Views: 10
Begini Lika-Li
Solidernews.com – Penyiar radio, sebuah profesi yang menantang bagi para penggemar komunikasi dan public speaking. Menyampaikan informasi, hiburan, musik, hingga berbagai macam periklanan yang masuk ke kantor radio. Sebagaimana para penyiar non-difabel, para penyiar difabel netra juga memiliki tantangan mereka sendiri. Namun, semua harus tetap dijalankan dengan profesionalisme kerja.
Seorang difabel netra yang berkerja di kantor radio formal, kadang masih menemukan beberapa kondisi yang terkesan membatasi ruang eksplorasi. Seperti pengoperasian media dan alat pendukung penyiaran seperti komputer, mixer, mikrofon, dan sebagainya, masih belum diberikan keleluasaan untuk menjalankan secara mandiri. Meski begitu, hal itu tidak menghalangi difabel netra untuk tetap siaran dan menghibur para pendengar radio.
Ada juga kantor radio, yang memang mengizinkan penyiar difabel netra untuk siaran secara mandiri. Mulai mengoperasikan komputer, mixer, telepon siaran, dan sebagainya. Dengan komputer yang terinstal screen reader, penambahan saundcard (untuk mengatasi agar suara screen reader tidak keluar di radio pendengar), dan sebagainya. Sebagaimana stasiun radio Swadesi Yogyakarta yang mengizinkan penyiar difabel netra untuk totalitas dalam menjalankan siaran.
Sesuai cerita Ilma Pasha (Penyiar Radio difabel netra Swadesi Yogyakarta), Rachel Siloam (Penyiar difabel netra RRI Jakarta), dan Albert Wijaya (Penyiar difabel netra RRI Jakarta). Dari cerita-cerita mereka, ada berbagai lika-liku yang harus kawan-kawan difabel tahu, sebelum akan terjun ke profesi penyiar radio profesional di kota masing-masing.
Menjalankan Siaran Sesuai Style dan Gaya Radio
Saat seorang penyiar radio mulai menjalankan programnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Misalnya terkait gaya dan corak komunikasi yang dipakai oleh stasiun radio, mempersiapkan diri untuk bertemu narasumber, dan menjaga nada serta kualitas obrolan sesuai skrip serta ikut panduan dari briefing sang produser radio.
Pada wawancara 14 Januari 2025, Ilma menjelaskan bahwa saat masuk ke Radio Swadesi Yogyakarta setahun yang lalu, ia diminta untuk ikut training dan mentoring dahulu. Utamanya terkait tata cara penyiaran. Di dalam training itu, juga terdapat pembahasan dan pengajaran terkait gaya yang digunakan tempatnya bekerja.
“Iya, kita harus menggunakan gaya yang sudah menjadi style tempat radio kita berkerja. Selain itu, arahan produser benar-benar harus dipahami,” jelas Ilma.
Sementara itu, Rachel juga membenarkan bahwa saat siaran itu seorang penyiar difabel tetap harus menggunakan gaya dari stasiun radio. Mulai cara pembukaan, opening siaran, hingga menyesuaikan cara bicara sesuai tema program yang dijalankan. Jadi semua itu harus mengikuti aturan dari radio.
“Ya, tentunya kita harus ikut pakem dari stasiun radio. Kalau di RRI sendiri memang ada aturan untuk kapan waktu dan celah untuk menyelipkan humor, cara siaran tidak kaku, fokus pada timing per sesi, dan sebagainya. Bahkan saat siaran itu kita tidak bisa seenaknya sendiri. Terkadang kita juga tidak bisa menjadi diri sendiri,” jelas Rachel pada wawancara 15 Januari 2025.
Siap Siaga dengan Informasi Dadakan
Sewaktu melakukan siaran program di radio, terkadang ada berbagai informasi tambahan yang akan disampaikan saat prosesi siaran berlangsung. Tidak jarang pula ada perubahan mendadak format informasi tersebut. Mungkin skripnya, detail tambahan, dan sebagainya. Di mana hal-hal tersebut cukup menantang bagi penyiar radio, utamanya penyiar difabel netra.
Mulai berita kehilangan, perubahan narasumber, hingga menerima telepon dari pendengar menjadi tantangan saat seorang penyiar difabel netra tengah mengudara. Seperti halnya yang disampaikan oleh Ilma, kalau kadang saat siaran di Swadesi, kadang dirinya menerima perintah untuk menyiarkan berita kehilangan seperti STNK atau barang lain.
“Ya, kadang aku disuruh untuk menyiarkan berita kehilangan dan itu mendadak, seperti STNK,” jelas Ilma.
Ketika mendapat informasi-informasi tersebut, berbagai alternatif harus cakap untuk diterapkan. Misal, kombinasi dengan menggunakan catatan di ponsel, kemampuan untuk terbiasa improvisasi komunikasi, dan sejenisnya. Karena berkat adanya hambatan visual, strategi-strategi alternatif harus senantiasa dikembangkan. Sesuai pribadi masing-masing.
“Untuk mengatasi informasi mendadak, saya menggunakan catatan di HP. Jadi, saya akan menggunakan tulisan itu sebagai pijakan saat menyampaikan ke pendengar. Selain itu, saya juga berlatih untuk improv komunikasi, yang tentunya atas persetujuan produser,” kata Albert dikutip dari channel youtube @Pertuni, pada 15 Januari 2025.
Sewaktu siaran di hari-hari besar, terkadang juga ada permintaan dari radio untuk menambahkan detail-detail yang harus di improv saat siaran. Di sinilah tingkat fokus, profesionalisme, dan kecakapan komunikasi akan diterapkan. Jadi, keadaan tidak menjadi hambatan untuk memberikan yang terbaik.
“Kadang saat saya siaran, ada improv-improv mendadak dari produser, saat ada momen hari besar. Entah ditambah kalimat seputar hari besar, atau yang lain,” jelas Rachel.
Berprofesi sebagai penyiar radio, terutama bagi penyiar difabel netra, bisa dibilang merupakan perjalanan penuh tantangan yang membutuhkan ketekunan, kemampuan beradaptasi, dan profesionalisme tinggi. Mulai dari menjalankan siaran sesuai gaya stasiun radio hingga menghadapi situasi mendadak seperti perubahan informasi, semuanya menuntut keterampilan khusus. Meski terkadang ruang eksplorasi penyiar difabel netra terasa terbatas, difabel netra tetap mampu berkontribusi secara maksimal dengan kreativitas dan strategi yang cerdas, seperti menggunakan alat bantu teknologi atau melatih kemampuan improvisasi.
Pengalaman Ilma Pasha, Rachel Siloam, dan Albert Wijaya menunjukkan bahwa hambatan penglihatan tidak menghalangi mereka untuk tetap berkarya di dunia penyiaran. Keberhasilan mereka menjadi bukti bahwa dedikasi dan pelatihan yang tepat dapat membantu mengatasi berbagai hambatan. Pada akhirnya, menjadi seorang penyiar radio difabel netra bukan hanya soal pekerjaan, melainkan juga tentang membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk memberikan yang terbaik kepada pendengar.[]
Reporter: Wachid
Editor : Ajiwan
ku Difabel Netra Menjadi Penyiar Radio Profesional