Views: 16
Solidernews.com – Setelah kita mengupas berbagai mitos seputar kemampuan, kemandirian, pendidikan, dan pekerjaan difabel netra dalam dua artikel sebelumnya, kini saatnya kita menjelajahi lebih jauh ke ranah hiburan dan olahraga. Masyarakat umum seringkali memiliki persepsi yang keliru tentang bagaimana difabel netra dapat menikmati hiburan atau berpartisipasi dalam kegiatan olahraga. Artikel ini akan membongkar dua mitos utama tersebut dan menunjukkan betapa kayanya pengalaman difabel netra dalam dunia hiburan dan olahraga.
Mitos: Difabel Netra Tidak Bisa Menikmati Film dan Seni Visual
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya menikmati film tanpa melihat layar? Atau mengapresiasi lukisan tanpa memandang kanvas? Bagi sebagian besar masyarakat umum, pertanyaan ini mungkin terdengar absurd. Namun, bagi jutaan difabel netra di seluruh dunia, ini adalah realitas sehari-hari yang mereka hadapi dan atasi dengan cara-cara kreatif mereka masing-masing.
Kenyataannya, difabel netra dapat dan memang menikmati berbagai bentuk hiburan visual, termasuk film dan seni rupa. Inovasi teknologi dan pendekatan inklusif telah membuka pintu bagi mereka untuk mengalami dunia visual melalui cara yang unik dan menarik.
Bayangkan Anda sedang menonton film “guru-guru gokil”, tiba-tiba, layar menjadi gelap. Namun, Anda masih bisa mengikuti alur cerita dengan sempurna. Bagaimana mungkin? Jawabannya adalah deskripsi audio, sebuah inovasi yang telah merevolusi cara difabel netra menikmati konten visual. Suara lembut seorang narator menjelaskan elemen visual penting tanpa mengganggu dialog, memungkinkan penonton untuk membangun adegan dalam pikiran mereka. Netflix, sebagai contoh, telah meningkatkan jumlah konten dengan deskripsi audio, menandai pergeseran industri menuju inklusivitas yang lebih besar.
Gusde Surya, seorang difabel netra yang terlibat dalam proyek deskripsi audio, mengatakan, “Saya percaya bahwa film adalah pengalaman universal, dan melalui deskripsi audio, saya dapat membawa pengalaman itu kepada orang-orang yang tidak dapat melihat seperti saya.” Pernyataan ini menegaskan bahwa dengan bantuan teknologi, difabel netra dapat menikmati film sama seperti orang lain.
Selain itu, konsep “teman bisik” juga menunjukkan bagaimana difabel netra dapat menikmati pengalaman menonton film di bioskop. Dikutip dari artikel “Jangan Takut Nonton Film di Bioskop Bareng Difabel Netra!”, seorang teman bisik bertugas membisikkan kejadian dalam film kepada teman netra ketika tidak ada dialognya. Ini memungkinkan mereka untuk membangun gambaran mental yang kaya tentang adegan yang sedang berlangsung.
Ajeng Safira, penulis artikel tersebut, berbagi pengalamannya sebagai teman bisik: “Menjadi teman bisik ketika menonton film bisa sangat berarti bagi teman netra. Karena dengan berbagi bisik, teman netra akan merasakan sensasi menonton seperti nondifabel. Mereka bisa membayangkan adegan, latar tempat, dan suasana yang tergambar dalam film.”
Dalam dunia seni rupa, pendekatan “seni sentuh” semakin diadopsi oleh museum di seluruh dunia. Pengunjung difabel netra diizinkan untuk menyentuh karya seni, merasakan tekstur lukisan, dan menghayati dimensi yang tidak terlihat oleh mata. Ini membuka pintu apresiasi seni yang selama ini tertutup bagi difabel netra.
Lebih jauh lagi, difabel netra juga mampu berkarya dalam seni pertunjukan. Kisah Yudha Wira Jaya, seorang mahasiswa seni teater di ISI Yogyakarta, membuktikan hal ini. Yudha, yang mengalami penurunan penglihatan pada usia 14 tahun, justru menemukan panggungnya di dunia teater. Ia tidak hanya berhasil masuk ke jurusan seni teater, tetapi juga aktif dalam pementasan dan pengajaran teater.
“Ya, berkat ketekunan di dunia seni, saya ternyata bisa menyiapkan dan menata masa depan bersama megahnya karya seni,” tutur Yudha. Keberhasilannya menunjukkan bahwa seni pertunjukan bukan hanya tentang apa yang dilihat, tetapi juga tentang emosi, narasi, dan pengalaman yang disampaikan.
Mitos: Difabel Netra Tidak Bisa Berpartisipasi dalam Olahraga
Olahraga sering dianggap sebagai domain yang membutuhkan penglihatan sempurna. Namun, realitasnya jauh berbeda. Difabel netra tidak hanya dapat berpartisipasi dalam olahraga, tetapi juga berprestasi di tingkat nasional dan internasional.
Salah satu contoh yang mengesankan adalah judo tunanetra. Seperti yang dijelaskan dalam artikel “Sejarah Blind Judo, Salah Satu Olahraga Kegemaran Kawan Netra”, olahraga ini telah berkembang dari cabang yang relatif tidak dikenal menjadi olahraga yang diakui secara internasional. Judo tunanetra bahkan telah menjadi bagian dari Paralympic Games sejak 1988.
Asal usul judo tunanetra dapat ditelusuri kembali ke tahun 1980-an, ketika adaptasi untuk atlet difabel netra mulai mendapatkan perhatian. Sejumlah atlet di Jepang serta negara-negara Eropa mulai berlatih dan berkompetisi dalam judo tunanetra. Pengenalan judo tunanetra di Paralympic Games 1988 di Seoul, Korea Selatan, menandai langkah besar menuju pengakuan global dan pengembangan olahraga ini.
Di Indonesia, judo tunanetra mulai diperkenalkan pada awal 2000-an dan telah menjadi salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan di Pekan Paralimpiade Nasional (PEPARNAS) sejak 2016. Ini menunjukkan bahwa dengan adaptasi yang tepat, olahraga yang tampaknya sangat bergantung pada penglihatan pun dapat diakses dan dinikmati oleh difabel netra.
Ira Purnamasari, seorang atlet judo nasional yang menjadi pelopor judo tunanetra di Indonesia, berbagi pengalamannya: “Jadi memang Jawa Barat yang paling dulu. Karena kebetulan waktu itu Jawa Barat juga menjadi tuan rumah untuk PEPARNAS XV/2016. Jadi saya aksesnya bisa lebih banyak, lebih tahu, belajar lebih dulu dari yang lain.”
Selain judo, ada juga olahraga adaptif lain seperti goalball atau showdown yang dirancang khusus untuk difabel netra. Olahraga-olahraga ini mengandalkan pendengaran dan sentuhan, mengasah refleks dan koordinasi tim tanpa bantuan penglihatan. Ini membuktikan bahwa dengan kreativitas dan adaptasi, hampir semua jenis olahraga dapat dimodifikasi untuk memungkinkan partisipasi difabel netra.
Perkembangan olahraga bagi difabel netra tidak hanya membuka kesempatan untuk berprestasi, tetapi juga memberikan manfaat kesehatan dan sosial yang signifikan. Partisipasi dalam olahraga dapat meningkatkan kebugaran fisik, kepercayaan diri, dan keterampilan sosial para difabel netra.
Penting bagi kita untuk terus membuka mata dan pikiran kita terhadap potensi luar biasa yang dimiliki oleh difabel netra. Mitos-mitos yang telah kita bongkar – mulai dari kemampuan dasar, kemandirian, pendidikan, pekerjaan, hingga partisipasi dalam hiburan dan olahraga – seharusnya menjadi cambuk bagi kita semua untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif.[]
Reporter: Syarif Sulaeman
Editor : Ajiwan
Sumber:
Ajeng Safira. (2024). Jangan Takut Nonton Film di Bioskop Bareng Difabel Netra! Begini Pengalaman Pertamaku Jadi Teman Bisik. https://solidernews.com/jangan-takut-nonton-film-di-bioskop-bareng-difabel-netra-begini-pengalaman-pertamaku-jadi-teman-bisik/, diakses pada 20 September 2024.
Andi Syam. (2024). Sejarah Blind Judo, Salah Satu Olahraga Kegemaran Kawan Netra. https://solidernews.com/sejarah-blind-judo-salah-satu-olahraga-kegemaran-kawan-netra/, diakses pada 20 September 2024.
Harisandi. (2023). Audio Description, Akses Menonton Film Pendek Bagi Difabel Netra Denpasar. https://solidernews.com/audio-description-akses-menonton-film-pendek-bagi-difabel-netra-denpasar/, diakses pada 20 September 2024.
Wachid Hamdan. (2024). Yudha Wira Jaya, Aktualisasikan Diri Lewat Seni Teater. https://solidernews.com/yudha-wira-jaya-aktualisasikan-diri-lewat-seni-teater/, diakses pada 20 September 2024.