Views: 5
Solidernews.com – “Sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” bunyi UUD 1945
Berdasarkan definisi UUD 1945, kemerdekaan artinya segala bentuk penjajahan harus dihapuskan demi tercapainya perikemanusiaan dan perikeadilan. Kemerdekaan dalam perspektif sejarah Eropa menurut Orlando Patterson (1991) terdapat ada tiga macam, yaitu personal, negara yang berdaulat, dan masyarakat sipil. Patterson mendeskripsikan bahwa kebebasan personal adalah bebas dari paksaan dan memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu yang diinginkan, serta membatasi campur tangan atau kontrol orang lain dalam melakukan sesuatu. Kebebasan negara berdaulat adalah negara yang berdaulat memiliki kekuatan dalam mendirikan sebuah negara dan bertindak sebagai negara yang mandiri dan lepas dari kepentingan negara lain yang bertindak. Sedangkan, kebebasan masyarakat sipil adalah masyarakat sipil memiliki akses untuk partisipasi dalam kehidupan publik, terutama pemerintah. Sedangkan dalam perspektif sejarah Amerika Serikat, analisis kebebasan menurut Eric Foner (1998), mengambarkan bahwa:
- Kebebasan berpolitik adalah hak rakyat untuk berpartisipasi dalam urusan politik dan publik
- Kebebasan masyarakat sipil adalah hak sipil yang ditegakkan dan dihormati secara hukum dan sosial
- Nilai-nilai Kristen adalah kapasitas iman sesuai dengan standar dan etika perilaku
- Kebebasan personal adalah setiap individu memiliki kemampuan untuk membuat keputusan sendiri tanpa paksaan dari pihak luar
- Kebebasan dalam kegiatan ekonomi adalah kegiatan yang dilakukan secara otonom, individu, peraturan, dan keamanan
Jadi, Indonesia memang merdeka kalau berdasarkan definisi kemerdekaan di atas, akan tetapi masih banyak komunitas yang belum merasakan kemerdekaan, yaitu kelompok miskin dan rentan, kelompok terasing, terpinggirkan, dan terisolasi (3T), korban kejahatan seksual, korban salah tangkap, bahkan kelompok difabel. Mereka termasuk kelompok yang belum bebas sebagai manusia dan warga negara. Mereka masih belum mendapatkan hak-hak sebagai manusia yang seharusnya hingga sekarang masih berjuang untuk hak hidup sebagai manusia.
Oleh karena itu, Indonesia sejatinya memang sudah merdeka dan sudah mendeklarasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang dimana Indonesia akhirnya mendapatkan pengakuan kemerdekaan secara penuh dari Belanda pada tahun 1949 yang dikenal dengan Konfederasi Meja Bundar dilaksanakan di The Hague, Belanda. Akan tetapi, Indonesia sudah berusia 79 tahun masih belum menjangkau arti “kemerdekaan” seluruh penjuru Indonesia dan kelompok-kelompok lainnya. Masih banyak diskriminasi dan pembatasan hak kemerdekaan secara terang-terangan, seperti diskriminasi batas usia pada lowongan kerja, diskriminasi syarat “kesehatan rohani dan jasmani” yang dinilai membatasi akses difabel dalam mencari pekerjaan, ketimpangan gaji guru yang tidak sejahtera, wilayah-wilayah belum mendapatkan perhatian, hingga kualitas rumah sakit masih belum merata.
Aprillian Bima seorang Tuli mengakui bahwa orang Tuli masih belum merasakan kemerdekaan karena banyak teman-teman Tuli memiliki keterbatasan dalam pengetahuan dan pendidikan yang maksimal agar dapat mendukung proses pelaksanaan aksesibilitas Tuli dalam kehidupan sehari-hari. Bima merujuk pada kurikulum sekolah luar biasa (SLB) yang dianggap tidak setara dengan sekolah regular dimana murid-murid Tuli cenderung akan diarahkan pada pelajaran keterampilan, seperti kayu, besi, jahit, hingga otomotif ketika memasuki sekolah menengah. Oleh karena itu, mereka menjadi terbatas dalam pengetahuan dan pendidikan. Hal ini berdampak serius pada komunitas Tuli yang belum tahu banyak tentang undang-undang disabilitas dan unit layanan difabel (ULD) di bidang ketenagakerjaan meskipun mereka sudah memperoleh pekerjaan maupun belum mendapatkan pekerjaan. Ia berpendapat bahwa jika komunitas Tuli mendapatkan pelatihan tentang leadership (kepemimpinan), knowledge (pengetahuan), dan skill (kemampuan) yang setara maka dianggap sudah merdeka.
Oleh karena itu, pemerintah memang sudah berupaya dalam sosialisasi dan advokasi undang-undang disabilitas termasuk ULD di bidang ketenagakerjaan, tetapi insan Tuli masih belum banyak paham dan demikian juga perusahaan memiliki hak dan wewenang secara independen dalam mencari calon pekerja yang sesuai kualifikasi yang ditetapkan meskipun perusahaan sudah membuka lowongan kerja untuk disabilitas. Maka, hal ini dapat disimpulkan bahwa insan Tuli perlu dibekalkan dengan kepemimpinan, pengetahuan, dan kemampuan agar dapat memenuhi kualifikasi perusahaan yang dibutuhkan, sehingga mereka akan merasakan arti merdeka.
Semoga harapan kemerdekaan ini dapat dinikmati oleh seluruh rakyat kecil dari Aceh sampai Papua termasuk komunitas Tuli yang menikmati kebebasan, demokrasi, keadilan, kesetaraan, dan partisipasi lebih luas hak-hak sipil.[]
Penulis : Raka Nur
Editor : Ajiwan
Referensi
Chanley, Jr, Jesse dan Sharon Chanley. 2015. What does freedom mean?. Fayette, Iowa: Upper Iowa University – Fayette
Foner, Eric. 1998. The Story of American Freedom. New York City, New York: W.W Norton & Company
Patterson, Orlando. 1991. Freedom. New York City, New York: Basic Books