Views: 39
Solidernews.com – Di tengah wacana pembangunan yang terus bergulir, sebuah pertanyaan mendasar menggema dari ruang virtual Lunch Talk perdana Gerakan Literasi Inklusi (GELITIK): Apakah sistem transportasi kita benar-benar milik semua warga, atau hanya mereka yang sesuai dengan standar tubuh tertentu?
Pertanyaan ini menjadi titik tolak dalam peluncuran resmi Gerakan Literasi Inklusi (GELITIK)—sebuah inisiatif yang digagas oleh para Australian Alumni with Disabilities di Indonesia. GELITIK hadir sebagai ruang kolaboratif untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan pemikiran kritis seputar isu inklusi dan difabel. Berakar pada pengalaman hidup komunitas difabel, GELITIK berkomitmen untuk menyuarakan narasi-narasi yang selama ini terbungkam, menjangkau pengalaman yang tak terdengar namun sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Diskusi dibuka oleh Richard Kennedy, alumni Flinders University sekaligus moderator acara, dengan kisah nyata seorang difabel pengguna kursi roda yang ia ceritakan dan memperlihatkan bahwa diskriminasi itu masih mengakar. Ia meceritakan bahwa ada seorang pegawai difabel yang bekerja di lembaga publik bidang transportasi justru mengalami diskriminasi dalam sektor yang seharusnya ia bantu bangun. Pertama, ia tidak mendapatkan bantuan yang layak dari pengemudi bus. Kedua, ia harus mendengar komentar menyakitkan dari sesama penumpang: “Kalau pakai kursi roda, nggak usah pergi-pergi.”
“Jika seseorang yang bekerja di dalam sistem pun masih diperlakukan seperti ini, bagaimana dengan teman-teman difabel lain yang tidak punya posisi, akses, atau kekuasaan?” ujar Richard, membuka ruang refleksi bersama.
Suryandaru, alumni Flinders University dan peneliti hak difabel, membagikan temuan risetnya tentang pengalaman difabel netra dalam mengakses transportasi publik di Semarang. Hasilnya mencengangkan, mulai dari infrastruktur yang tidak ramah—bahkan berbahaya—hingga layanan yang tidak memahami kebutuhan difabel, serta kisah tentang pelecehan seksual yang dialami oleh penumpang difabel saat menggunakan kendaraan umum.
Suryandaru juga menyoroti sisi lain dari kemajuan seperti transportasi daring yang sejatinya membuka akses mobilitas, namun tetap menyisakan hambatan karena desain aplikasinya yang mengabaikan prinsip inklusivitas digital.
Diskusi semakin mengerucut ke akar persoalan ketika Arya Yoga Rudhita, alumni University of Queensland dan anggota Tim Inklusi Kementerian Perhubungan, menyampaikan pengalamannya dari dalam lembaga pemerintah. Yoga mengakui bahwa hambatan terbesar terletak pada dua hal: infrastruktur yang tidak aksesibel dan sumber daya manusia yang belum memiliki perspektif inklusi.
Meski begitu, harapan tetap ada. Tim Inklusi yang dibentuk sejak tahun 2023 telah menyusun dua modul penting mengenai infrastruktur dan layanan transportasi ramah difabel, serta membuka kanal pengaduan bagi masyarakat. Namun, Yoga menyadari bahwa pengaduan hanya akan efektif jika diketahui dan dipercaya oleh publik. “Pekerjaan rumah kami adalah menjangkau lebih banyak orang melalui komunikasi yang tepat.”
Lebih jauh, Tim Inklusi kini sudah duduk di meja perencana transportasi di sejumlah daerah—langkah krusial agar kebutuhan orang dengan difabel tertanam sejak cetak biru kebijakan, bukan ditempel belakangan. Sayangnya, skema ini belum menjangkau sebagian besar provinsi, kabupaten, dan kota karena keterbatasan personel dan mandat. Solusinya jelas: replikasi. Pemerintah daerah perlu menyalin dan menyesuaikan model Tim Inklusi agar transportasi publik ramah difabel benar-benar merata di seluruh Indonesia.
Momen diskusi memanas saat salah satu peserta mengangkat isu pemangkasan anggaran Teman Bus demi efisiensi. Baik Suryandaru maupun Yoga menegaskan bahwa efisiensi tidak boleh menjadi dalih untuk memangkas akses. Aksesibilitas bukan bonus—ia adalah hak dasar difabel!
Suara dari daerah pun menguatkan narasi ketimpangan ini. Peserta dari Dinas Perhubungan Kota Makassar menyampaikan bahwa pembangunan moda transportasi yang aksesibel masih menjadi beban pemerintah daerah, tanpa dukungan signifikan dari pemerintah pusat. Hal ini diamini oleh peserta dari Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Tengah, yang menekankan pentingnya pendekatan lintas sektor dan anggaran yang terintegrasi untuk menjawab tantangan transportasi inklusif.
Dari diskusi ini, GELITIK merumuskan lima catatan utama:
Pertama, Aksesibilitas dalam transportasi publik bukan hanya urusan teknis, melainkan juga persoalan politik dan etika. Diperlukan kolaborasi lintas sektor—terutama dengan melibatkan difabel dalam seluruh proses. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga pembaruan kebijakan.
Kedua, Tanpa komitmen politik yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah, sistem transportasi yang inklusif hanyalah wacana kosong. Kemauan politik harus dibuktikan lewat regulasi, pengawasan, dan partisipasi yang bermakna.
Ketiga, Dukungan anggaran adalah kunci. Setiap rupiah yang dikeluarkan negara harus tunduk pada prinsip Disability Equity and Social Inclusion. Tanpa itu, anggaran hanya akan menjadi alat pelanggeng ketimpangan.
Keempat, Transportasi aksesibel tak hanya bermanfaat bagi kelompok difabel, tetapi juga memudahkan seluruh pengguna. Prinsip universal design membuat sistem lebih aman, nyaman, dan efisien bagi lansia, anak-anak, orang tua yang membawa stroller, pelancong dengan barang bawaan, dan masyarakat luas.
Kelima, Aksesibilitas adalah hak asasi manusia yang tak bisa dikorbankan atas nama efisiensi, penghematan, atau prioritas politik jangka pendek.[]
Reporter: Andi Syam
Editor : Ajiwan