Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Benang Merah Tantangan Inklusi di Lingkungan Perguruan Tinggi

Views: 19

Solidernews.com, Yogyakarta. SELAMA ini, tantangan perguruan tinggi menjadi kampus inklusif adalah soal fasilitas fisik, atau sarana prasarana. Sejatinya tidak demikian. Karena sarana dan prasarana (aksesibilitas fisik), itu bisa sambil jalan. Pemahaman tiap-tiap pengampu kampus, jauh lebih penting.  Hal itu bisa dimulai dari pendaftaran yang mengakomodir kebutuhan beragam calon mahasiswa, yang akan menghasilkan assesment. Improvement (perbaikan) bakal terjadi, berdasar pada layanan yang berkembang.

Tersebut di atas mengemuka dari Direktur Eksekutif SIGAB Indonesia M. Joni Yuliyanto, dalam agenda peresmian Unit Layanan Disabilitas (ULD) dan Talkshow Pengembangan Kampus Inklusif, Universitas Atma Jaya Yogaykarta (UAJY), Selasa (3/11/2024).

Lanjutnya dia, lahirnya kepedulian karena adanya pemahaman. Bagian terpenting mewujudkan kampus inklusif ini, sangat duperlukan untuk mendorong inklusivitas tumbuh alami. Selain itu, perlu inovasi teknologi dalam proses pembelajaran yang memudahkan mahasiswa difabel.

Menjawab pertanyaan Moderator Talkshow Dyah Ayu R Widyastuti terkait membangun hudaya inklusif di kalangan kampus, Joni menyampaikan beberapa pernyataan. Bahwa budaya inklusif di lingkungan kampus harus dibangun oleh para pengampu di kampus. Oleh sebab itu, dosen hendaknya memiliki pemahaman dasar, bagaimana berinteraksi dengan mahasiswa difabel. Karena, infrasrtuktur yang membuat mahasiswa nyaman, adalah bagainana komunikasi dan interaksi di dalam lingkungan kampus.

Selain mencipta budaya inklusif, inklusivitas di perguruan tinggi akan mendorong proses pembelajaran inovatif dan adaptif. Berbagai aspek sosial kemanusiaan akan lahir dan tumbuh di dalamnya. Sehingga kesetaraan menjadi niscaya, kesenjangan diminimalisir, hambatan sosial dan individual tereleminasi.

Menggarisbawahi sambutan Rektor UAJY Dr. G. Sri Nurhartanto, S.H., LL.M, Joni mengatakan, benar adanya bahwa inklusivitas bukan sekedar konsep dan keberadaan aksesibilitas fisik. Malainkan bagaimana transformasi pendidikan yang memudahkan mahasiswa, menjadi kebutuhan.

Pendidikan inklusi di lingkungan perguruan tinggi. Tak lain menjadi satu langkah memperkuat pondasi inklusif, di antara warga kampus. Tak sekedar memberikan peluang belajar kepada individu dengan kebutuhan spesifik, tentunya. Namun, sebuah transformasi terhadap sistem pendidikan itu sendiri.

 

Pemahaman dan kepedulian

Seorang mahasisa UAJY Program Studi Teknologi dan Informasi Riski Ardana, berbagai pengalamannya. Mahasiswa tuli ini, sudah barang tentu tidak membutuhkan aksesibilitas fisik. Melainkan pemahaman, kepedulian dan komunikasi, yang dia butuhkan.

“Saya mendaftar UAJY mengambil jakur beasiswa. Setelah melalui proses wawancara, saya diterima. Ketika wawancara, bahasa tulisan lebih banyak digunakan, ketika petugas tak paham kata-kata saya. Itu tak apa-apa. Yang penting, saya yang tuli ini dipahami dan diberikan kesempatan,” ujarnya.

Awalnya remaja pria itu merasa takut ketika bertemu teman mahasiswa dengar. Dia khawatir ada hambatan interaksi dan komunikasi dengan kawan-kawan di kelas. Ketakutannya mulai hilang, setelah saya mendahului bertanya dan mengenalkan diri saya. Riski juga mengaku berterima kasih dengan kebijakan kampus yaitu typist (penulis) yang membantunya.

“Awalnya takut. Tapi sekarang interaksi di kelas berjalan dengan bahasa tulis. Terkait tugas, saya lebih aktif bertanya secara detail. Saya juga terbantu teknologi atau aplikasi spech to text, karena belum ada juru bahasa isyarat. Sekarang saya difasilitasi seorang typist, seangkatan tetapi beda jurusan,” ujar Riski.

Adapun expectasi yang diharapkan Riski dari kampus UAJY, salah satunya adalah keberadaan ULD. Dia mengaku saya sangat senang. Karena ULD penting untuk terwujudnya kampus inklusif pada masa depan.

Lanjut dia, ULD bisa menjadi wadah dan kesempatan teman mahasiswa tuli dan difabel lain, menyampaikan usulan. Dengan ULD juga bisa ada kelas bahasa isyarat untuk mahasiswa dan dosen. Dari ULD juga bisa dimunculkan pendamping bagi mahasiswa difabel.

Masukan lain pun diberikan Riski. Keinginannya, pada saat penerimaan mahasiswa baru, calon mahasiswa difabel mendapat pendampingan orang yang paham proses dan alur pendaftaran. Kemudian saat ospek, informasi aksesibel yang dipahami tuli sangat dibutuhkannya. Sehingga tuli bisa mendapatkan informasi yang sama dengan mahasiswa lainnya.

Agenda camp atau perkemahan, menurut Riski bisa menyatukan mahasiswa difabel dan nondifabel. Dengan camp, lingkungan kampus jadi tahu budaya difabel, bagaimana tuli berinterkasi dan sebagainya.

Riski juga membagikan pengalamannya mengikuti organisasi di kampusnya. Dia pernah mendaftar menjadi panitia organisasi berenang. Kemudian dia mengikuti proses, hingga tahapan wawancara. Waktu itu untuk berkomunikasi difasilitasi laptop.

“Tapi saya tidak lolos. Dan saya tidak tahu mengapa? Mungkin kawan-kawan itu khawatir tidak bisa berkomunikasi dengan saya. Tapi ya sudah, tak apa-apa. Kalau ada juru bahasa isyarat, hambatan itu pasti akan tereleminasi,” pungkas Riski.

Apa yang disampaikan Riski Ardana, telah menggarisbawahi pandangan Rektor UAJY Sri Nurhartanto dan Direktur Eksekutif SIGAB Indonesia M. Joni Yuliyanto. Bahwa pemahaman adalah hal utama yang mendorong inklusivitas tumbuh di perguruan tinggi. Menjadi inklusi tidak diukur dari keberadaan infrastruktur di lingkungan perguruan tinggi.[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor      : Ajiwan

 

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content