangan seorang ibu membesarkan anak dengan autisme yang baru diketahui ketika menjelang masa remaja. Tidak mudah mengetahui memiliki anak dengan kebutuhan khusus, Ibunda Fahri mampu membersamai individu dengan autisme hingga kini menjadi individu yang mandiri.
Diagnosis pertama kali didapatkan Fahri ketika duduk di bangku SMP. Awal mula diagnosis terjadi ketika ibunda Fahri datang ke psikolog untuk tes bakat minat untuk mengetahui bakat dan minat anaknya. Bukan hasil dari bakat minat yang didapatkan, psikolog yang menangani curiga bahwa Fahri menderita Asperger Sindrom. setelah dilakukan tes secara mendalam, bahwa benar Fahri mendapatkan diagnosis Asperger. Bukan hal mudah untuk bagi kedua orang tua Fahri menerima bahwa sang buah hati di diagnosis Asperger. Sindrom Asperger sendiri adalah high functioning autisme yang memiliki kesulitan menjalin interaksi social dan memiliki minat yang terbatas sehingga cenderung kurang fleksibel dalam kehidupan sehari hari.
Proses penerimaan membutuhkan waktu yang cukup Panjang. Kedua orang tua Fahri membulatkan tekat untuk memberitahu Fahri tentang kondisinya dan mengajarkannya untuk berdamai dengan dirinya. Orang tua Fahri memberikan pemahaman perspektif baru melalui buku asperger agar sang anak lebih memahami akan dirinya. Berkat salah satu buku yang berjudul Sindrom Asperger lambat laun Fahri memahami akan kondisinya dan membuat ia lebih berprestasi setelah mengetahui akan kondisinya. Hal menarik dari buku ini terdapat dua perspektif kejadian antara ibunda Fahri dan Fahri sendiri sebagai individu autisme.
Buku ini memberikan pandangan tentang autisme melalui 3 sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang pertama yaitu yang berasal dari sang ibunda, sudut pandang yang kedua berasal dari Fahri sendiri. Sudut pandang terakhir berasal dari orang-orang terdekat yang pernah terlibat dalam kehidupan Fahri.
Bagian pertama pada buku ini akan menjabarkan dari sudut pandang ibunda Fahri lebih dahulu. Pada bagian ini, ibunda Fahri menjabarkan semua yang ia ingat akan pengalamannya sebagai orang yang merawat Fahri dan kondisi Autismenya dari usia 0 hingga 18 tahun. Tentu saja alasan ibu Fahri sebagai orang pertama yang memberikan sudut pandang terlebih dahulu adalah karena Fahri hanya mengingat sebagian kecil memori tentang kejadian yang ia alami di masa kecilnya. Setelah ibu Fahri menjabarkan rangkaian kejadian yang ia alami terkait Fahri, Fahri memberikan sedikit komentar pada kejadian yang ia ingat dari kejadian yang sudah dijabarkan ibunya tersebut, terutama kejadian yang menunjukkan gejala autismenya kepada pembaca.
Sedangkan untuk sudut pandang yang kedua yaitu sudut pandang dari Fahri sendiri dimulai dari masa kecil yang ia ingat. Sebelum masa SMP, kegiatan sekolah semasa SMP, SMA hingga perjuangannya sampai diterima di Univeritas Brawijaya Malang Jurusan Psikologi. Gambaran kehidupan semasa sekolah Fahri serta hambatan yang selama ini didapatkan. Sebagai indiidu autisme yang berbaur masuk dalam sekolah biasa membuat Fahri banyak mempelajari kehidupan sosial dan bagaimana ia harus beradptasi dengan hal tersebut. Kehidupan sosial semasa sekolah Fahri tidak begitu buruk, ia memiliki beberapa teman akrab hingga kini. Mempunyai prestasi yang baik di SMP dan SMA hingga berhasil menyelesaikan studi sarjana psikologinya.
Sudut pandang terakhir yaitu sudut pandang dari salah satu kerabat Fahri yaitu tante Esti. Tante Esti merupakan adik dari bapak Fahri yang berprofesi seorang guru. Tante Esti memperhatikan perkembangan Fahri sebagai keponakannya. Beliau menggambarkan Fahri kecil yang Nampak berbeda dengan anak seusianya. Fahri cenderung sangat pendiam dan tidak dapat mengekspresikan dirinya seperti anak kecil lainnya. Fahri kecil sering kali terbata bata ketika bicara dan ketika ia bicara nada bicaranya datar dan tidak berintonasi. Selanjutnya sudut pandang dari Bu Marwati psikolog yang menangani Fahri ketika SMP. Bu Mawardi mulai mengamati Fahri ketika ibu Fahri memberi tahu bahwa anaknya di diagnosis Asperger Sindrom . setelah itu Bu Mawarti melakukan konsultasi setiap sepekan dengan Fahri untuk berbincang mengenai kondisinya. Respon Fahri yang cenderung blak blakan ketika berbicara membuat Bu Marwati memahami Fahri sebagai individu dengan autisme.[]
Penulis : Emsa
Editor : Ajiwan Arief