Views: 13
Solidernews.com – Beberapa bulan terakhir, benak kita mungkin dipenuhi dengan berbagai pikiran dan opini terkait berbagai macam berita yang viral tentang Presiden Jokowi resmi menyetujui pungutan gaji sebesar 3% (2,5& pekerja dan 0,5% penawar kerja) untuk membayar tapera setiap tanggal 10 setiap bulan. Presiden Jokowi menyatakan bahwa seluruh pekerja baik PNS maupun sipil wajib dipotong gaji mereka untuk TAPERA (Tabungan Perumahan Rakyat) setiap bulan. Beliau menjanjikan bahwa seluruh pekerja akan mendapatkan manfaat TAPERA, yaitu akan mendapatkan rumah baru yang sudah disediakan oleh pemerintah dan bahkan pemerintah akan mengembalikan dana TAPERA apabila peserta sudah memasuki usia 58 tahun ke atas, mundur dari pekerjaan, dan meninggal dunia.
TAPERA merupakan singkatan dari Tabungan Perumahan Rakyat. Maka, secara sederhana, TAPERA berfungsi untuk tabungan bulanan agar kelak akan mendapatkan rumah baru permanen dan bersifat sebagai tabungan jangka panjang. Kebijakan ini sebenarnya pernah dibahas oleh pemerintah tahun 2020 melalui PP Nomor 25 tahun 2020, tetapi mengalami perubahan dengan PP Nomor 21 tahun 2024 dimana pemerintah menaikkan kewajiban bayar TAPERA untuk seluruh masyarakat baik pekerja PNS maupun pekerja sipil, termasuk warga asing dan pekerja yang memiliki rumah pribadi yang harus menyumbang gaji sebesar 3% setiap bulan. Hal ini bertujuan agar pekerja yang membayar TAPERA akan mendapat manfaat yaitu akan memiliki rumah dalam jangka panjang.
Akan tetapi, program TAPERA ini mendapatkan banyak penolakan dari rakyat sendiri karena mereka memiliki masalah kepercayaan (trust issue) dengan pemerintah berkaca dengan banyaknya kasus korupsi program pemerintah, seperti E-KTP, BPJS, BANSOS, Sembako, dan program pemerintah lainnya yang selalu menimbulkan celah bagi koruptor. Ketiadaanya fleksibel dan transparansi kebijakan dan program pemerintah, lemahnya pengawasan, serta lemahnya penegakan hukum bagi koruptor membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terus semakin menurun. KPK selalu mendapatkan pekerjaan baru setiap kali keluarnya kebijakan pemerintah, yaitu menemukan kasus korupsi yang baru. Oleh karena itu, masyarakat menilai bahwa program TAPERA hanya akan membuka peluang celah korupsi yang baru, sama seperti program pemerintah sebelumnya.
Masyarakat sudah dibebani setiap bulan untuk membayar pajak penghasilan, BPJS, dan Jaminan Hari Tua, belum lagi masih harus membayar tagihan lainnya, seperti air, listrik, sewa kost/ apartemen/ kontrakan, internet, dan lain-lain. Tidak semua masyarakat memiliki impian agar dapat memiliki rumah sendiri. Mereka pasti nyaman memilih tinggal di kost atau apartemen, bahkan hanya ngontrak rumah saja cukup. Ada pula ingin memiliki rumah sendiri dengan dana sendiri. Kepemilikan rumah sendiri seharusnya menjadi pilihan pribadi bukan dari pemerintah. Program TAPERA ini harus bersifat sukarela bukan wajib.
Kemudian, bagaimana pendapat difabel Tuli mengenai TAPERA?
B (nama samaran) menyatakan ketidaksetujuan karena beliau memiliki masalah kepercayaan dengan pemerintah terkait adanya potensi korupsi TAPERA dan meragukan komitmen pemerintah dalam melaksanakan kebijakan TAPERA secara konsisten. Beliau mengkhawatirkan adanya potensi kasus korupsi yang baru seperti kasus Covid-19, kasus BANSOS, dan kasus korupsi lainnya. Oleh karena itu, beliau tidak memiliki harapan apapun dengan pemerintah. Selain ini, L (nama samaran) menyatakan bahwa program TAPERA ini mustahil diwujudkan dalam jangka panjang karena setiap daerah memiliki upah minimun regional (UMR) berbeda-beda bahkan masih banyak pekerja bergaji di bawah UMR sehingga akan memberikan hasil juga berbeda-beda sehingga program TAPERA mustahil diwujudkan. Sebagian besar difabel Tuli lebih memilih punya rumah baru sendiri ketimbang mendapatkan rumah baru dari pemerintah. Oleh karena itu, sebagian besar difabel Tuli menyatakan ketidaksetujuan program TAPERA yang rawan korupsi dan justru akan memiliki keraguan, pesimistis, dan masalah kepercayaan dari rakyat.
Mereka berharap agar pemerintah memberikan perhatian pada rakyat kecil, seperti mereka dari komunitas Tuli bukan hanya mementingkan kalangan atas. Mereka percaya bahwa rakyat kecil ini seringkali tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah. Oleh karena itu, mereka menyatakan bahwa pemerintah kurang riset atau melihat lebih dalam tentang kondisi rakyat kecil dalam merumuskan suatu kebijakan pemerintah.
Lalu, manakah program pemerintah yang seharusnya diprioritaskan?
Menurut Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pendidikan harus ditanggung oleh pemerintah sehingga pendidikan idealnya gratis. Serta dalam Pasal 34 ayat 3 UUD 1945, pemerintah bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Maka, secara hukum dan konstitusi, negara harus bertanggung jawab pada pendidikan dan kesehatan hingga kini angan-angan, meskipun negara sudah menyediakan asuransi kesehatan, seperti BPJS dan beasiswa perguruan tinggi bagi calon mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin. Belum lagi, negara masih belum berhasil dalam memenuhi kewajiban dengan fasilitas dan hak difabel, orang lanjut usia, dan pelayanan publik lainnya yang termasuk program pemerintah yang prioritas. Semuanya masih angan-angan dan jauh dari mimpi.
Difabel seharusnya menjadi program pemerintah yang prioritas akan tetapi hingga sekarang cenderung lambat dalam penanganan dan waktu eksekusinya alias cenderung masih angan-angan dan jauh dari harapan. Penulis tidak tahu dimana fokus utama pemerintah saat ini, apakah dengan rakyat termasuk difabel atau kepentingan lainnya, misalnya investasi dan pembangunan selama ini hampir selalu tujuan pemerintah. Selaras dengan semangat Pancasila, kita justru merasa kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah akan memiliki nilai-nilai Pancasila dalam segala kebijakan dan prioritas program pemerintah.
Rakyat berharap pemerintah dapat menjaga uang rakyat yang akan disalurkan untuk pendidikan, kesehatan, jaminan hari tua, program orang lanjut usia, program bagi difabel, dan pelayanan publik lainnya yang diprioritaskan tetapi pemerintah justru menyalurkan uang rakyat kepada program pemerintah lainnya bukan urgensi rakyat, seperti tapera yang bukan keinginan publik dan justru menimbulkan keraguan rakyat terhadap kemampuan pemerintah dalam menjaga uang rakyat dan menangani program pemerintah dalam jangka panjang. Maka, sia-sialah kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan bahkan rakyat akan merasakan penyesalan.
Kita hanya bisa membayangkan sebuah mimpi bahwa pemerintah akan fokus pada kesejahteraan masyarakat termasuk perbaikan pelayanan publik agar ramah difabel, sumber daya manusia yang berkualitas dengan penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang terbaik dan terampil serta dapat mewujudkan sayap kebhinekaan serta mimpi Indonesia Emas tahun 2045.
Sesuai semangat Pancasila, kita hanya bisa berharap agar pemerintah bersikap adil, transparan, fleksibel, dan tidak korup dalam program pemerintah yang sudah berjalan maupun masih dibahas bersama atau masih dalam direncanakan. Apakah pemerintah masih mampu melakukan seperti ini? Kita masih menunggu hal ini dan semoga kita tidak akan mendengar berita kasus korupsi baru lagi.[]
Penulis: Raka Nurmujahid Ammrullah
Editor : Ajiwan
Referensi:
Admin KMHDI. 1 Juni 2024. https://kmhdi.org/kebijakan-tapera-untuk-siapa-refleksi-nilai-nilai-pancasila/Bram Damianus. 26 Juni 2023. https://radarsolo.jawapos.com/pendidikan/841707023/amanat-undangundang-masih-jadi-anganangan-menuntut-pendidikan-gratis
Pujianti, Sri. 20 Desember 2018. https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=14951