Views: 5
Solidernews.com, Yogyakarta – Program Gerakan Optimalisasi Organisasi Difabel (GOOD) yang dikelola oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia Kembali menggelar webinar ke – 14 dengan Tema “Praktik Baik dan Peran Organisasi Difabel Dalam Pengarusutamaan inklusi Difabel di Tingkat Lokal”. Kegiatan yang juga merupakan rangkaian dari diskusi temtik Temu Inklusi ke – 6 ini diselenggarakan secara daring melalui platform zoom pada (30/6).
Webinar tersebut menghadirkan tiga narasumber dari tiga daerah berbeda: Tanti Trisani dari PPDI Cianjur, Irna Riza Yuliastuty dari PMMI Bengkulu, serta Paulus Kamulung dari PAHDIS Sumba NTT. Ketiganya berbicara dari pengalaman lapangan, tentang bagaimana organisasi difabel di daerah berperan penting dalam menggerakkan roda inklusi.
Irna Riza Yuliastuty, Ketua Perkumpulan Mitra Masyarakat Inklusi (PMMI) Bengkulu, membuka mata bahwa di daerahnya, isu difabel masih tergolong asing. Minimnya pemahaman masyarakat tentang isu difabel berdampak langsung pada rendahnya pemenuhan hak, aksesibilitas, serta partisipasi difabel dalam kehidupan sosial dan pemerintahan.
“Kalau bicara teman-teman difabel di Bengkulu, masyarakat kami masih kurang paham akan isu difabel,” ungkapnya.
Sementara itu, Paulus Kamulung dari Pusat Advokasi Hak-hak Disabilitas Sumba (PAHDIS) NTT mengungkapkan realita yang masih dihadapi difabel. “Masyarakat di tempat kami masih melihat difabel sebagai beban. Banyak stigma yang melekat kuat, seolah kami tidak punya kemampuan,” ujar Paulus.
Tantangan yang dihadapi tidak ringan. Dalam konteks budaya dan stigma, menjadi hambatan utama untuk mengakses hak dasar seperti pendidikan, pekerjaan, hingga kesehatan. PAHDIS bekerja keras membangun kesadaran di tengah masyarakat, agar difabel tidak lagi dipandang sebelah mata.
“PAHDIS berdiri untuk menjawab tantangan yang saya sampaikan. Kerjasama dengan pemerintah, OPDIS, dan mitra lain, juga kami tempuh untuk membuka ruang inklusif di daerah kami,” jelas Paulus.
Senada dengan Paulus, Tanti Trisani dari PPDI Cianjur menyuarakan keprihatinan atas akses pendidikan yang masih minim bagi difabel di daerahnya. “Masih banyak teman difabel yang tidak bisa mengakses pendidikan. Ini berdampak besar ke masa depan mereka, terutama saat mencari pekerjaan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Tanti menjelaskan bahwa masyarakat di Cianjur masih kerap memandang difabel sebagai objek belas kasihan. Padahal, difabel punya potensi dan hak yang setara. PPDI Cianjur terus mendorong hadirnya kebijakan yang berpihak, serta membuka ruang partisipasi bagi difabel di berbagai sektor.
“Kami berkerja sama dengan jaringan, OPDIS, Pemerintah, dan mitra lain untuk membangun Cianjur yang lebih peduli dan inklusif bagi kelangsungan hidup difabel,” jelas Tanti.
Sementara itu, PMMI yang berdiri sejak 2018 dan disahkan secara legal pada 2019, membawa mimpi besar untuk membangun masyarakat inklusif yang demokratis dan berkeadilan. PMMI mendorong lahirnya Perda Disabilitas pasca terbitnya UU No. 8 Tahun 2016, serta pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di Bengkulu. Tak hanya berhenti di advokasi kebijakan, PMMI juga melakukan penguatan kapasitas dan konsolidasi organisasi-organisasi difabel yang sempat mati suri seperti Pertuni dan Gerkatin.
Tak kalah penting, mereka membuka ruang literasi dan dialog antara difabel dan masyarakat umum, untuk bisa membangun pemahaman antar lapisan masyarakat. Peningkatan kapasitas, latihan kepemimpinan, dan mendorong difabel untuk aktif bersuara, juga menjadi langkah strategis PMMI. Hingga beberapa dari anggota PMMI mampu duduk di posisi-posisi strategis di organisasi difabel di Provinsi Bengkulu.
“Ada anggota kami yang difabel netra menjadi ketua di DPD Pertuni Bengkulu, ada juga yang di PPDI provinsi, dan masih banyak lagi,” jelas Irna.
Irna menambahkan bahwa pihaknya percaya, sekecil apa pun langkah yang dilakukan, itu layak dirayakan. “Karena setiap capaian adalah hasil dari perjuangan kolektiff”.
Senada dengan Irna, Tanti Trisani juga mengungkapkan perjuangannya di Cianjur sudah menunjukkan titik positif. 90% kecamatan dan kelurahan mau diajak untuk berkolaborasi untuk membangun Cianjur agar lebih inklusif dan ini akan terus berlanjut. Pemasangan banner tentang difabel, audiensi dengan dinas, dan beberapa pihak secara perlahan mengubah Cianjur untuk lebih ramah bagi masyarakat difabel.
“Kami baru saja mengadakan audiensi dengan pihak pemerintah. Kami diterima dengan baik serta mulai dilibatkan dalam setiap agenda yang akan disasarkan untuk masyarakat difabel,” jelas Tanti.
Apa yang disampaikan dalam forum ini menegaskan satu hal: gerakan dari bawah memiliki daya ubah yang besar. Ketiga narasumber menunjukkan bahwa organisasi difabel bukan sekadar kelompok penerima manfaat, melainkan penggerak utama perubahan sosial. Mereka tidak menunggu belas kasihan, tetapi bergerak, membangun kemitraan, dan merebut ruang-ruang yang sebelumnya tertutup.
Paulus menjelaskan bahwa berkat kerjasama melalui program solider dan Program GOOD, PAHDIS dapat lebih berbenah lagi. Mengelola SDM dengan lebih maksimal, serta terus berupaya melibatkan generasi muda untuk melanjutkan estafet perjuangan. Karena perjuangan ini harus terus dilakukan.
“Iya keterlibatan generasi muda difabel juga penting untuk mempercepat gerakan dan perjuangan rekan-rekan difabel untuk membangun masyarakat yang inklusif,” jelas Paulus.
Selain soal organisasi, peningkatan pribadi difabel juga penting dilakukan. Baik softskill ataupun hardskill yang menunjang perjuangan dan kelangsungan hidup difabel.
“Penting sekali difabel itu juga terus meningkatkan kapasitas dan potensi diri. Agar juga memiliki kapasitas yang mumpuni,” jelas Irna.[]
Reporter: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan