Views: 104
Solidernews.com – Indonesia, tanah yang kaya akan keberagaman budaya, kini berada di persimpangan jalan yang menuntut keseriusan dalam menghadapi tantangan inklusi bagi individu dengan autisme. Meski langkah-langkah positif telah diambil, termasuk peningkatan kesadaran dan penyediaan layanan pendidikan khusus, upaya ini masih jauh dari memadai. Perlu langkah lebih maju dalam pembentukan kebijakan yang inklusif, pelatihan bagi penyedia layanan, serta peningkatan dukungan sosial dan pendanaan bagi komunitas autisme. Melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan, diharapkan terwujudnya masyarakat yang ramah dan inklusif bagi individu dengan autisme. Mari telaah sejauh mana implementasi kebijakan untuk mendukung individu dengan autisme telah dilakukan.
Aspek Pendidikan
Salah satu aspek penting dari kebijakan autisme di Indonesia adalah pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif menjadi fokus penting dalam upaya mengimplementasikan kebijakan autisme di Indonesia. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, diperkirakan terdapat sekitar 2,4 juta individu dengan autisme di Indonesia, dengan tambahan sekitar 500 orang baru setiap tahunnya. Namun, data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan angka yang lebih rendah, yakni sekitar 1,6 juta anak berkebutuhan khusus. Dari jumlah tersebut, diperkirakan hampir 80% di antaranya belum mendapatkan akses pendidikan yang memadai. Ini menyoroti tantangan besar dalam memastikan hak pendidikan yang setara bagi semua anak, termasuk bagi autism.
Meski kebijakan telah ditetapkan oleh pemerintah, seperti yang tercantum dalam beberapa undang-undang yang berlaku, perlu dipahami bahwa penegakan hak pendidikan bagi individu dengan kebutuhan khusus masih menghadapi tantangan. Pasal 5 ayat (1) dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dengan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, tanpa memandang latar belakang atau keadaan fisik mereka. Demikian pula, Undang–Undang Tentang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 Pasal 51 menjamin akses yang sama terhadap pendidikan baik bagi anak-anak dengan difabel fisik dan sensorik maupun mental.
UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 10 menegaskan hak peserta didik berkebutuhan khusus untuk mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Sementara itu, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa memberikan garansi bahwa setiap peserta didik dengan kebutuhan khusus berhak mengikuti pendidikan secara inklusif sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Meskipun demikian, Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 56/M/2022 tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran menyoroti perlunya pengembangan kurikulum dengan prinsip diversifikasi. Hal ini untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi satuan pendidikan serta potensi peserta didik. Dalam implementasinya, tantangan nyata masih muncul dalam menjalankan dan menegakkan prinsip-prinsip ini, yang memerlukan kerja keras dan komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia.
Meskipun pemerintah telah menegaskan komitmennya untuk meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus, termasuk mereka yang mengalami autisme, tantangan-tantangan masih menghadang dalam implementasi pendidikan inklusif, terutama di wilayah pedesaan. Kekurangan fasilitas, kurangnya pelatihan bagi para guru, dan minimnya dukungan untuk siswa-siswa dengan kebutuhan khusus menjadi rintangan utama yang harus dihadapi. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan dorongan yang kuat dari semua pihak untuk mendorong kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Selain itu, perlu juga pengembangan aturan turunan hingga ke level teknis agar penyelenggaraan pendidikan dapat lebih mudah dilaksanakan di tingkat sekolah. Kerja sama yang berkelanjutan antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan ini dan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif bagi semua anak.
“Masalah ini bermula dari implementasi kebijakan yang kurang efektif dalam mendukung belajar untuk anak-anak autis. Selain itu, kolaborasi antar aktor pendidikan dan masyarakat juga masih kurang,” tulis Andini Desita Ekaputri Kandidat PhD, University of Hawaii dan Anggi Afriansyah Peneliti Sosiologi Pendidikan, Indonesian Institute of Sciences (LIPI).
Aspek Kesehatan
Di samping tantangan pendidikan, akses terhadap layanan kesehatan, misal, kesehatan mental, juga menjadi perhatian penting dalam komunitas autisme. Munculnya krisis kesehatan mental di kalangan individu dengan autisme menjadi fokus serius. Sebuah meta-analisis yang menyelidiki hampir 100 penelitian mengungkapkan bahwa kondisi kejiwaan secara signifikan lebih umum terjadi pada individu autis. Data menunjukkan bahwa 70% anak dengan spektrum gangguan autis (ASD) memiliki setidaknya satu gangguan kesehatan mental, sementara 41% hingga 50% dari mereka menghadapi dua atau lebih kondisi kesehatan mental. Kecemasan menjadi salah satu kondisi paling umum yang mempengaruhi setengah dari individu dengan ASD yang juga mengalami gangguan kesehatan mental. Dengan meningkatnya kesadaran akan tantangan ini, perlu langkah konkret untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan mental bagi individu dengan autisme.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan mental, namun masih banyak daerah di Indonesia yang terkendala dengan ketersediaan layanan yang memadai. Fasilitas kesehatan mental khusus untuk autisme yang disediakan oleh pemerintah masih terbatas dan cenderung hanya tersedia di rumah sakit jiwa. Hal ini menimbulkan dilema baru karena tidak semua individu, terutama yang mengalami autisme, mampu mengakses layanan di rumah sakit jiwa yang umumnya merupakan layanan tersier. Bahkan, layanan primer seperti puskesmas juga belum memiliki kemampuan untuk menangani permasalahan autisme. Kondisi ini membuat individu dengan autisme dan keluarga mereka menghadapi kesulitan dalam mendapatkan diagnosis yang tepat dan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah konkrit untuk memperluas jangkauan layanan kesehatan mental autisme, serta meningkatkan kapasitas dan ketersediaan layanan di tingkat primer untuk mendukung individu dengan autisme di seluruh Indonesia.
Aspek Sosial
Selain itu, kesadaran masyarakat tentang autisme juga menjadi hal yang perlu ditingkatkan. Meskipun ada upaya untuk meningkatkan kesadaran, namun stigma dan diskriminasi terhadap individu dengan autisme dan keluarga mereka masih meluas. Beberapa persepsi negatif tentang autisme perlu disingkirkan. Misalnya, anggapan bahwa autisme adalah kutukan atau hukuman atas perbuatan keluarga atau individu yang bersangkutan masih terus dipercayai oleh sebagian masyarakat. Pandangan semacam ini tidak hanya keliru, tetapi juga tidak bermanfaat bagi upaya inklusi sosial. Begitu juga dengan teori konspirasi tentang vaksinasi dan autisme yang masih bertahan, meskipun sudah banyak penelitian ilmiah yang membuktikan sebaliknya. Keyakinan semacam ini hanya menyesatkan dan membahayakan anak-anak yang memerlukan vaksinasi untuk melindungi kesehatan mereka.
Selain itu, mitos bahwa individu dengan autisme tidak bisa berkembang juga perlu dihapuskan. Sebagian orang masih percaya bahwa orang dengan autisme tidak dapat mencapai potensi mereka. Padahal, dengan dukungan dan pendidikan yang tepat, banyak individu dengan autisme telah membuktikan bahwa mereka mampu mencapai hal-hal besar dalam kehidupan mereka.
Tidak hanya itu, stigma terhadap autisme juga dapat terjadi dalam konteks pendidikan. Anak-anak dengan autisme seringkali menghadapi stigmatisasi di sekolah, baik dalam bentuk pelecehan verbal, fisik, maupun penolakan sosial. Sikap ini terkadang muncul karena ketidakpahaman guru dan teman sekelas tentang kebutuhan dan potensi anak-anak dengan autisme. Oleh karena itu, penting untuk terus melakukan upaya dalam meningkatkan pemahaman dan dukungan masyarakat terhadap individu dengan autisme, sehingga mereka dapat hidup dan berkembang dengan layak dan bermartabat.
Peningkatan kesadaran masyarakat tentang autisme memiliki peran krusial dalam mengurangi stigma dan meningkatkan inklusi sosial bagi individu dengan autisme. Melalui pendidikan yang lebih luas tentang autisme, masyarakat dapat lebih memahami kondisi ini dan memberikan dukungan yang lebih baik kepada individu dengan autisme dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, tercipta lingkungan yang lebih ramah dan inklusif bagi mereka untuk berpartisipasi secara penuh dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan komunitas.
Aspek Hukum
Dari perspektif hukum, perlindungan bagi individu dengan autisme masih menjadi isu yang memerlukan perhatian serius. Meskipun telah ada undang-undang yang mengamanatkan perlindungan terhadap hak-hak dasar mereka, seperti hak atas pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan, namun implementasinya masih terkendala.
Semisal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menegaskan bahwa negara harus bertanggung jawab dalam menanggapi pelanggaran terhadap hak-hak individu dengan autisme, termasuk melalui pemberian sanksi yang tegas. Namun, kenyataannya, masih banyak kekerasan yang dialami oleh individu dengan autisme.
Pasal 12 dari Undang-Undang tersebut menjamin hak atas pelayanan kesehatan yang merata, dapat diakses, berkualitas, aman, dan terjangkau bagi difabel, termasuk individu dengan autisme. Namun, implementasi dari aturan tersebut masih belum konsisten.
Diperlukan upaya lebih lanjut untuk memastikan bahwa hak-hak individu dengan autisme tidak hanya dijamin dalam teori, tetapi juga dilindungi secara efektif dalam praktiknya. Ini termasuk penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelanggaran hak-hak mereka serta peningkatan konsistensi dalam implementasi undang-undang yang ada. Hanya dengan langkah-langkah konkret ini, perlindungan hukum bagi individu dengan autisme dapat diperkuat, dan mereka dapat hidup dengan martabat serta mendapatkan perlindungan yang layak dari negara.
Meskipun masih banyak tantangan yang dihadapi, ada juga peluang untuk perbaikan. Dengan kerja sama antara pemerintah, LSM, masyarakat, dan sektor swasta, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi individu dengan autisme. Program pelatihan untuk tenaga pendidik dan layanan kesehatan, kampanye kesadaran masyarakat, serta dukungan bagi keluarga adalah beberapa contoh langkah konkret yang dapat diambil untuk meningkatkan perlindungan dan kebijakan bagi individu dengan autisme di Indonesia.
Dalam sebuah negara yang didasarkan pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, penting bagi kita semua untuk berkomitmen untuk memastikan bahwa setiap individu, termasuk mereka yang berada dalam spektrum autisme, memiliki kesempatan yang sama untuk hidup dengan martabat dan mengembangkan potensi mereka sepenuhnya.[]
Penulis: Hasan Basri
Editor : Ajiwan
Sumber:
- Anak Mandiri. (2023, Maret 23). Pendidikan untuk Anak Penyandang Autis. Diakses dari: https://www.anakmandiri.org/2023/03/23/pendidikan-untuk-anak-penyandang-autis/
- Liputan6. (Tidak ada tanggal yang tercantum). Peneliti: Sistem Pendidikan Indonesia Belum Berpihak pada Anak dengan Autisme. Diakses dari: https://www.liputan6.com/disabilitas/read/4395821/peneliti-sistem-pendidikan-indonesia-belum-berpihak-pada-anak-dengan-autisme
- Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif.
- Quirk, Michelle. (2024). Epidemi Kesehatan Mental Tersembunyi Autisme: Seruan untuk Kesadaran.
- Yayasan Indonesia untuk Solidaritas dan Aksi Difabel (YISADDI). (Tidak ada tanggal yang tercantum). Autisme dan Issue Kesehatan Mental. Diakses dari: https://yisaddi.org/seluruh-konten/autisme-dan-issue-kesehatan-mental/
- Kompas. (2014, April 2). Penanganan Autisme Belum Bisa Dilakukan di Puskesmas. Diakses dari: https://health.kompas.com/read/2014/04/02/1320308/Penanganan.Autisme.Belum.Bisa.Dilakukan.di.Puskesmas
- VIVA. (Tidak ada tanggal yang tercantum). Melawan Stigma Buruk Autisme di Indonesia. Diakses dari: https://www.viva.co.id/amp/edukasi/1648047-melawan-stigma-buruk-autisme-di-indonesia?page=3