Views: 47
Solidernews.com – buku Keberpihakan Media terhadap Difabel yang diterbitkan oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia dan ditulis oleh sejumlah aktivis dan pegiat difabel ini menggambarkan bahwa media selama ini belum memiliki kebrpihakan terhadap difabel. Padahal, media punya fungsi efektif sebagai corong untuk membuka perspektif masyarakat yang lebih baik. Stigma masyarakat kepada kelompok difabel masih berada dalam konotasi negatif. Sebagian besar masyarakat yang belum mengenal dan memahami difabel masih beranggapan bahwa orang-orang dengan disabilitas merupakan kelompok yang berbeda dan selalu membutuhkan bantuan.
Stigma tersebut kemudian mendorong adanya perilaku diskriminasi sosial maupun perilaku meremehkan terhadap kelompok difabel. Menindaklanjuti hal tersebut, masyarakat yang buta akan pengetahuan tentang dunia difabel perlu mendapatkan pengetahuan dan informasi akan disabilitas yang sesungguhnya yang berasal dari perspektif orang difabel yang terkait dengan hal tersebut.
Media sebagai sarana informasi dan komunikasi dapat mengambil peran penting untuk membantu menjembatani perspektif difabel dengan masyarakat luas. Namun, pada kenyataannya masih sedikit ditemui media yang mampu meliput berita tentang disabilitas tanpa melakukan diskriminasi di dalamnya. Selain itu, penyebaran atau penayangan media masih kurang aksesibel bagi difabel yang juga memiliki hak untuk mengakses berita.
Buku “Keberpihakan Media terhadap Difabel” memberikan informasi mengenai bagaimana media dalam merepresentasikan difabel, diskriminasi yang terjadi pada difabel dalam lingkup media, masalah-masalah peliputan isu difabel yang perlu untuk diperhatikan dalam dunia jurnalistik, serta bagaimana cara untuk mengubah perspektif dan citra difabel di mata masyarakat dan media.
Bagaimana media menggambarkan difabel?
Sebagai alat yang dapat dimanfaatkan untuk mengubah perspektif difabel di masyarakat, media masih melakukan berbagai diskriminasi yang salah satunya dalam bentuk pemberitaan yang kurang mendalam dan hanya disampaikan secara singkat dan tidak utuh. Isu difabel dianggap bukan isu seksi yang patut untuk diangkat. Selain itu, kurangnya referensi dan literasi terkait isu difabel juga menjadi alasan sedikitnya pemberitaan disabilitas yang memadai. Perlu adanya latihan bagi para jurnalis dalam peliputan isu difabel dan buku panduan yang berisi etika-etika jurnalistik yang akan membantu para jurnalis dalam meliput isu disabilitas.
Media massa sejauh ini masih terkesan tidak ramah terhadap perempuan difabel, yaitu proses diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan dan difabel, terutama dalam menyajikan representasi perempuan difabel. Masih banyak bentuk kekerasan media massa yang terjadi pada perempuan difabel, padahal dalam penggunaan media dan jurnalistik sudah diatur dalam Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers.
Diskriminasi difabel lainnya yang masih terjadi hingga saat ini adalah diskriminasi hak difabel dalam memperoleh berita. Salah satunya yaitu aksesibilitas masyarakat Tuli dalam mengakses berita di televisi maupun di layanan publik. Penyampaian informasi yang baik perlu diadakan dalam bentuk penyediaan bahasa isyarat dalam berita dengan ukuran yang layak ditonton dan penyediaan teks bagi masyarakat yang mengalami penurunan pendengaran oleh berbagai faktor.
Diskriminasi media yang dilakukan melalui stereotip dan stigma yang terus direproduksi tersebut erat kaitannya dengan penggunaan pendekatan medis dalam melihat disabilitas. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan adalah melihat difabel sebagai permasalahan masyarakat, sehingga yang harus “diperbaiki” dan “diobati” adalah masyarakatnya, bukan difabelnya. Dalam pendekatan kerentanan, difabel dan kelompok rentan lain tetap diposisikan sebagai subjek otonom yang dalam hal ini menjadi kelompok yang paling sering mendapatkan diskriminasi. Untuk itu, penting bagi media menjalankan keberpihakannya kepada warga, terutama kepada warga yang marginal.
Salah satu organisasi dan gerakan difabel di Yogyakarta yang bergerak dalam mengadvokasi dan membuat media alternatif sebagai alat advokasi adalah Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) dengan media yang bernama SOLIDER. Media ini mengawal isu advokasi difabel seperti akses terhadap jaminan kesehatan, hak pendidikan difabel, aksesibilitas fasilitas publik, dan perspektif masyarakat dalam memandang keberagaman. Sekarang ini, media SOLIDER sudah dapat diakses melalui website solidernews.com yang membagikan berita tentang difabel, yang disajikan bersumber dari advokasi difabel itu sendiri.
Bagaimana mengubah watak dan citra difabel?
Mendirikan media alternatif yang melibatkan difabel itu sendiri sebagai jurnalis terlatih dan berperspektif disabilitas yang tergambar dari cara peliputan dan penyajian beritanya. Media alternatif ini mencoba menjadi pembeda dan menjadi wadah bagi difabel untuk menyuarakan isu-isu yang selama ini dianggap masih termarjinalkan di media-media arus utama. Salah satu media yang berupaya untuk mendukung difabel adalah media komunitas, yang merupakan wujud kemerdekaan komunitas dalam bermedia.
Dengan berbagai ragam media komunitas, teman-teman difabel bisa memilih media mana yang sesuai dengan dirinya. Media komunitas akan mengambil berbagai peran dalam membantu isu difabel, seperti membangun saluran informasi dan komunikasi di dalam komunitas, membuka ruang-ruang dialog dan pertukaran pendapat guna penguatan hak-hak difabel, mendorong partisipasi warga komunitas dalam perjuangan hak difabel, menyediakan saluran suara bagi kelompok-kelompok yang tidak bersuara, mempromosikan berbagai potensi yang dimiliki warga dan juga sebagai media advokasi.
Salah satu bagian kelompok rentan yang masih diperlakukan kurang adil oleh media adalah difabel. Aspek yang terkait dengan media dan disabilitas yang berkelindan dengan hak dan kebebasan atas informasi, opini, dan ekspresi adalah aksesibilitas media di Indonesia. Media yang bermartabat merangkul kelompok rentan, tidak meminggirkan, tidak menegasikan, tidak melecehkan. Terkait tanggung jawab perusahaan media untuk merangkul penyandang disabilitas sebagai pekerja, dalam UU RI Nomor 4 tahun 1997 ada amanat kuota 1% pekarya penyandang disabilitas di tiap perusahaan.
Ketika membicarakan tentang media dan difabel, ada tiga hal yang mesti diperhatikan. Pertama, framing pemberitaan media terkait difabel. Hal ini menjadi pembuka untuk melihat bagaimana perspektif media dalam memandang difabel. Hal kedua yang harus diperhatikan ketika membicarakan isu difabel dan media adalah berbagai kebijakan negara terkait dengan media. berbagai kebijakan ini menjadi penanda seperti apa perhatian para pembuat kebijakan terhadap isu-isu difabel. Ketiga, adalah ruang bagi pekerja difabel dalam institusi media. Selain dalam pemberitaan, memberikan kesempatan bagi pekerja difabel untuk bekerja di media tertentu bisa menjadi salah satu indikasi apakah sebuah media menjalankan prinsip kesetaraan atau tidak.
Menurut pengelola Solutions Journalism, jurnalisme solusi yang baik adalah fokus kepada respon atas permasalahan yang dihadapi masyarakat; menguji bagaimana respon itu bekerja dalam detail-detail bermakna; fokus pada efektivitas upaya, bukan sekadar pada niat baik individu serta memaparkan bukti atau hasil-hasil dari kerja atau respon tersebut; kemudian memaparkan bukan sekadar tujuan menginspirasi tetapi pemikiran-pemikiran di sebalik niat baik mereka di mana orang lain atau pembaca dapat mengadopsinya; serta mengangkat aspek-aspek keterbatasan dari sejumlah pendekatan yang dipakai dalam keseluruhan responsivitas itu sehingga memungkinkan didiskusikan bersama.[]
Penulis: Ni’matul Azizah
Editor : Ajiwan Arief