Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Suasana ruang kelas dengan siswa dan guru difabel netra

Buktikan Kebhinekaan; Refleksi Pendidikan Oleh Guru Difabel Netra

Views: 12

Solidernews.com – Jagat maya belakangan ini dipenuhi berbagai perbincangan tentang guru. Mulai dari kasus kriminalisasi guru, isu kesejahteraan, dan terkini warganet disibukkan dengan berita viral seorang guru berstatus ASN yang mengundurkan diri akibat lingkungan kerja yang toxic. Akan tetapi, di tengah riuhnya diskusi tersebut, ada satu kelompok guru yang suaranya seolah tak terdengar, keberadaannya seolah terabaikan, bahkan beberapa memperoleh perlakuan diskriminatif di tengah semangat memperjuangkan kata inklusif di dunia pendidikan. Mereka adalah para guru dengan hambatan penglihatan (Difabel netra) yang mengajar di sekolah umum.

Rafik mengawali karirnya sebagai asisten pengajar di majelis taklim selama empat tahun sebelum akhirnya lulus CPNS pada 2019, “Perjalanan pertama saya menjadi guru karena saya senang berbagi wawasan dan pengalaman kepada siapapun,” ungkapnya. Kini, ia telah mengabdi hampir empat tahun sebagai guru PNS di salah satu sekolah dasar negeri di Bogor.

Sementara itu, Presti memiliki kisah berbeda. Lulusan jurusan Manajemen Pendidikan Islam ini awalnya tidak yakin dengan kemampuannya mengajar, “Awalnya aku ngajar di SLB, agak tidak yakin juga sih karena rasanya aku tidak punya kemampuan cukup baik dalam memberikan pemahaman dan penjelasan,” kenangnya. Setelah mengajar di SLB selama satu setengah tahun, ia memutuskan untuk mencoba keterampilan lain hingga akhirnya mengikuti tes CPNS sebagai guru pada 2019 yang mengantarkannya sebagai guru agama di salah satu madrasah tsanawiyah di Jawa Tengah.

Hambatan penglihatan justru mendorong keduanya untuk lebih kreatif dalam mengajar. Rafik mengembangkan metode pembelajaran yang interaktif dengan memanfaatkan ice breaking dan media audio-visual, “Saya tidak hanya berceramah di depan kelas, tetapi menyampaikan materi melalui ice breaking supaya anak-anak tertarik dan tidak ngantuk,” jelasnya. Untuk beberapa materi lain pun ia menggunakan video-video menarik dari berbagai sumber serta menerapkan berbagai metode evaluasi yang kreatif.

Sementara itu, untuk mengatasi keterbatasan sarana prasarana pendidikan, Presti bahkan berinisiatif membeli proyektor portable pribadi untuk menunjang pembelajaran. Hanya saja, tantangan teknis tetap ada, “Kalau di kelas kan butuh colokan tuh buat LCD, jadinya harus bawa terminal listrik, dan itu sudah dua kali hilang. Masa aku harus bawa pulang juga kabel-kabelnya itu?” ceritanya sambil tertawa.

Presti pun  memanfaatkan teknologi digital seperti Google Form dan Google Classroom untuk evaluasi pembelajaran. Bahkan, ia mengupayakan agar siswa-siswinya diperkenankan membawa smartphone pada saat sesi pembelajarannya, meski konsekuensinya ia harus bersedia menyimpan puluhan bahkan ratusan gaway tersebut selama pembelajaran lain dikarenakan aturan madrasah yang sebenarnya tidak memperbolehkan siswa membawa smartphone.

Perjuangan mereka tidak lepas dari berbagai tantangan, terutama dalam hal penerimaan dan aksesibilitas, “Awal-awal pastilah banyak yang sungkan untuk mendekati saya,” ungkap Rafik. Ia menceritakan bagaimana masih ada diskriminasi yang tidak disadari, seperti keterbatasan akses terhadap fasilitas untuk menyusun administrasi sekolah secara mandiri dan jarangnya dilibatkan dalam kepanitiaan kegiatan-kegiatan sekolah.

Presti menghadapi tantangan serupa. Di awal karirnya di madrasah ia tidak diberi kesempatan mengajar mandiri dan harus team teaching, “Mungkin mereka takut aku tidak bisa memanajemen kelas dengan baik,” kenangnya. Namun, ia membuktikan kemampuannya ketika sering ditinggal mengajar sendiri oleh rekan team teaching-nya, “Alhamdulillah anak-anak lebih enjoy denganku,” ujarnya dengan bangga.

Rafik mengakui, “Terkadang sih saya merasa ada orang tua siswa tuh kayak responnya cuek aja, kesannya kayak nggak nganggap saya ada gitu. Tapi buat saya itu nggak penting, saya harus tetap fokus pada tugas sebagai pendidik.”

Di lain sisi, Presti pernah menghadapi protes orang tua terkait nilai ujian anaknya yang rendah, meski nilai tersebut murni hasil kerja siswa dan dikoreksi bersama oleh seluruh siswa di kelas.

“Bagi orang awas, istilah inklusif justru seakan-akan didefinisikan seperti eksklusif. Semua sekolah seharusnya disebut sekolah inklusif karena sekolah untuk semua,” ungkap Rafik. Ia menekankan bahwa inklusif seharusnya berarti pendidikan untuk semua, bukan hanya untuk difabel.

Keduanya berharap ada perubahan sistem yang lebih baik. Presti menyoroti pentingnya pemenuhan hak dan perlindungan guru difabel, termasuk tunjangan khusus dan dukungan sarana prasarana, “Perlu ada perlindungan terhadap guru-guru yang memiliki permasalahan terkait aksesibilitas di lingkungan kerja,” tegasnya. Ia juga berharap ada dukungan untuk pengembangan kapasitas guru difabel, termasuk dalam hal administrasi dan teknologi pendukung pembelajaran.

Rafik menambahkan pentingnya kebijakan yang mendukung mobilitas guru difabel dan pemahaman yang benar tentang disabilitas di lingkungan kerja, “Setiap instansi khususnya lembaga pendidikan harus punya semacam pusat layanan dan informasi disabilitas, dari mulai Kementerian sampai dinas-dinas di provinsi dan kabupaten kota,” usulnya.

“Buktikan Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi keberagaman dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya, sebab keberagaman tidak hanya berdasarkan suku, adat, ras, dan agama, tetapi juga menjunjung tinggi keberagaman kondisi fisik warganya,” tutup Rafik.[]

 

Reporter: Syarif Sulaeman

Editor     : Ajiwan

 

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content