Views: 25
Solidernews.com – Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, huruf Braille tetap menjadi simbol penting dalam perjuangan aksesibilitas bagi kalangan difabel netra. Meskipun kita hidup di era kekinian yang serba digital, di mana informasi dapat diakses dengan mudah melalui layar dan suara, relevansi Braille tidak dapat diabaikan.
Pada 4 Januari 2025 kita bersama-sama merayakan Hari Braille Sedunia. Sebuah momen penghormatan untuk sosok pahlawan difabel netra Luis Braille yang sudah berjasa menghantarkan metode membaca dengan braille sehingga kita dapat menyerap pengetahuan dengan nyaman. Di saat inilah momen refleksi dan perenungan kembali braille harus terus dilakukan.
Sebelum adanya berbagai teknologi yang sehebat hari ini, huruf braille sangatlah penting. Sebuah abjad timbul ini merupakan jembatan penghubung antara pengetahuan dengan difabel netra. Membaca buku, menulis, hingga menebarkan kebahagiaan bagi difabel netra yang ingin menggeluti dunia ilmu yang tidak terbatas.
Sudah banyak hal dapat dilakukan difabel netra berkat adanya braille. Namun, memang akhir-akhir ini braille tengah mengalami pergeseran minat sebab datangnya teknologi screen reader yang dianggap lebih mudah dipelajari dan digunakan. Sehingga posisi braille sering tidak dianggap menjadi kebutuhan dasar yang penting.
Supriyati, pengurus Lembaga Sosial Difabel netra Al-Hikmah Yogyakarta, pada wawancara via telepon 4 Januari 2025 menjelaskan bahwa dirinya juga banyak menemui difabel netra yang beranggapan bila braille itu kurang diminati. Karena sudah ada teknologi berbasis audio yang mana penggunanya tinggal mendengarkan. Tetapi Supriyati tidaklah setuju dengan fenomena dan pandangan tersebut.
“Bagaimanapun braille adalah identitas kita. Teknologi tetaplah tidak bisa menggantikan secara penuh peran braille. Sebab serapan informasi dan emosional orang membaca dengan langsung, dengan membaca yang hanya dibacakan itu tentulah berbeda. Utamanya bila kita belajar untuk bahasa arab atau membaca Al-Qur’an,” tutur Supriyati.
Konsep Braille Masih Penting
Huruf Braille diciptakan oleh Louis Braille pada awal abad ke-19 sebagai respons terhadap keterbatasan aksesibilitas bagi orang-orang yang tidak dapat melihat. Dengan menggunakan enam titik yang disusun dalam sel, Braille memungkinkan difabel netra untuk membaca dan menulis dengan cara yang sama seperti orang yang melihat menggunakan huruf cetak. Sejak saat itu, Braille telah menjadi alat penting dalam pendidikan, komunikasi, dan pemberdayaan bagi jutaan orang di seluruh dunia.
Irwan, seorang penulis buku dan penyair difabel netra dari Tulungaggung, Jawa Timur pada wawancara via telepon 4 Januari 2025 menjelaskan kalau penggunaan braille, pemanfaatan, dan pengembangan merupakan wujud penghormatan kita kepada Louis Braille sang penemu aksara untuk difabel netra.
“Ya, tentu mas. Braille ini adalah simbol kemandirian dan perjuangan kita terhadap akses pengetahuan. Betapa pun teknologi sudah hadir, namun peran braille tidaklah dapat digantikan sepenuhnya oleh teknologi. Utamanya ketika anak-anak difabel netra yang gemar belajar matematika, IPA, dan sejenisnya,” imbuh Irwan.
Irwan menegaskan kalau pembelajaran matematika, IPA, bahasa arab, dan nahwu shorof (salah satu pembelajaran dalam kitab Suci Al-qur’an), serta beberapa disiplin ilmu lain tetap maksimal bila dipelajari dengan format braille. Karena bagaimana pun digital itu memiliki keterbatasan. Utamanya adalah keterbatasan transkripsi simbol, grafik, gambar visual bila dibacakan screen reader.
Relevansi Huruf Braille di Era Digital
Meskipun teknologi digital menawarkan banyak kemudahan, tantangan aksesibilitas tetap ada. Banyak aplikasi dan situs web yang tidak dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan difabel. Misalnya, meskipun ada perangkat pembaca layar yang dapat mengubah teks menjadi suara, banyak informasi masih disajikan dalam format visual yang sulit diakses. Ini menciptakan kesenjangan informasi yang signifikan antara pengguna biasa dan difabel. Dalam konteks pendidikan, meskipun banyak materi ajar kini tersedia secara digital, tidak semua institusi menyediakan bahan dalam format Braille atau ramah akses. Hal ini membatasi kemampuan difabel netra untuk belajar dan berpartisipasi secara aktif dalam lingkungan akademis.
Huruf Braille tetap relevan di era digital. Pertama, Braille memberikan cara langsung dan taktil bagi difabel netra untuk mengakses informasi. Banyak orang yang lebih nyaman membaca dalam format Braille karena mereka dapat merasakan huruf-huruf tersebut dengan jari mereka. Ini menciptakan pengalaman membaca yang lebih mendalam dan personal. Kedua, sistem Braille juga berfungsi sebagai alat literasi dasar. Meskipun teknologi dapat membantu dalam mengakses informasi, kemampuan untuk membaca dan menulis dalam format Braille tetap penting untuk pengembangan keterampilan literasi. Ini sangat krusial bagi anak-anak difabel netra yang sedang belajar membaca.
Gema, Ketua Umum Pertuni turut menyampaikan pandangannya terkait tantangan braille di era digital. Dirinya yang juga seorang pengajar, menyampaikan keprihatinan terhadap generasi muda difabel netra yang menganggap braille itu sudah tidak terlalu penting. Ia merasa kalau dalam konteks difabel netra, penguasaan huruf braille itu merupakan kebutuhan dasar yang harus dikuasai.
“Bagaimana tidak mas? Braille itu merupakan kunci kita dapat membaca dengan langsung. Seperti saat belajar membaca Al-Qur’an, mengakses lift gedung mandiri, akses informasi cetak, dan sejenisnya. Jadi, braille ini masih sangat relefan dan harus dikuasai oleh seorang difabel netra,” ujar Gema pada wawancara via telepon 15 Januari 2024.
Sinergi antara Teknologi dan Braille
Di era digital ini, kita juga melihat potensi sinergi antara teknologi dan sistem Braille. Beberapa inovasi terbaru telah mengembangkan perangkat yang menggabungkan teknologi digital dengan huruf Braille. Misalnya, perangkat pembaca Braille elektronik yang dapat terhubung ke komputer atau smartphone memungkinkan pengguna untuk membaca teks digital dalam format Braille secara real-time. Inovasi semacam ini menunjukkan bahwa meskipun kita hidup di dunia yang semakin digital, sistem Braille masih memiliki tempatnya. Dengan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan aksesibilitas, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi semua individu.
Alice, Seorang Deafblind (difabel netra-Tuli) yang merupakan anggota Organisasi PELITA Indonesia, menjelaskan kolaborasi braille dan teknologi digital sangat membantu rekan-rekan Deafblind. Ia mengungkapkan bila akses braille ini juga sangat penting untuk dipelajari kawan-kawan difabel netra-tuli. Utamanya bagi mereka yang sudah tidak mampu menggunakan pembesaran layar, screen reader, dan sejenisnya. Karena dengan braille nantinya kemampuan ini bisa membantu komunikasi, mencari informasi, dan berjejaring menggunakan teknologi hardware braille display.
“Kami selalu didorong untuk belajar braille. Karena ini dapat menjadi akses informasi saat kita sudah tidak dapat mengakses screen readers dan pembesaran layar. Karena braille display yang dihubungkan ke gadget dapat menjadi jembatan kita mengakses pengetahuan, komunikasi, dan informasi,” ujar Alice pada 31 Oktober 2024.
Gema dan Supriyati pun menjelaskan kalau metode menulis braille juga dapat diterapkan di Smartphone. Dengan keyboard braille yang ada di fitur aksesibilitas, menulis dengan logika braille dapat diterapkan. Jadi, salah kiranya bila braille dianggap tidak selaras dengan teknologi modern.
Perenungan tentang relevansi huruf Braille di era digital mengingatkan kita bahwa meskipun teknologi terus berkembang, kebutuhan akan aksesibilitas tetap ada. Huruf Braille bukan hanya sekadar alat komunikasi; ia adalah simbol pemberdayaan bagi penyandang difabel netra. Dengan mengakui pentingnya sistem ini dan berkomitmen untuk menciptakan solusi yang inklusif, kita dapat memastikan bahwa semua orang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam masyarakat modern tanpa batasan. Mari kita terus mendukung dan mempromosikan penggunaan huruf Braille sebagai bagian integral dari perjalanan menuju inklusi sosial dan aksesibilitas informasi bagi semua.[]
Reporter: Wachid
editor : Ajiwan