Views: 12
Solidernews.com, Yogyakarta – Di tengah arus dunia yang semakin mengarusutamakan inklusi, istilah neurodiversity hadir sebagai konsep yang terus menantang cara pandang lama mengenai perbedaan. Gagasan ini menegaskan bahwa perbedaan dalam cara kerja otak manusia bukanlah penyimpangan yang harus diperbaiki, melainkan keberagaman alami yang sepatutnya dihargai.
Konsep neurodiversity sendiri tidak lahir dari satu pemikir tunggal. Meski nama Judy Singer, sosiolog autistik asal Australia, kerap dikaitkan dengan istilah ini, sejumlah peneliti seperti Monique Botha, peneliti asal University of Stirling, Inggris mengingatkan bahwa sejarah neurodiversity dibangun dari pengalaman kolektif komunitas autistik daring, seperti Independent Living. Di sana, sejak pertengahan 1990-an, tokoh-tokoh seperti Tony Langdon telah menulis tentang pentingnya mengakui keragaman neurologis sebagai sumber perspektif baru yang memperkaya budaya, teknologi, dan seni.
Spektrum neurodivergent kemudian meluas dari autisme, ADHD, disleksia, dispraksia, hingga Tourette, bipolar, skizofrenia, dan kondisi lain yang dulu hanya dilihat dari kacamata medis. Tapi kini, cara pandang ini mulai bergeser.
Taufan Altalarik, penerima beasiswa LPDP yang juga seorang autisme, mengingatkan bahwa tantangan terbesar yang ia alami bukanlah kedifabelan pada dirinya, melainkan lingkungan yang belum memahami cara pikirnya. “Tantangan terbesarku dulu itu soal mengelola emosi, terutama kalau lihat orang yang melanggar aturan. Karena didikan ibuku, aku jadi cukup saklek. Tapi sekarang, alhamdulillah, aku sudah jauh lebih bisa mengontrol diri,” ujarnya, saat diwawancarai pada Selasa (24/6).
Taufan bercerita bahwa pemahaman dan keterbukaan di sekolah dan tempat kerja sangat menentukan kenyamanan seseorang yang memiliki neurodivergen. Ia berharap ada sistem komunikasi dan pendampingan yang lebih terbuka.
“Kalau ada murid atau pegawai yang punya riwayat neurodiversity, penting banget buat dikomunikasikan ke semua guru atau atasan. Supaya nggak ada salah paham, dan bisa ditindaklanjuti bareng-bareng, bukan dibebankan ke orang itu saja,” tuturnya lagi.
Baginya, neurodivergensi justru menjadi sumber kekuatan. Ia adalah sosok yang penuh rasa ingin tahu, terutama ketika mendalami topik yang ia sukai. “Aku ini tipe orang yang suka banget cari tahu. Mulai dari budaya pop sampai fakta ilmiah. Ini yang bikin aku bisa beradaptasi di berbagai ruang, baik di dunia nyata maupun online, apalagi sejak lulus dari SMK,” tambahnya.
Di dunia kerja, perubahan mulai terlihat. Perusahaan-perusahaan besar seperti Microsoft, Google, dan Goldman Sachs telah menerapkan strategi perekrutan khusus untuk individu neurodivergen. Bukan karena belas kasih, tapi karena terbukti memberi dampak positif pada produktivitas, inovasi dan kreativitas.
Penelitian yang dilakukan oleh Harriet Axbey bersama rekannya dari Durham University, Inggris menemukan bahwa tim yang terdiri dari individu dengan profil neurologis memiliki perbedaan dalam menghasilkan ide desain yang lebih inovatif daripada tim yang homogen. Dalam eksperimen membangun menara spageti, tim neurodiverse membuat desain yang lebih bervariasi dan kreatif. Ini membuktikan bahwa keragaman otak bukan hambatan kolaborasi, melainkan pemicu inovasi.
Namun, perubahan di dunia pendidikan dan kerja belum merata, khususnya di Indonesia. Muhammad Rhaka Katresna, mahasiswa UGM dengan ADHD dari Prodi Agama dan Lintas Budaya, mengaku bahwa sistem pendidikan sering kali tidak memberi ruang yang cukup bagi cara berpikirnya. “Aku pernah dikasih nilai buruk, terus harus kirim pesan sesuai template yang keras. Harus ngomong langsung, padahal buatku itu susah banget, apalagi kalau menyangkut isu berat,” tuturnya.
Menurut Rhaka, solusi terbaik bukanlah perlakuan istimewa, tapi universal design atau sistem yang fleksibel dan akomodatif sejak awal, baik di dunia kerja maupun pendidikan. “Kalau semua dirancang dari awal buat semua orang, termasuk yang memiliki neurodivergen, kita nggak perlu minta ‘penyesuaian khusus,” tegasnya.
Meski begitu, Rhaka tidak menutupi bahwa kondisi ADHD-nya memberinya kekuatan tersendiri. Ia merasa bisa sangat teliti dalam hal yang ia suka. Fokusnya bisa lebih lama dari orang lain, dan dirinya mengaku bisa bekerja lebih cepat. Hingga terkadang sangat tepat waktu, meskipun ADHD sering distigmakan sebagai orang dengan kebosanan atau impulsif.
Kini, cakupan neurodiversity makin luas. Selain autisme atau ADHD, berbagai kondisi seperti gangguan pemrosesan sensorik, sindrom Irlen, hingga kecemasan sosial mulai dipertimbangkan sebagai bagian dari spektrum ini. Premis dasarnya sederhana, jika kita bisa menghargai keberagaman gender, ras, dan budaya, mengapa tidak dengan cara berpikir? Bukankah itu hal yang sama juga derajatnya.
Mengakui neurodiversity bukan soal memberi ruang belas kasih, tetapi soal keadilan untuk semua. Ini tentang membuka peluang yang sebelumnya tertutup, bukan karena ketidakmampuan, tapi karena sistem yang terlalu seragam.[]
Reporter: Bima
Editor : Ajiwan









