Views: 11
Solidernews.com – Masih dalam liputan secara langsung kegiatan live in Jambore Nasional dan Bencana Siaga Disabilitas di Desa Patihan, Sragen, penulis sempat ikut merasakan tinggal seharian di rumah warga bersama tiga peserta Tuli. Rumah itu terletak di tengah sawah yang luas dan akses jalan yang cukup rusak. Jarak rumah warga ke lokasi kegiatan hanya kurang empat menit dengan naik motor. Wilayah tersebut merupakan penghubung antar wilayah yang hanya dipisah dengan luasnya sawah. Pemilik rumah ternyata merupakan ketua RT. Pemilik rumah sangat ramah dan memiliki istri dan satu anak. Keluarga tersebut menggantungkan kelangsungan hidup dengan bekerja di sawah dan juga berdagang di sebuah usaha kecil di depan rumah.
Selama kami tinggal di rumah, tidak pernah ada masalah komunikasi meskipun keluarga pihak rumah itu tidak bisa bahasa isyarat dan bergantung pada teknologi komunikasi, seperti mengetik di HP. Kami diterima sangat baik dan ramah. Kami disuguhi beberapa makanan ringan, minuman, dan juga makanan utama (sarapan, makan siang, dan makan malam) dengan beberapa masakan khas Sragen. Kami tidur di ruang tamu berbentuk joglo sebagaimana bentuk dan desain rumah warga desa pada umumnya.
Ada hal yang paling menarik ketika penulis mencoba untuk membuat test kecil dengan pemilik rumah untuk mencoba meminjamkan kunci mobil untuk test mesin mobil. Penulis memiliki keyakinan bahwa pemilik rumah itu pasti akan menolak memberikan kunci mobil karena beliau adalah orang dengar pasti tidak akan percaya bahwa orang Tuli itu sebenarnya bisa menyetir mobil. Tapi di luar dugaan, pemilik mengiyakan, lalu segera mengambil kunci mobil dan memberikan kunci mobil. Penulis merasa kaget dengan tindakan pemilik rumah. Akhirnya, penulis dapat merasakan test mesin mobil keluaran tahun 1994 dan bermerk Isuzu Panther dengan bertransmisi manual 2.300cc. Kami berdiskusi sedikit tentang seberapa performa mobil tua itu dan pengalaman menyetir mobil tua. Ia mengaku puas dengan performa mobil tua tetapi ia juga bercerita bahwa ia tidak punya uang untuk merawat atau memperbaiki bagian-bagian yang hampir rusak. Penulis cukup puas dengan performa mobil tersebut karena mesin tersebut masih bekerja dengan normal meskipun ada beberapa bagian yang harus diperbaiki atau diganti. Jadi, diskusi kami berakhir memuaskan dan kunci mobil itu sudah dikembalikan kepada pemilik mobil itu.
Kejadian tersebut membuat penulis penasaran bagaimana edukasi warga desa mengenai isu difabel karena selama ini, desa merupakan salah satu wilayah yang sangat tertinggal dari perkotaan dalam hal akses pendidikan tinggi. Menurut data dari BPS (Badan Pusat Statistik) keluaran tahun 2024 yang dipresentasikan oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah yang dikutip oleh Kompas.com, data tersebut menunjukkan bahwa lulusan diploma dan sarjana masih didominasi dari perkotaan pada tahun 2024 adalah sebesar 75,34% sementara lulusan diploma dan sarjana berasal dari desa yang telah bekerja hanya sebesar 24,66%. Oleh karena itu, penulis penasaran mengapa pemilik rumah itu masih percaya terhadap kemampuan Tuli dalam hal urusan mesin mobil meskipun masih menemui kendala komunikasi.
Edy Supriyanto, ketua Yayasan SEHATI Sukoharjo menyatakan bahwa ada beberapa komunitas dan organisasi difabel yang memiliki program desa masih rutin dijalankan setiap wilayah masing-masing sehingga para warga desa mendapatkan akses edukasi tentang difabel jauh sebelum kegiatan tersebut diadakan. Setiap malam, mereka melakukan pertemuan edukasi bersama para relawan organisasi atau komunitas di balai desa. Maka, para warga desa telah teredukasi dengan baik dan dinyatakan siap menyambut dengan baik kehadiran masyarakat difabel, termasuk komunitas Tuli. Maka hal ini menjadi latar belakang mengapa Desa Patihan terpilih sebagai lokasi penyelenggaraan kegiatan live in Jambore Nasional dan Bencana Siaga Disabilitas sekaligus menjadi tempat penginapan sementara untuk peserta difabel selama dua hari dua malam. Namun, Edy mengaku ada beberapa warga tetangga desa lainnya yang bukan berasal dari Desa Patihan turut ikut berkontribusi dalam kegiatan tersebut. Ada 150 relawan desa yang berasal dari beragam desa-desa sekitarnya ikut membantu secara penuh dari hari pertama hingga hari terakhir dan menyukseskan penyelenggaran kegiatan live in tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa wilayah desa telah baik teredukasi tentang isu difabel sehingga mereka tidak menolak kehadiran difabel dan mengaku bahwa difabel adalah insan yang adil dan setara. Penulis berharap Desa Patihan akan menjadi desa percontohan dan inspirasi bagi desa-desa lainnya di seluruh wilayah Indonesia terkait hak-hak difabel.[]
Penulis: Raka Nur
Editor : Ajiwan