Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Bertemu dengan Teman Sesama Autis, Berbagi Pengalaman dan Dukungan

Views: 170

Solidernews.com – Menemui para individu autistic adalah keinginan penulis sejak dahulu. Namun Upaya penulis untuk melakukan hal tersebut tidak membuahkan hasil sebelumnya. Untungnya saja penulis memiliki kesempatan untuk kembali melakukan hal yang ingin penulis lakukan kembali, bertemu dengan beberapa individu autistic secara langsung.

 

Penulis awalnya mencoba untuk mengumumkan ke komunitas Pemuda autisme Indonesia di Grup whatsapp tentang rencana penulis untuk menemui para individual autisme lain yang berada di Jakarta dan Bekasi. Untung saja setelah pengumuman dari penulis tersebut, ada beberapa individu autistik yang menghubungi penulis secara pesan pribadi. Namun ada juga beberapa individu autistic yang penulis hubungi melalui pesan pribadi. Singkatnya terkumpullah beberapa individu autistic yang bisa penulis temui selama liburan akhir tahun 2023 silam. Liburan akhir tahun berlangsung dari tanggal 24 Desember 2023 hingga 3 Januari 2024.

 

Kronologi pertemuan penulis dengan individu autisme yang lain

Pertemuan pertama berlangsung tanggal 25 Desember 2023 di Jco Donut daerah komsen. Pada hari tersebut penulis menemui 2 individu autistic dewasa dengan latar belakang profesi yang berbeda dengan usia 30 tahun an. Individu pertama yaitu laki laki berinisial nama NCY, saat ini ia bekerja membantu tim marketing di LSM. Ia berhasil menyelesaikan Pendidikan sarjana di Universitas Gadjah Mada. Ia juga merupakan pelari marathon dengan jarak 42 km sebagai individu autistic yang pertama di Indonesia.  Sedangkan individu kedua merupakan perempuan berinisial SP, Ia berhasil menyelesaikan Pendidikan sarjana jurusan psikologi, saat ini ia bekerja sebagai terapis untuk Anak Berkebutuhan Khusus.

 

Pertemuan kedua terjadi pada tanggal 28 Desember 2023 di kafe ramah autisme yang Bernama Kouji Genki Project. Pada hari tersebut penulis menemui 3 Individu autisme dewasa yang memiliki profesi yang beranekaragam dengan 1 orang yang berusia 27 tahun dan 2 orang yang berusia 25 tahun. Individu yang pertama datang yaitu Perempuan berinisial AIA. Ia  berhasil menyelesaikan pendidikannya di Universitas Gadjah Mada. Saat ini ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan.  Sedangkan orang kedua yang datang yaitu laki laki berinisial JA, ia berhasil menyelesaikan Pendidikan sarjana di universitas Liverpool. Saat ini ia bekerja sebagai freelance dibidang sosial media admin. Sedangkan yang terakhir datang yaitu Perempuan berinisial NJS, ia berhasil menyelesaikan Pendidikan sarjana di Universitas Indonesia. Saat ini ia memiliki peran sebagai business analyst di salah satu Perusahaan ternama di Indonesia.

 

Pertemuan terakhir berlangsung tanggal 30 Desember 2023 di rumah penulis. Pada hari tersebut penulis menemui 2 Individu autistic dewasa. Orang pertama yang datang adalah laki laki berusia 32 tahun yang berhasil menyelesaikan pendidikannya di Institut Teknologi Sepuluh November. Saat ini ia bekerja sebagai social media assistant di LSM Internasional. Sedangkan orang kedua yang datang adalah Perempuan berinisial SP yang juga sudah penulis temui pada pertemuan pertama.

 

Hal hal yang penulis dapat setelah pertemuan pertemuan tersebut

Setelah pertemuan pertemuan dengan 6 individu dewasa autistik tersebut sudah selesai, ada beberapa hal yang penulis pelajari terkait kondisi autisme di usia dewasa yang terjadi di Indonesia. Secara lebih spesifiknya lagi, orang orang yang penulis temui selama liburan berlangsung adalah individu autisme yang seringkali disebut dengan beberapa istilah medis. Istilah  medis yang ada yaitu kondisi spektrum autisme Tingkat ringan, autisme level 1,  Asperger, kondisi autisme tanpa masalah intelektual, High Functional Autism/HFA, social-lexia dan masih banyak istilah istilah lainnya. Berikut adalah Pelajaran yang penulis ambil terkait kondisi mereka.

Pertama banyak diantara mereka yang melaporkan bahwa mereka masih mengalami kesulitan berinteraksi dengan orang lain. Kebanyakan keluhan keluhan terkait hal tersebut terjadi di tempat kerja. NJS menyatakan bahwa sebenarnya ia memerlukan support group untuk menceritakan masalah terkait kesulitan berinteraksi sosial di kantor, hanya saja ia masih bingung dimana tempat yang tepat untuk hal tersebut.

 

Kedua, belum ada support group yang terorganisir untuk para individu tanpa gangguan intelektual atau autisme yang dianggap memiliki tingkat ringan. Belum adanya support group bagi individu autistic tanpa masalah intelektual membuat keluhan yang dialami NJF menjadi sangat masuk akal. Banyak juga diantara mereka yang menyatakan bahwa pertemuan yang penulis adakan adalah pertemuan pertama mereka dimana mereka benar benar menemui individu autistic lain yang berada di level kesulitan yang sama secara langsung. JA bahkan menyatakan bahwa ia sangat senang dengan adanya pertemuan ini karena sangat sulit untuk menemukan sesama individu autisme yang memiliki level kesulitan yang sama. Ia juga menyadari bahwa mayoritas Support group tersebut diperuntukkan untuk para orangtua yang memiliki anak dengan autisme yang juga memiliki gangguan intelektual. Ia menyatakan bahwa support group tersebut sama sekali tidak cocok untuknya.

 

Ketiga, banyak diantara mereka yang mengalami kesulitan dalam menikmati makanan yang ada pada saat acara berkumpul dikarenakan alergi glutten atau alergi fenol. Pada kasus NJF, sebagai perusahaan makanan yang kebanyakan bahan dasarnya gandum otomatis makanan yang disajikan pada saat gathering acara kantor adalah makanan dengan banyak kandungan gandum yang memiliki kandungan glutten yang tinggi. Sedangkan JA juga bercerita bahwa ia seringkali hanya bisa menikmati sedikit makanan pada saat acara berkumpul dengan keluarga besar berlangsung karena ia alergi glutten. Beda ceritanya dengan BDW yang kesulitan memilih makanannya bahkan mengganggu kehidupannya waktu ia kuliah dulu sebelum ia terdiagnosis kondisi autisme. Kesulitan bahkan lebih sulit dibandingkan JA dan NJF karena ia alergi glutten dan juga alergi fenol. Ia dulu bahkan sering ke IGD akibat ketidaktahuannya terhadap alergi tersebut, namun untungnya setelah ia mengetahui tentang autismenya ia lebih bisa memilih makanannya. Kesulitan makan juga dialami oleh SP. Penulis sendiri menemukan bahwa SP juga punya keterbatasan dalam hal makanan yang bisa dimakan pada saat penulis mencoba untuk mencocokkan tempat makan yang cocok sebagai tempat bertemu. Ia tidak memakan ikan yang amis, ayam, buah yang rasanya bisa asam atau manis dan glutten.

 

Keempat yaitu adanya masalah penerimaan keluarga pada saat autisme baru terdiagnosis pada saat usia dewasa. Kalau masalah ini dialami AIA dimana keluarganya mempercayai bahwa masalah autisme hanya terjadi saat usia kecil. Ditambah lagi, psikologi AIA yang seharusnya berperan sebagai penengah antara orangtua AIA dengan AIA malah berpihak kepada orangtua AIA dan menyalahkan AIA atas kesulitan yang ia alami akibat autismenya tersebut. Hal ini menunjukkan pengetahuan sebagian psikologi Indonesias masih buruk soal cara penanganan Individu autistic.

 

Kesimpulan

Ada individual autisme tertentu yang bisa memiliki pekerjaan dan mandiri dalam hidupnya. Hal ini banyak ditemui pada individu autistic yang dianggap memiliki tingkat ringan yang tidak mengalami gangguan intelektual. Namun walaupun mereka bisa hidup mandiri, namun mereka masih mengalami kesulitan kesulitan tertentu. Misalnya kesulitan dalam hal cara berkomunikasi dan berinteraksi sosial dalam berbagai aspek kehidupan, tidak adanya support group untuk autisme dengan tingkatan yang sama dengan mereka, sulitnya menemukan makanan yang sesuai dengan kebutuhan individu autistic dan sebagian psikologi yang belum mengetahui penanganan yang tepat untuk individu autistic dewasa. Masalah masalah ini menunjukkan bahwa masih belum adanya akomodasi yang layak untuk individu autistic dewasa. Padahal sebagaimana individu autistic yang memiliki gangguan intelektual, isu individual autistic yang tidak memiliki gangguan intelektual juga perlu diperhatikan bersama. Apabila isu individual autistic tanpa gangguan intelektual tersebut diperhatikan penulis yakin bahwa potensi para individual tersebut akan berkembang secara maksimal dan membuat lingkungan yang lebih inklusif.[]

 

Penulis: Rahmat Fahri Naim

Editor     : Ajiwan Arief

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content