Views: 7
Solidernews.com – Jumat (20/12) lalu Unit Layanan Disabilitas UGM menggelar sesi berbagi pengalaman bertajuk “Berbagi Pengalaman Belajar Inklusivitas dari Malaysia dan Jepang”. Acara ini menghadirkan Muhammad Karim Amrullah, S.H., M.H., dosen Universitas Negeri Yogyakarta yang juga menjabat sebagai Koordinator Divisi Advokasi dan Konsultasi Hukum Difapedia. Selain itu, ia merupakan Ketua Departemen Pendidikan Rumah Disabilitas serta mahasiswa difabel dari program doktoral Fakultas Hukum UGM.
Sesi ini menggali pengalaman yang Karim dapatkan selama ia menyambangi dua negara. Pertama yaitu Malaysia, saat dirinya mengikuti The 8th Accessibility and Universal Design Training Course 2024. Serta Jepang saat dirinya menghadiri The 5th International Disability Inclusion Symposium 2024 sebagai pembicara.
Karim memulai ceritanya dengan paparan bahwa Malaysia merupakan negara yang menawarkan kebijakan inklusivitas yang kuat, termasuk Zero Reject Policy yang diterapkan pada era Perdana Menteri Tun Dr. Mahathir Mohamad. Kebijakan ini memastikan tidak ada diskriminasi dalam pendidikan dan layanan kesehatan publik.
Selain itu, Malaysia juga memiliki standar desain universal untuk fasilitas umum yang berlaku baik bangunan yang dikelola baik pemerintah maupun swasta. Ketentuan itu termuat dalam “Akta Orang Kurang upaya 2008” dan MS 1184:2014 tentang “Universal design and accessibility in the built environment”.
“Akan ada audit dari pihak pemerintah untuk melihat sejauh mana kesesuaian dengan ketentuan yang ada. Apabila tidak sesuai, maka ada konsekuensi hukumnya,” tandasnya.
Uniknya, segala hal yang menyangkut soal desain universal ini merupakan tanggung jawab Kementerian investasi, perdagangan dan industri Malaysia.
Karim juga menuturkan bahwa Malaysia memiliki data difabel yang terpusat (single data). Data tersebut dikelola oleh Kementerian Pembangunan Wanita, Keluarga, dan Masyarakat di bawah pengawasan perdana Menteri sehingga data yang ada dapat digunakan untuk mendukung berbagai layanan pemerintah dan menciptakan sistem yang efisien.
Seluruh instansi pemerintahan di Malaysia diwajibkan menggunakan data tersebut yang disebut dengan OKU “Orang Kurang Upaya” atau Bahasa Malaysia dari penyandang disabilitas. Akan banyak manfaat yang didapat disabilitas apabila mereka terdata melalui OKU.
Setelah itu, Karim mengajak kita untuk sedikit bergeser ke Jepang. Jepang menonjol dengan pendekatan berbasis teknologi dan budaya. Selain soal pelayanan dan kedisiplinan, menurut Karim masih banyak hal yang bisa dipelajari dari Jepang. Terutama dalam penyediaan fasilitas publik yang sudah lebih canggih, dan adanya konektivitas antara perguruan tinggi dan dunia pekerjaan.
Mereka memiliki standar tinggi untuk fasilitas pendidikan bagi difabel, serta program transisi yang menghubungkan pendidikan tinggi dengan dunia kerja. Salah satu inovasi penting adalah Inclusive Design Lab di Universitas Tokyo yang fokus pada penelitian inklusi di layanan publik. Disiplin dan keramahan khas Jepang turut mendukung terciptanya lingkungan sosial yang inklusif.
Secara umum, Karim menekankan kepada kita bahwa bepergian ke luar negeri bisa dicapai tak hanya lewat beasiswa semata. Banyak cara yang bisa digunakan, misalnya saja lewat konferensi internasional, training course, atau program lainnya.
Dalam paparannya, Muhammad Karim Amrullah menekankan pentingnya mengambil pelajaran dari kedua negara tersebut untuk diterapkan di Indonesia. “Malaysia dan Jepang memberikan contoh nyata bagaimana inklusivitas dapat diwujudkan melalui kebijakan, teknologi, dan budaya,” pungkasnya.[]
Reporter: Bima Indra
Editor : Ajiwan