Views: 12
Solidernews.com – Bagus Utomo, Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Pusat mengatakan banyak hal yang harusnya menjadi perhatian oleh negara terkait perlindungan dan pemenuhan hak difabel mental psikososial. Dalam hal ini, pihaknya yang sudah bergelut pada dunia bagi orang dengan skizofrenia, telah mengalami pula adanya kesenjangan. Bagus juga seorang caregiver bagi kakakmya.
Ada berbagai masalah akses dan pengobatan yang dihadapi di tahun 2024 ini khususnya ketersediaan layanan kesehatan jiwa di pelosok daerah yang masih sulit dijangkau oleh orang dengan skizofrenia dan keluarga.
Orang dengan gangguan. jiwa ini tidak merasa dirinya sakit sehingga sulit diajak ke layanan kesehatan dan apabila caregivernya yang akan mengambil obat pun saat ini masih terkendala pasien harus pakai “finger print” sehingga kadang saat mengajak pasien berobat dan tidak berhasil maka sulit dapatkan obat.
Masalah minum obat untuk orang dengan skizofrenia ini sifatnya harus minum setiap hari dan tidak boleh bolong-bolong apalagi putus. Jika terputus, dia akan kambuh. Bahkan ada pasien yang disiplin minum obat pun ketika dia bekerja dan melakukan berobat sebulan sekali lalu mengurus rujukan yang dibutuhkan memakan waktu sehari penuh. Belum lagi ada tuntutan produktif dari tempat kerja. Jadi skema konsultasi 1 bulan sekali masih menyulitkan ODGJ dan caregiver yang bekerja.
Persoalan berikutnya adalah obat yang memadai belum tersedia merata. Bila ada obat pun kadang kurang dari kebutuhan sebulan.
Lalu juga belum tersedianya obat lain seperti obat tetes dan suntik jangka panjang yang memadai. Bagus Utomo ingin masalah ketersediaan obat menjadi perhatian besar pemerintah sebab pasien skizofrenia ada banyak kondisinya seperti ada yang suka mengelayap atau disebut psikotik, atau dalam kondisi relaps/kambuh suka marah-marah. “Kakak saya tiap hari ngamuk selama 10 tahun. Kita sangat perlu banget tersedianya obat-oral dan tetes,”ujar Bagus Utomo dalam suatu zoom.
Bagus Utomo dengan KPSI yang didirikannya sudah pernah melakukan advokasi terkait obat suntik, yang di luar negeri sudah disediakan. Menurutnya masalah gangguan mental bisa lebih parah karena ketiadaan obat. Obat suntik ini masih sangat terbatas, ada tapi banyak efek samping. Mereka berkonsultasi pada psikiater paling memerlukan waktu lima menitan saja. Untuk selanjutnya mestinya ada pekerja sosial yang tidak hanya punya support sistem untuk memantau obat dan pemenuhan kebutuhan dasarnya terpenuhi.
Saat ini sudah ada beberapa RSJ yang menyediakan. rehabilitasi psikososial, Namun beberapa waktu lalu terhambat di BPJS Kesehatan. Ada beberapa keluarga memiliki keterbatasan untuk memberikan rehabilitasi. Seperti yang diungkapkan oleh Bagus bahwa pengetahuan mereka masih sangat terbatas. Risetnya juga sangat terbatas.
Kebutuhan-Kebutuhan Apa Saja yang Negara Harus Penuhi
Kebutuhan adanya psikolog klinis minimal di RSUD atau bahkan di puskesmas kecamatan mendesak untuk dipenuhi sebab semakin luas cakupan tempat tinggal ODS di banyak wilayah Indonesia..
Perlu pekerja sosial yang mendampingi ODGJ yang tidak punya keluarga atau support system untuk mengantar berobat dan memastikan obatnya diminum rutin serta memastikan kebutuhan dasarnya terpenuhi
Rehabilitasi psikososial di RS Jiwa dan RSUD yang dicover BPJS sangat diperlukan sebab penggantian biaya oleh rumah sakit sangat membantu apalagi teknologi dan riset kedokteran jiwa sudah sangat mendesak dilakukan.
Sebagai informasi ketersediaan obat suntik jangka panjang. Saat ini yang tersedia adalah obat seperti skizonoat (fluphenazine) haloperidol deconoat.
Bagus dan KPSI saat ini sedang memperjuangkan obat suntik yang sudah masuk e-catalog BPJS Kesehatan yaitu obat suntik jangka panjang Invega Sustenna (Paliperidon Palmitate) injeksi 1 bulan sekali dengan kisaran harga 993.920. Kebutuhan atas obat suntik jangka panjang yang berkualitas ini minim efek samping dan mendukung produktivitas seperti Invega Sustenna sudah sangat mendesak.
Namun hingga kini pemakaian obat ini sangat minim karena terkendala dalam klaim pembayarannya di BPJS Kesehatan. Sehingga pasien yang membutuhkan obat menjadi terhambat.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan