Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Kegiatan Parenting dalam tema Inklusi Sosial untuk Kesetaraan dan Hak Difabel yang degelar SIGAB Indonesia, di Kelurahan Sabdodadi Bantu, Sabtu (26/7/2025)

Begini Refleksi dan Suara dari Ruang Parenting Orang Tua dengan Anak Difabel di Sabdodadi

Views: 29

Solidernews.com, Bantul. SABTU pagi (26/7/2025) Sebanyak 35 keluarga dengan anak ragam difabel dari enam kelurahan: Sabdodadi, Bantul, Palbapang, Patalan, Sumberagung, dan Trimulyo menghadiri kegiatan Sosialisasi Parenting yang diselenggarakan oleh SIGAB Indonesia. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Aula Kalurahan Sabdodadi, Bantul.

Acara ini merupakan kegiatan kedua yang diadakan SIGAB Indonesia. Sebelumnya, kegiatan berfokus pada anak-anak, berupa aktivitas outbound di Edupark, Gabusan.

Kamituwo Kalurahan Sabdodadi Kusni Ada’i, hadir mewakili lurah. Dalam sambutannya ia menyampaikan, “Ini media yang sangat penting untuk belajar mendampingi anak difabel. Sebagai orang tua, kita tak boleh membedakan anak satu dengan yang lainnya. Mereka titipan Allah. Harus diterima dengan suka cita.” Kalimat yang sederhana, tapi menghangatkan ruang dan hati para orang tua yang hadir.

Dimoderatori Jayadi, seorang Fasilitator Kelurahan Sabdodadi, kegiatan  menghadirkan dua orang narasumber. Reny Indrawati, ibu dari Adnan (17), remaja dengan cerebral palsy, dan Sri Hartaningsih Wijaya, ibu dari Laksmayshita (30), seorang perempuan yang lahir tuli.

Dalam sesi tersebut, Reny berbagi kisah perjuangannya mendampingi Adnan. Bagaimana ia melindungi putranya dari perundungan, memberi ruang untuk memilih, dan mengajarinya bertahan. “Adnan tidak bisa membaca dan menulis, tapi aku bacakan semua untuknya. Dia mengerti. Karena kami membacanya bersama.”

Reny juga berkisah tentang pencarian sekolah yang mau menerima Adnan. Ia tidak menuntut fasilitas, hanya penerimaan. Bahkan dalam konteks advokasi, ia pernah berkata pada anaknya, “Kalau kamu dipukul, kamu juga boleh memukul balik. Bukan balas dendam, tapi menunjukkan bahwa kamu punya hak menjaga dirimu.”

Pada kesempatan itu, Reny menekankan pula, pentingnya orang tua atau wali yang harus menjaga kesehatan. Dengan menjadi sehat, ini modal untuk dapat mendampingi, dan mengawal tumbuh kembang anak-anak yang terlahir difabel, menjadi anak-anak kuat dan punya masa depan.

Sementara, Sri Hartaningsih Wijaya (Nining) menceritakan tentang putrinya, Laksmayshita. Shita demikian sapaannya, sejak usia dua tahun sudah dikenalkan dengan terapi wicara. Kegiatan ini dijalani selama dua tahun (1997 – 1999), selama tiga kali dalam satu minggu, di RS Sardjito.

Pada masa usia Taman Kanak-kanak, Shita bersekolah di  dua sekolah: pagi di TKLB Kalibayem dengan bahasa isyarat, sore di SLB Karnnamanohara yang menekankan bahasa oral. Sejak mengetahui anak pertamanya Tuli,  Nining hidup dengan prinsip: telingaku adalah telinga anakku.

Perjuangan mendampingi Shita berbuah manis. Ia tumbuh dengan kepercayaan diri yang kuat. Sejak SD hingga SMP di Sekolah Luar Biasa (SLB) Sewon, Bantul. Shita meraih beragam prestasi nasional: desain grafis, melukis, menari, menulis cerpen. Di masa SMA, sang ibu mendorong putrinya ke sekolah umum. Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta, dipilih Shita karena bakat seninya. Ia sempat terlibat dalam dua film indie: DEAF: Different, Equalition, Ambition, Friend diproduksi para siswa SMA Negeri 2 Banguntapan Bantul dan Pencari Keadilan produksi SIGAB Indonesia.

Setelah lulus, ia kuliah di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), jurusan Seni Rupa. Ia sempat tampil di OssAsia Festival (2015), lalu pentas di George Town dan Adelaide bersama seniman dari Indonesia, Australia, dan Malaysia (2018). Kini Shita telah menikah dan menjadi seorang ibu.

Pada kesempatannya sebagai narasumber,  Nining menyampaikan dengan mantap: “Peran orang tua tak tergantikan. Penerimaan, pemberian kesempatan, dan support dari kita adalah sayap yang akan mengantar anak-anak kita terbang sejauh yang mereka mampu. Bukan untuk menjadi seperti anak-anak lain, tapi menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri,” ujarnya.

Namun hari itu bukan  Siti Barokah dari Sumberagung, seorang ibu dari anak Down Syndrome, bercerta bahwa anaknya kini bersekolah di SLB, namun sang suami melarang anaknya keluar rumah karena takut akan perundungan. “Apa yang harus saya lakukan?” tanyanya lirih.

Daam kesempatan tersebut Nining menjawab pelan, “Jangan takut pada yang belum tentu terjadi. Kalau pun terjadi, kita hadapi dengan bijak.”

Lalu ada Oma Arta dari Patalan, nenek dari cucu dengan multi-disabilitas menceritakan bahwa  Arta hanya sempat masuk sekolah selama seminggu karena keterbatasan fisiknya. Sekolah tidak pernah mendatangi rumahnya. Reny menanggapi: “Keluarga harus aktif. Tanyakan ke sekolah, minta tugas, dampingi cucu menyelesaikan. Jangan hanya menunggu.” Di tengah sistem yang belum ramah, keluarga harus menjadi yang paling tangguh.

Di akhir acara,  Nining menyampaikan pula sebuah refleksi penting: “Inklusi sosial berarti tidak ada yang tertinggal. Setiap anak, tanpa kecuali, punya hak untuk bersekolah, bermain, dan dilibatkan. Bukan karena kasihan, tapi karena memang itu haknya.

Sayangnya, inklusi sosial belum menjadi kenyataan bagi semua anak difabel. Masih banyak yang tidak dianggap ada. Dan sering kali, orang tua merasa tak tahu harus ke mana atau mulai dari mana.[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor       : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

berlangganan solidernews.com

Tidak ingin ketinggalan berita atau informasi seputar isu difabel. Ikuti update terkini melalui aplikasi saluran Whatsapp yang anda miliki. 

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content