Views: 17
Solidernews.com, Bantul. SENI. Adalah bentuk imajinasi yang diekspresikan seseorang, melalui pikiran menjadi karya, dengan melibatkan cerita dan keindahan di dalamnya. Setiap orang dalam berbagai kondisi (fisik, mental, intelektual, sensorik) yang berbeda, dapat mencipta karya seni. Melalui seni, berbagai perbedaan dapat disatukan.
Hal tersebut dibuktikan Jogja Disability Arts (JDA). Yayasan seni yang berkantor di Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta ini, berkolaborasi dengan CIC, salah satu komunitas seni dari Wales, Inggris. Dalam kolaborasinya kali ini, delapan seniman (satu orang dari Inggris – tujuh dari Indonesia), menciptakan karya seni mural, pada tembok berukuran lebih kurang 8 x 5 meter.
Mural yang dikerjakan di Kampung Dolanan, Pandes, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), resmi diluncurkan pada Minggu (7/7/2024). Projek kelima kali ini dikerjakan oleh Andrew Bolton (Inggris), bersama tujuh seniman JDA, Sukri Budi Dharma (difabel fisik), Nano Warsono, Rofita Rahayu (tuli), Edi Priyanto (difabel fisik), Bernard Wora Wari, Eri Sektiawan, dan Zakka (tuli).
Mengutip keterangan tertulis JDA, bahwa mural tersebut merupakan lanjutan dari Projek Lintunan/Cyfnewid/Exchange, antara Community Murals CIC UK dengan Jogja Disability Arts (JDA) Indonesia. Sebelumnya, pada Oktober 2023, JDA yang diwakili Sukri “Butong” Budi Dharma dan Nano Warsono, melakukan residensi di Inggris. JDA telah membuat 2 mural di Wales dan 1 mural di Bristol (UK). Selain itu juga artist talk dan pameran keliling dibeberapa tempat di Wales.
Serupa residensi balasan, Andrew Bolton dan keluarga mengunjungi JDA, melakukan residensi selama satu bulan (29 Juni – 28 Juli 2024). Kolaborasi seniman Inggris – Indonesia kali ini, dikemas dengan tajuk Artrasa Mini Art Festival (AMAF). Dengan dua kegiatan di dalamnya. Yakni, projek Mural, dan pameran seni rupa “Artrasa”. Pameran ini akan dilangsungkan pertengahan Juli mendatang, di Galeri Fadjar Sidik, Jurusan Seni Murni, FSR ISI Yogyakarta. Indonesia akan menampilkan karya-karya komunitas yang di organisir oleh JDA. Sedang Inggris akan menampilkan karya-kaya dari komunitas seniman disabilitas Wales DAC.
Cerita dibalik mural
Kebersamaan, kesetaraan, dan memahami inklusivitas dalam proses bermain, menjadi ide dari mural tersebut. Kesetaraan dan kebersamaan, digambarkan melalui penggambaran identitas visual masing-masing negara. Motif batik, tenun, bunga, dan burung digambarkan dalam satu kesatuan yang saling bertumpuk/transparan.
Bunga daffodil dan mawar sebagai identitas wales. Sedang bunga melati sebagai identitas Indonesia. Burung Garuda dan perkutut sebagai Identitas Indonesia, burung wallet sebagai identitas wales. Selain itu juga ada figure khusus yang digambarkan dalam mural ini yaitu sosok Ayla. Ayla adalah seorang anak penyintas kanker dari Wales. Digambarkan dalam silhuet dan potret wajah secara transparan menggunakan topi khas Wales.
Pada kesempatan peresmian, Nano Warsono menjelaskan. Bahwa projek yang sedang belangsung, merupakan rangkaian residensi seni, di bawah hibah Unlimited. Pasca peluncuran mural, masih ada serangkaian acara. Di antaranya pameran dan artist talk bersama Andrew Balton.
Menyampaikan pesan tentang keberamaan dan kesetaraan, menjadi ide dasar, ujar Nano. Bahwa, inklusi sesungguhnya bisa dipelajari melalui proses bermain. Tanpa harus melalui edukasi formal (sekolah).
“Dalam permainan muncul hal-hal yang sifatnya inklusif. Ini bisa menjadi wahana memberi pesan inklusif. Seni mampu memadai hal-hal yang sifatnya inklusi. Tempat bersama yang bersifat setara, antara seniman difabel dan nondifabel. Pesan ini bisa digabungkan,” terang Dosen yang juga Direktur Galeri Kartamsi ISI Yogyakarta itu.
Adapun Andrew Bolton, mengaku bangga dan bahagia mendapatkan kesempatan residensi. Dia mengutarakan terima kasih kepada orang-orang yang hadir pada peresmian mural. Dia juga mengatakan bahwa antara JDA dan dirinya, sudah bekerja sama cukup lama. Ada 4 project, lanjut dia. Yang terakhir ini, adalah hibah dari Unlimited Project.
Seniman asal Wales, Inggris itu sudah cukup lama (20 tahun) bekerja sama dengan komunitas dan perorangan. Lebh banyak bekerja dengan seniman difabel dan komunitas kecil di wales. Salah satunya dengan pengungsi. Harapannya ada interaksi egaliter (tanpa jarak) dan mengalir. Sehingga, setiap orang punya karya bersama. Bisa berbagi tanggung jawab.
Inklusi melalui bermain
Memberikan sambutan sekaligus meresmikan peluncuran mural, Lurah Desa Panggungharjo Wahyudi Anggorohadi menyampaikan beberapa hal. Mewakili desanya, pria berpeci itu menyampaikan apresiasinya. Dia pun gembira, karena kali ini untuk yang ketiga kalinya, Desa Pangguharjo digambar. “Masih banyak ruang yang bisa direspon,” tambahnya sembari bergelak tawa.
Kemampuan bermain sifatnya universal. Bagian dari proses inheren penciptaan karya. Ada 800 jenis dolanan, dan ribuan bahasa. Kaitannya dengan dolanan anak, dolanan Jawa memberikan gambaran bagaimana menjadi ruang inlklusi. Menjadi media untuk belajar. Dalam permainan, yang diasah tidak hanya kemampuan intelektual. Tetapi juga kecerdasan yang multipple.
Dicirikan dengan empat bagian. Wicara. Ini menjadi bagian orang tua mengasah artikulasi bahasa. Wiraga. Mengembangkan kinestetik. Lari, sebagai contoh. Wirama. Irama bisa dibangun ketika seorang anak bisa bekerja sama. Dibutuhkan kecerdasan intra dan ekstra personal. Wiroso. Dolanan untuk tujuan edukasi. Paling susah, minta izin main ke luar. Pasti adiknya harus diajaki. Di sini rasa tanggung jawab menjadi bagian dari permainan.
Mengubah stigma
Sedang Ketua JDA Sukri ‘Butong’ Budi Dharma lebih menyoroti kesempatan dan pemberian ruang pada difabel. Hal itu menjadi salah satu tujuan yang hendak dicapai JDA.
Terkait lokasi mural, Butong mengaku ingin memperluasnya. Tapi untuk mencapainya, bukan hal sederhana. Dibutuhkan pembiayaaan, satu di antaranya. Lebih dari itu, lanjut dia, keterbukaan persepsi inklusi pada tiap-tiap pemimpin dibutuhkan.
Selanjutnya, kata dia, kawan-kawan difabel harus bermasyarakat, salah satunya kali ini. Ketika masyarakat sudah melihat potensi difabel, karya bersaing dan bisa ditempatkan di ruang-ruang publik, maka akan menyingkirkan stigma negatif tentang difabel.
“Dengan diberikan kesempatan, teman-teman bisa menggali potensinya. Itu diharapkan dapat mengubah stigma masyarakat. Bahwa difabel bukan orang yang selalu harus dibantu. Mereka memiliki potensi. Yang dibutuhkan adalah bantuan berupa kesempatan,” terang Butong.
Yang lebih penting lagi, para pemimpin di negeri ini berperpesktif baik tentang orang dengan disabilitas. Bahwa yang dibutuhkan adalah kehadiran negara, melalui para pemimpin rakyat yang memiliki persepktif inklusif.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan