Views: 14
Solidernews.com – Berbicara tentang difabel tentunya akan banyak sisi-sisi menarik. Mulai dari kisah perjuangan, cara aktualisasi diri, proses menempuh gelar pendidikan, dan berbagai proses lain yang menjadikan difabel meraih kemandirian. Fenomena difabel yang menggapai prestasi baik tingkat nasional maupun internasional, tentunya menyimpan banyak pertanyaan terkait pencapaiannya dan berbagai prosesnya.
Dalam kajian kali ini, saya tertarik membahas mengenai aspek-aspek pendukung yang menjadikan difabel dapat menggapai berbagai mimpi. Bagi sebagian orang, menggapai impian tentu tak mudah dengan berbagai hambatan mereka. Seperti Cheta Nilawati Prasetya Ningrum difabel netra yang menjadi jurnalis difabel pertama Tempo, Prof. Dr. Alimin, M.Ag difabel netra yang menjadi hafidz Quran dan guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Angkie Yudistia seorang difabel tuli yang menjabat staf presiden RI, dan sebagainya.
Tentu beberapa tokoh di atas memiliki tantangan masing-masing dalam menggapai mimpi-mimpinya. Mulai dari membentuk jiwa dan mental sekuat baja, menghadapi stigma masyarakat, prasarana yang masih belum aksesibel, dan peraturan yang terkadang kurang mengakomodir difabel, menjadi sedikit problema hidup seorang difabel. Namun, hal itu tidak menjadi soal bila difabel memang memiliki tekad kuat, membangun lingkungan yang mendukung, dan terus meningkatkan kapasitas personal. Salah satu hal paling krusial adalah membangun pertemanan yang inklusif.
Semenjak kehilangan penglihatan di tahun 2020, kontribusi pertemanan dalam membantu saya menggapai mimpi begitu besar. Karena sebagian banyak saya bergaul dengan lingkungan nondifabel. Mulai berkerja di MTS 2 Sleman yang belum inklusif, menjadi kontributor di beberapa media digital, dan membangun komunitas nondifabel tetapi dengan sepirit inklusif, semua itu saya gapai dengan teman-teman di sekitar hidup saya.
Membangun Pondasi Inklusif dalam pertemanan sehari-hari
Bukan menjadi hal mustahil. Bila kita sebagai difabel membangun circle l inklusif di pertemanan kita. Hal itu tentunya akan banyak menuai tantangan. Tetapi bila itu kita perjuangkan pasti teman-teman kita akan menghargai difabel sebagai sosok yang patut diapresiasi.
Semenjak tahun 2020, karena minimnya informasi seputar difabel, kenalan difabel, dan partisipasi aktif di organisasi difabel, menuntut saya untuk tetap bergaul, meski itu dengan kawan nondifabel. Tentu dengan bekal membaca literatur, mengikuti FGD sosial inklusif, dan diskusi dengan para praktisi hak difabel, memberi saya sedikit ilmu seputar membangun pertemanan inklusif. Adapun beberapa hal yang saya lakukan adalah:
Pertama membawakan diri apa adanya
Dalam pertemanan saya, sudah menjadi hal biasa ketika saya bergaul dengan apa adanya. Saya tidak menuntut, minder, dan selalu terbuka menjadi hal yang membantu saya akrab dengan kawan nondifabel. Di sini saya bergaul dengan enjoy, berusaha aktif, dan komunikatif terkait apa pun kendala yang saya miliki.
Ketika kawan ingin membantu, saya akan senang hati menerima. Bukan malah pasang wajah marah karena saya merasa tersinggung. Contoh: ada yang mau membantu saya berjalan di kampus, meski saya hafal medan kampus, saya lebih memilih mengiyakan niat baik kawan tersebut. Jadi, di situ saya malah punya kesempatan edukasi, menjelaskan cara, komunikasi, dan interaksi yang baik kepada sahabat difabel. Akhirnya kawan itu menyebarkan cara-cara berinteraksi dengan saya, ke kawan-kawan nondifabel lain.
“Jujur saya malah belajar banyak mas dari sampean. Meski sampean ndak bisa melihat, tapi karena sampean komunikasinya baik, terus saya bantu tidak tersinggung, dan kalau saya salah menggandeng sampean memberi tahu cara yang benar, justru menjadi ilmu baru bagi saya,” Ujar Malik sahabat nondifabel dari UIN Sunan Kalijaga pada 01/06/2024.
Kedua menjadi difabel yang terbuka
Selama berkawan, saya tidak pernah menutup diri dari pertanyaan kawan nondifabel. Pertanyaan apa pun tterkait kedifabelan saya, semua berusaha saya jawab. Karena dari sinilah kawan nondifabel akan paham akan kebutuhan kita. Selain itu, saya juga tidak sungkan membantu masalah-masalah mereka, dengan menawarkan diri. Seperti: Ada kawan yang ingin belajar seni hadrah, maka saya bantu dirinya belajar menabuh alat musik hadrah.
Karena sebenarnya kita tetap bisa membantu dan berkerja sama dengan kawan nondifabel sesuai kapasitas yang dimiliki. Bukan karena kita difabel, malah kita berpikir yang berhak dibantu itu adalah kita sebagai difabel. Membantu kawan nondifabel juga menjadi ladang menyuburkan pertemanan dan memberikan rasa respek kepada mereka, yang akhirnya mewujudkan pertemanan yang akrab.
“Aku salut, mas. Saat kamu mengajariku cara membuat daftar pustaka otomatis, membuat catatan kaki, dan memahami teknik shortcut di MS. Office Word. Jujur, aku ndak nyangka kamu bisa membantu menyelesaikan persoalanku dalam menggunakan Word,” Tutur Nafa kawan nondifabel dari UII Yogyakarta pada 09/06/2024.
Bangun Pertemanan yang Saling Memberdayakan
Menjadi difabel yang ingin membangun pertemanan inklusif, sudah selayaknya di mulai dari kita sendiri. Amanat UU. No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, tentunya adalah tugas kita bersama. Tidak hanya pemerintah, masyarakat, dan lingkungan. Melainkan itu juga tugas kita pribadi sebagai difabel untuk menyebarkan inklusifitas di sosial lingkungan kita.
Ingat, kita harus menjadi jiwa yang berdaya saing. Jangan hanya menjadi jiwa yang bermental “Aku difabel. Jadi aku harus selalu dibantu di semua hal,” itu tidak boleh dipatri dalam hati. Kontribusikan apa pun yang kita bisa. Mulai dari membantu lewat ide dan gagasan, serta jangan malu untuk sharing skill yang dikuasai kepada sahabat nondifabel agar kita bisa berkerja sama. Contoh: saya mampu melakukan konsep acara, leader rombongan ziarah, sedikit punya ilmu kepenulisan, dan praktisi kesenian hadrah. Maka saya membantu kawan non-difabel dengan hal-hal tersebut.
Dengan hal di atas, tentunya itu akan meningkatkan kepercayaan kawan nondifabel untuk memberi kesempatan. Selama kita komunikasikan kemampuan kita, kita bantu dengan maksimal, dan pembuktian nyata dalam forum, justru akan makin meningkatkan kepercayaan diri difabel, saat tanggung jawab itu ditunaikan dengan tuntas.
“Saat sampean cerita bisa hadrah, bisa mengonsep acara, dan mampu mimpin ziarah. Maka saya coba ke sampean untuk mengajar hadrah di dusun Mriyan, membantu saya mengonsep agenda pengajian akbar pada 2023 kemarin, dan membantu melobi jaringan untuk acara tersebut. Jujur, saya salut dan saya bangga berkolaborasi dengan sampean,” tutur Galih sahabat nondifabel dari dusun Mriyan, Seyegan, Yogyakarta pada 27/05/2024.
Beberapa hal di atas tentunya hanya segelintir kawan nondifabel yang dekat dengan saya. Mulai Malik, Nafa, dan Galih, mereka adalah contoh dari mini laboratorium pertemanan inklusif saya. Berkat kepercayaan mereka, kesempatan, dan dukungan mereka, kini saya bisa memiliki kemandirian. Mengajar hadrah, membantu mobilitas saat wawancara, membantu mencari buku untuk kuliah, dan menemani proses karir di jurnalisme, menjadi mutualisme dari pertemanan kami. Mereka membantu kesulitan saya, saya pun ikut membantu kesulitan-kesulitan mereka. Jadi, bangunlah pertemanan inklusif yang di mulai dari dirimu sendiri. Serta gapailah mimpi bersama kawan-kawan terbaikmu.[]
Penulis: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan