Views: 13
Solidernews.com – Paskalia, dosen dan peneliti di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta memiliki ketertarikan dengan isu difabel. Berangkaat dari kegemarannya menonton film America Horror Story yang terkenal di dunia dan dalam series tersebut digambarkan difabel secara horor atau menakutkan. Ia juga memiliki pengalaman kerja berinteraksi langsung dengan salah satu yayasan di Jakarta Selatan dan melakukan pelatihan interpreneurship. Dari situ muncul banyak kendala yang terjadi dalam pelatihan dan keberlanjutan mengalami banyak kendala, kemudian ia mendapat kesempatan studi lanjut bidang komunikasi maka dari situ ia mulai kajian, dan berpikir apa yang bisa memberi kontribusi pada isu ini. Ia juga menduga jangan-jangan pemikiran kolektif ini sudah mendarah di Indonesia.
Demikian Paskalia menjelaskan dalam YouTube Katolikana TV yang berjudul “Samakah Penggambaran Difabel oleh Masyarakat dan Media? ” dan dipandu oleh Lukas Ispandriarno. Dari penelitian itu lantas timbul pertanyaan, dari penelitian tersebut lantas hasilnya apa?
Paskalia meneliti dua media yakni kompas.com dan detik.com dalam durasi waktu pemberitaan online 2004-2023, data kuantitatif dan ada beberapa hasil. Sedikit saja dari penelitian itu, sisi tema dari kata-kata sematik yang muncul di dua media tersebut secara konsisten mengusung tema tentang difabel dan kebanyakan pada aspek tema sosial, tema hukum, ekonomi, media, politik dan pendidikan. Karena metode yang dipergunakan adalah analisis wacana, maka ada beberapa wacana menonjol seperti : 1. Kuantifikasi difabel dan ternyata media cenderung menggunakan angka pada pemberitaan tentang disabilitas. Misalnya dalam pemilu, media memberitakan sekian ribu difabel telah terlibat dalam pemilu. Secara tidak langsung media memberi verifikasi dengan memberikan ruang, seakan masalah akan selesai, sebagai penerima bantuan dan selalu identik sebagai penerima bantuan. Penerima bantuan sosial dari korporasi atau organisasi tertentu dan sebagai korban juga adalah perempuan dan anak. Wacana yang dibangun adalah penderita seolah-olah sakit dan bisa disembuhkan. Jika isu menyentuh pendidikan dan olah raga, hanya pada momen paralimpic atau sejenisnya.
Pada momen siaran yang sama, M. Joni Yulianto, Direktur Eksekutif Sigab Indonesia menanggapi bahwa riset yang dilakukan oleh Paskalia benar-benar menangkap fenomena bahwa difabel digambarkan dalam pemahaman masyarakat Indonesia melalui media. Joni merasa bahwa apa yang digambarkan adalah hal yang ia temui seperti saat berinteraksi dengan pemerintah pusat dan daerah bahwa difabel mesti dikasihani, diberi bantuan betatapun ia melihatnya terkait HAM. Sebagian besar figur publik, mereka merasa cukup dengan memberikan satu hal dengan seminar dengan jumlah peserta difabel sekian orang. Padahal jika dibanding dengan difabel secara keseluruhan itu sangat kecil. Difabel yang melakukan pencoblosan jika didata hanya satu jutaan lebih. Padahal dari data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), difabel yang layak mencoblos ada 10 jutaan.
Tapi kemudian mensimplifikasi upaya yang telah dilakukan bersama difabel maka yang jauh dari kata real itu adalah proses-proses mengecilkan, membuktikan bahwa justru problem difabel adalah di Hak Asasi Manusia. “Saya kira ini menarik dan akan juga menjadi menarik ketika ada analisis berdasar timeline, ” ungkap Joni.
Ia mencontohkan bagaimana tren sebelum Undang-Undang 19 tahun 2019 Ratifikasi CRPD, antara 2019-2016 ketika Undang- undang Nomor 8 muncul, itu juga akan sangat menarik jika barangkali analisa sampai ke sana.
Terkait bagaimana dengan masyarakat mengenai difabel, Joni menjawab bahwa saat ini semakin banyak mayarakat mempunyai pandangan lebih positif. Jika dibandingkan sekian tahun lalu sekarang lebih baik tetapi tentu masih banyak juga yang masih berpandangan charity. Yang justru lebih banyak dari proses-proses memberi pamahaman masib sangat penting.
Salah satu tantangan menurutnya adalah : justru informasi-informasi yang salah yang jauh lebih cepat menyebar dan menggeser apa yang sudah lebih baik. Contohnya belum lama ini publik dihebohkan dengan kasus Agus yang kebetulan dua-duanya adalah difabel. Itu berdampak sangat serius bagaimana masyarakat melihat kasihan kepada difabel sampai kemudian bergeser jauh yang sangat melihat “Oh, difabel itu menggunakan kelemahannya untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.” Menurut Joni, itu image positif yang sekian tahun lantas porak-poranda hanya karena dua kasus itu.
Melani dari Pastoral, yang juga menjadi narasumber pada siaran menyatakan perspektif media terjadi sudah cukup lama dan sampai saat ini pun masih terjadi. Apalagi ditambah dengan media sosial seperti tiktok, instagram dan lain sebagainya, meski ada edukasi baik maupun yang kemudian jadi bahan tertawaan. Melani menceritakan pernah membaca sebuah penelitian (1991) yang menemukan fakta di media yang menggambarkan seperti digambarkan Paskalia. Yang pertama difabel ini menyedihkan dan perlu dikasihani. Lalu menjadi objek rasa penasaran lalu ketiga jahat dan licik. Lantas setelah terjadinya kasus Agus, orang kembali ke sana “oh, difabel ini mengerikan,” lalu menjadi objek bahan tertawaan. Lalu difabel adalah beban masyarakat dan makhluk aseksual. Yang terakhir adalah sering jadi objek inspirasi. Tampaknya baik tapi sayangnya, fokusnya ke heroisme. Artinya, orang lupa siapa yang jahat yang menciptakan tantangan itu siapa. Padahal fasilitas publik itu sendiri yang harusnya menyediakan. “Mereka jadi herois wong fasilitas tidak ada akses jalan terbatas. Sekarang mungkin kita sudah banyak melihat banyak lowongan kerja tapi tetap saja syarat khusus. Misalnya hanya untuk difabel Tuli atau sebaliknya, difabel yang tidak punya kendala komunikasi. Padahal tiap perusahaan atau penyedia kerja harus dibarengi penyediaan akses yang mereka butuhkan juga, “ungkap Melani. Menurutnya, saat ini orang-orang bergeser pandangannya walaupun di skala masih 75-85%.
Masih di siaran, Joni menegaskan bahwa penelitian Paskalia menggambarkan bagaimana pewacanaan isu difabel ditangkap oleh masyarakat. Dan pergeseran pergolakan, sangat memberi warna. Terkait data bagaimana memberitakan difabel sebagai korban itu sebagai pembanding lurus dengan pewacanaan ketika kerentanan difabel di berbagai sektor mulai dikenali dan mulai dipahami. Tetapi memang di saat yang sama konten- konten justru memberikan stigma. Kalau dilihat lebih jauh di isi ketenagakerjaan, betapa banyak sekarang kesetaraan akses pekerjaan bagi difabel. kuota 2% di pemerintahan dan BUMN serta 1% untuk swasta tetapi pada saat yang sama kalau diikuti, bahwa tentu ini harus disesuaikan dengan paham disabilitas, ada dikotomi karena satu sisi bicara tentang kesempatan kerja, bicara kompetensi tetapi ketika bicara difabel yang dibicarakan adalah ragam difabelnya. Ini menjadi sesuatu yang menarik untuk dilihat lebih jauh. Terlepas dari proses pewacanaan yang lebih positif tetapi di sisi lain stigma itu tetap hidup dan tidak tersentuh dan itu bukan di Indonesia saja. Di Amerika ada pesawat kecelakaan dan petugasnya seorang difabel lantas Trump bilang kenapa pegawai yang ditempatkan adalah difabel.
Joni menutup siaran dengan menjawab apa yang harus dilakukan oleh masyarakat saat ini adalah merangkul, menerima dan libatkan bersama-sama, baik di gereja atau lembaga pendidikan. Karena kadang ada yang menurutnya salah, “sebentar kita siapkan dulu hukum, baru kemudian kita terima. Itu yang tidak selalu tepat. Betul hati dan perbuatan itu nyata bahwa kita itu inklusif dan setara,”pungkasnya.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan









