Views: 4
Solidernews.com, Yogyakarta—Menjadi figur yang dipercaya untuk menbawakan sebuah materi di tengah-tengah anak remaja, jelas tidaklah mudah. Apa lagi bila hal tersebut berbicara tentang tema berat dan harus disampaikan dengan logika dan tutur bahasa yang sederhana. Contohnya adalah kajian tentang spirit persahabatan, kekeluargaan, dan cinta. Pasti akan menjadi tantangan maknyus bagi si pembicara tersebut. Harus disampaikan dengan bahasa yang friendly, dekat dengan remaja tersebut, harus paham apa yang menjadikan mereka mau mendengar materi, dan membangun sebuah suasana hangat dalam acara bersama anak remaja, serta tidak menyudutkan, menjadi tantangan tersendiri bagi pembicara.
Ramaditya Adikara sesosok motivator dan trainer kondang di kalangan difabel netra pun mengakui di salah satu kontennya, bahwasannya berbicara dengan anak remaja itu susah-susah gampang. Harus update tentang kesukaan mereka, gaya bahasa, kebiasaan, dan aktivitas yang lagi trend di kalangan remaja, menjadi beberapa point yang harus diperhatikan oleh para pembicara yang akan mengisi acara di kalangan remaja. Sebab bila aspek-aspek tadi tidak diperhatikan dan tidak menggunakan strategi pendekatan, dengan mengemas materi dengan bahasa-bahasa yang mereka gandrungi, anak remaja cenderung akan tidak responsif pada sesi acara diskusi bersama sang pembicara.
Tepat pada tanggal 29 Juni 2024, saya yang seorang difabel netra mendapatkan kesempatan untuk membersamai acara perpisahan siswa kelas 3 A SMP 1 Seyegan di Kopi Sejati, Balangan, Seyegan, Sleman, Yogyakarta. Agenda itu diadakan guna mempererat tali persahabatan dan kekeluargaan antar siswa. Sebab mereka akan lanjut ke jenjang SMA. Jadi, saya diamanahi untuk membawakan materi dengan judul acara “Persahabatan, Kekeluargaan, dan Cinta” di tengah-tengah siswa SMP 1 Seyegan yang notabenenya sekolah tersebut belum ada siswa difabel, serta belum mengadaptasi sistim inklusif.
Manakala mendapatkan undangan tersebut, mulanya saya juga bimbang. Sebab dengan latar belakang siswa yang belum pernah interaksi dengan difabel, sekolah yang belum pernah ada siswa difabel, dan keawaman mereka terhadap masyarakat difabel menjadi ganjalan pertama. Namun, demi merasakan ketulusan mereka mengundang saya di acara perpisahan tersebut, akhirnya saya terima. Hitung-hitung sambil mengenalkan siswa-siswa tersebut berinteraksi dengan difabel netra, membangun sosial inklusif, sekaligus meng-edukasi para peserta yang hadir tentang difabel itu juga bisa meraih mimpi dan membangun persahabatan yang hebat. Nah, berikut true story yang saya alami!
Sempat Menerima tatapan asing dan Komentar merendahkan
Sewaktu saya tiba di lokasi acara bersama Malik (relawan) saya hanya dipersilahkan duduk di gazebo. Lantas kembali di tinggal oleh panitia yang menemui saya. Khas sekali sebuah suasana masyarakat yang belum terlalu akrab dengan difabel. Bukannya didampingi, dibreafing soal teknis saat saya jadi pembicara, dan dipersilahkan untuk ngopi, eh, malah ditinggal pergi. Tetapi di situ saya tidak ambil pusing. Sebab saya maklum dengan keadaan mereka yang belum aware terhadap masyarakat difabel.
Selain hal di atas, Bekti, selaku siswa yang ikut membantu acara soal teknis, juga berbisik kepada saya. Bahwasannya ada beberapa oknum panitia yang merendahkan saya sewaktu rapat acara ini. Mulai dari yang komentar mengapa menghadirkan pembicara difabel netra? dan lain sebagainnya. Saya pun bilang ke Bekti kalau hal seperti itu biasa. Apa lagi baru perrtama bertemu difabel. Ya, jadi wajar saja kalau mereka komentar dan berpandangan buruk tentang saya.
“kalau cuman omong gitu dan dapet fasilitas seperti yang di bicarakan tadi aku juga mau. Dan kalo modal omong dapet hal-hal tadi aku juga bisa,” celetuk salah satu panitia, karena merasa tidak terima kalau yang diundang itu difabel netra (cerita subekti pada saya)[1].
Tidak hanya hal di atas saja pengalaman uniknya. Tetapi sewaktu saya datang sembari dituntun Malik, bebrapa dari tamu kafe dan peserta acara perpisahan juga menatap ke arah kami dengan heran. Ada juga yang menatap kami dengan kebingungan. Namun, menanggapi hal itu saya buat santai juga. Mungkin di kafe ini juga baru pertama kehadiran seorang difabel. Jadi, saya buat enjoy saja sambil merokok. Lagi-lagi sekalian edukasi ke masyarakat kafe, hehehe. Saat saya berpapasan dengan beberapa siswa, mereka pun akhirnya mau bersalaman.
“Kami mengundang mas Wachid ini sebenarnya untuk menggugah mata hati kawan-kawan kelas. Selain itu, ini juga menjadi pengalaman pertama kami berinteraksi dengan kawan difabel. Saat dapat cerita mas Wachid ini punya grup hadrah, sering jadi kawan curhat, dan sering membantu masalah kawan-kawan nondifabel, saya tertarik dan mengusulkan nama mas Wachid untuk dijadikan pembicara. Saya mendapat rekomendasi sampean dari Galih, yang ternyata ia adalah personil hadrah mas Wachid. Jadi, tidak ada kata ragu untuk mengundang sampean. Meski tetap harus menjelaskan dan meyakinkan kawan-kawan panitia,” jelas Fatah (ketua Kelas)[2].
Akhirnya Mendapatkan Respons Positif saat Sesi Diskusi
Meninjau beberapa interaksi di atas, tentu saya tidak hanya acuh gitu saja. Melainkan saya sambil duduk santai di gazebo, juga melakukan observasi dan membangun strategi untuk penyampaian materi nantinya. Mulai meninjau gaya bahasa yang di gunakan saat mereka ngobrol, meninjau pembahasan apa saja yang paling di minati para siswa, dan sebagainya. Jadi, sosial inklusif ini saya bangun dari diri sendiri terlebih dahulu, dengan membawakan diri ke tengah-tengah peserta dengan pembawaan yang bisa masuk ke peserta.
Saya diberikan waktu untuk mengisi acara itu tepat di jam 15.30 WIB. Jadi, prosesi saya jadi pembicara itu selepas salat ashar berjamaah. grogi, gugup, dan canggung tentu menjadi perasaan awal manakala MC memanggil nama saya. Sebab untuk jadi pembicara untuk usia remaja, sore hari ini merupakan pertama kalinya. Karena sebelumnya rata-rata jadi pembicara di kalangan dewasa. Syukurnya saya tetap bisa mengendalikan diri di atas panggung.
Manakala mendengar cerita keronologi saat saya mengalami kebutaan dan bagaimana saya menuntaskan berbagai permasalahan yang hadir, forum yang saya hadiri ini memberikan perhatian lebih. Apa lagi saat saya mulai menerjemahkan makna “Sahabat, Kekeluargaan, dan Cinta” dengan berbagai true story dalam pribadi saya saat membangun sebuah circle persahabatan yang kemudian melahirkan rasa kekeluargaan yang erat. Dengan bukti video grup hadrah yang saya dirikan, aktivitas saya yang kadang jadi pimpinan ziarah luar kota, perkerjaan jurnalistik, dan lain-lain, makin menambah atensi para peserta.
Dalam forum itu saya jelaskan bahwa berinteraksi dengan difabel netra itu tidak sulit. Difabel netra hanya tidak bisa melihat. Tapi mereka mampu dan juga tentunya memiliki keahlian. Dengan komunikasi, keterbukaan untuk saling menyapa, dan tidak usah takut ngobrol menjadi jalan awal berkomunikasi dengan difabel netra. Pada akhirnya para peserta malah memberikan respon dan balasan positif sewaktu saya menjadi pembicara. Bercanda, saling tukar pikir, dan momen makan bareng jadi titik awal saya berhasil membangun sosial inklusif di antara siswa kelas 3 ini.
Puncaknya adalah saat saya menampilkan musikalisasi puisi yang bertemakan sahabat, dengan judul “Tersenyumlah Kawan” suasana yang terasa makin syahdu. Dari puisi itu saya lanjut monolog dengan gaya puitika tentang makna persahabatan, ketulusan, keluarga, sekolah, dan ilmu. Hal itu makin menyentuh hati. Apa lagi para peserta saya minta menutup mata dengan kain yang disediakan panitia. Jadi, mereka merasakan puisi dan monolog itu sebagaimana saya merasakan dunia di hari ini. Beberapa ada yang menangis. Endingnya mereka berangkulan dan saling meminta maaf serta saling mendoakan.
“Acaranya mantab, hid. Aku ndak nyangka akan begini menyentuh acaranya. Tadi beberapa ada yang nangis juga. Aku sendiri sambil memfoto juga ikut tersentuh. Uniknya setelah mendengar materi, penjelasan tentang kamu yang difabel netra, dan kisah perjuanganmu, para siswa memberikan perhatian. Pas pulang mereka menjabat tangannmu dengan wajah berseri,” tutur Malik (relawan) sewaktu kami berjalan pulang[3].[]
Penulis : Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan
[1] Wawancara pada Bekti seusai acara di Kopi Sejati, Sleman, Yogyakarta, pada 29 Juni 2024.
[2] Wawancara dengan Fatah selaku ketua kelas, di Kopi Sejati, pada 29 Juni 2024.
[3] Wawancara dengan Malik, di Kopi Sejati, pada 29 Juni 2024.