Views: 9
Solidernews.com, Yogyakarta—Mendapatkan pengalaman menikmati sebuah master piece yang dihasilkan dari intuisi, kreasi, dan proses imajiner dari tangan seniman handal, merupakan potret kisah hidup yang tentu banyak meninggalkan kesan. Karya seni audio, lukisan, mural, abstrak, tarian, dan seni rupa, pastinya memiliki makna dan story tersendiri dari karya seniman. Mulai seniman lokal sampai luar negeri, semua memberikan pagelaran yang memukau pada Festival Seni Kontemporer Artjog 2024 di Jogja National Museum.
Menikmati sebuah karya seni dari sang maestro menggunakan lima panca indera, tentu merupakan hal biasa dan semua orang bisa melakukan. Tetapi bagaimana ceritanya bila yang menikmati karya seni di Artjog 2024 itu adalah difabel netra? Memang bisa? Yups! Tentunya bisa. Karena Love Artjog selaku pusat layanan disabilitas (PLD) dari Artjog sudah memikirkan dan memberikan solusi agar para difabel bisa menikmati karya seni dari para seniman kenamaan di pagelaran Festival Seni Kontemporer Artjog 2024.
Konsep dan tema yang ada di Festifal Seni Kontemporer Artjog 2024, Artjog bersama tim kurator yang dibantu oleh kurator tamu Hendro Wiyanto, penulis dan kurator asal Jakarta, menghasilkan sebuah pagelaran karya seni dengan tema “Motif: RAMALAN” yang mengajak para seniman untuk mementaskan karya seni, untuk menerjemahkan dan membaca sejarah masa lalu dan kemungkinan peristiwa masa depan. Semua itu ditafsirkan dalam berbagai bentuk karya yang kini menghiasi Jogja National Museum. Artjog 2024 mengundang seniman kondang yaitu Agus Suwage dan istrinya yaitu Titarubi yang diminta untuk mentafsirkan tema kali ini, dalam bentuk karya seni. Agus Suwage menggunakan unsur telinga dan Titarubi menggunakan unsur tanaman yang menjadi sumber kehidupan manusia, seperti padi, yang kini megah terkonsep dengan berbagai makna di fasad Artjog. Tentu kemegahan karya seni ini baru permulaan lantai satu. Di lorong dan sepanjang lantai 1, 2, 3 akan banyak ditemui berbagai tafsiran para seniman yang menyambut tema tahun ini.
Perjalanan Difabel Menjajagi Tema Ramalan, Lewat Bisikan
Berkat ketulusan hati dari para relawan Love Artjog dan program Exhibition Tour difabel inilah, para difabel netra akhirnya bisa memuaskan diri menikmati karya seni di Jogja National Museum, pada Jumat, 5 Juli 2024. Heri Pemad (direktur Artjog) pun mendukung adanya inklusifitas pada pameran seni. Salah satunya Pagelaran seni Kontemporer Artjog 2024. Dengan semangat kesetaraan, kepedulian, dan saling mendukung, akhirnya para difabel netra bisa menikmati pajangan karya seni yang ada.
Perjalanan tour ini di dampingi oleh para relawan yang sudah mendapatkan pembekalan dari Love Artjog yang berkerjasama dengan pihak-pihak yang paham akan konsep difabel, inklusifitas, dan pengadaan aksesibilitas. Bukti pembekalan itu dapat dirasakan mulai tour difabel ini berjalan. Di lantai satu, sebelum memasuki fasad, para difabel disambut oleh petugas pintu depan dengan ramah. Saat mulai memasuki fasad, relawan bisik mulai bertugas. Dalam hal ini, saya dibantu oleh Rangga (relawan Love artjog). Ia langsung menjelaskan secara singkat isi dari fasad yang saya temukan, sewaktu berjalan beberapa langkah dari pintu masuk.
“Pada fasad ini ada beberapa karya dari Agus Suwage dan Titarubi yang berkolaborasi hingga menghasilkan karya seni dengan tema “Suara Keheningan,” mas, sebagaimana yang saya jelaskan dari posisi kanan, kiri, depan mas Wachid. Selain itu juga ada informasi caption yang saya bacakan tadi. Di tengah-tengah fasad ini, berdiri juga sebuah tiang yang diameternya lumayan besar, sekitar dua jempol dan dua kelingking sewaktu bertemu, kalo soal besar tiang. Nah, di atas tiang itu ada benda berbentuk telinga, berwarna emas, berjumlah tiga buah, dan kalau bahannya itu dari plat besi,” jelas Rangga mengenai bangunan karya seni di tengah fasad.
“Menurut saya yang pernah mendengar dari pak Agus Suwage, objek telinga merepresentasikan ruang sosial kita yang di era modern ini sangat toleran pada kebisingan dan lenyapnya keheningan. Pada sisi lain, ada ruang yang memiliki pajangan karya seni dari batu bata yang terukir sebuah telinga yang memiliki desain ruangan yang hening. Karena hanya dengan indera pendengaran itulah kita dapat menguji pengalaman kebertubuhan dan mengalami keheningan yang kini mulai hilang,” Imbuh galery sitter fasad.
Tidak hanya diberikan penjelasan tentang makna, caption, dan pajangan yang ada. Saya dibantu oleh galery sitter untuk membayangkan karya seni yang ada lewat ilustrasi-ilustrasi yang coba dibangun di telapak tangan. Selain itu, saat berpindah ke ruang selanjutnya, galery sitter ini memegang tangan saya dan menunjukkan dengan arah tangan berbagai karya yang ia jelaskan. Misal ia menjelaskan tentang bulir-bulir padi, karung, dan tanah. Maka saat menyebut kombinasi karya seni itu, telunjuk saya juga ikut diarahkan pada objek yang dimaksud. Seolah-olah tangan ini menjadi pelengkap penjelasannya.
Saat berpindah ruang, menuju lorong yang memberikan makna masa kini, (karya Agus Suwage dan Titarubi dijelaskan sesuai pemaknaan galery sitter memiliki kombinasi tiga waktu. Masa lalu, masa kini, dan masa depan) di kanan-kiri lorong ada tanaman kecambah yang berderet sepanjang lorong. Di karya itu, saya juga diberikan pengalaman menyentuh sedikit dari tanaman tersebut, untuk meningkatkan pengalaman empiris, dan menjadi bahan serapan pemahaman karya seni yang dijelaskan oleh galery sitter. Diberikan pemantik makna, ceria saat saya ajak diskusi, dan mengapresiasi pemaknaan yang saya sodorkan, menjadi hal asyik saat saya menikmati jajaran karya Agus Suwage dan Titarubi.
“Saat ini kita mulai memasuki karya Titarubi. Setelah tadi, masnya mengunjungi ruangan yang menampilkan karya berbentuk batu bata yang ada cetakan telinga karya Agus Suwage. Pada ruangan dan lorong ini, Titarubi menumbuhkan berbagai jenis padi yang diiringi rekaman doa, pepatah, dan nyanyian pemujian dari berbagai tradisi masyarakat. Karya ini merupakan hasil penelitian Titarubi yang fokus mengkaji tanaman padi—berikut tradisi masyarakat nusantara tentang tanaman padi—mitos-mitos—Juga kisah sekelompok masyarakat yang tetap bisa menumbuhkan padi, dimana masyarakat kota pernah mengalami krisis sehingga padi sulit dan mahal didapat. Sehingga kolaborasi ini menciptakan kemegahan kearifan lokal yang sarat makna, mas,” jelas galery sitter sambil memegang tangan saya, membantu menunjuk objek-objek yang ia jelaskan.
Begitulah penuturan, pelayanan, dan interaksi yang saya dapatkan. Itu hanya sedikit cerita di lantai satu terkait karya Agus Suwage dan Titarubi yang mengusung tema “Suara Keheningan. Perjalanan berikutnya juga begitu. Tetapi dengan galery sitter baru, tetapi masih dengan relawan yang sama. Dari lantai satu saya cukup menikmati tour ini. Jadi, makin membuat penasaran di lantai-lantai berikutnya.
Sewaktu menaiki lantai 2, di tengah-tengah tangga saya dijelaskan ada sebuah karya seni yang berbentuk mobil. Berikut disampaikan nama dari sang seniman, caption, dan bentuk mobil serta saya disentuhkan langsung pada karya tersebut.
Ada sebuah karya seni yang lumayan sentimentil bagi saya. Yaitu pemajangan sebuah gumpalan besi dari bagian pesawat tempur hayabusa karya Jun Kitazawa seniman jepang, yang merupakan pesawat tempur milik angkatan perang Jepang kala itu. Sesuai informasi dari relawan yang menemani saya, hayabusa ini berarti Falcon atau juga disebut elang yang disulap menjadi layang-layang berekor panjang yang dapat diterbangkan. Pada karya seni ini, Jun Kitazawa menghadirkan kembali kenangan dan fragmen sejarah pendudukan Jepang di indonesia tahun 1942-1945.
Pada karya Jun Kitazawa ini, ada bagian ekor yang panjang. Dalam bagian itu, Kitazawa menorehkan narasi ingatan para orang tua yang mengalami penjajahan Jepang. Secara singkat Kitazawa ingin menghadirkan nuansa penjajahan yang menghadirkan banyak kepedihan, sehingga harus menjadi pembelajaran ke masa depan, agar memiliki cerita sejarah yang lebih baik. Sentimentilnya adalah, saya juga mahasiswa sejarah. Jadi, saat diinformasikan terkait karya Jun Kitazawa, hati, imajinasi, dan informasi berjejalan di benak membentuk sebuah penafsiran-penafsiran yang kompleks.
Tour Museum yang mengesankan
Selama tour berlangsung, keadaan komunikasi, informasi, dan ketangkasan saat menggandeng saya rasakan begitu menyatu. Sang relawan berjalan menemani saya dengan begitu enjoy. Keadaan penjelasannya sama seperti di atas. Setiap berpindah objek, otomatis si relawan akan memberikan informasi yang sebisa mungkin ia sampaikan. Seperti saat saya naik ke lantai dua dan di tengah-tengah tangga ada sebuah karya berbentuk mobil.
Namun, yang menjadi kendala adalah tidak semua galery sitter itu memiliki kualitas yang sama. Bila di lantai 1, saya bertemu galery sitter yang friendly dan mampu menginformasikan karya yang ia jaga, justru di lantai 2 dan 3 saya sempat menemui galery sitter yang kurang informatif dan cenderung pasif. Galery sitter itu hanya menjelaskan sesuai yang ada di caption. Tidak kurang tidak lebih. Bahkan ada yang kurang enak responsnya saat saya bertanya banyak hal terkait karya yang dijaganya.
“Memang saya mengakui kalau tidak semua galery sitter itu memiliki pemahaman inklusif, terbiasa dengan difabel, dan kemampuan adaptif yang bagus. Ada dari mereka yang masih canggung, takut, dan sungkan kepada pengunjung difabel. Sehingga dari hal-hal tadi, mungkin menyebabkan pasifnya sang galery sitter saat menghadapi pengunjung difabel,” jelas Broto saat saya tanya terkait ada beberapa galery sitter yang pasif, pada 5 Juli 2024.
Harus saya akui, kalau perjalanan tour kali ini sungguh mindblowing, berkesan, dan sudah bagus serta informatif. Konsep relawan yang mengusung nilai persahabatan juga menjadi sistem folentiring yang unik. Hasilnya adalah relawan yang serasa sahabat sendiri, friendly, enjoy, dan sewaktu menjelaskan itu bisa lebih tenang. Tentu itu semua merupakan hasil edukasi dari Love Artjog di bawah komando Broto.
“Aku salut dengan upaya Love Artjog tahun ini, mas. Mereka mengupayakan yang terbaik untuk kunjungan kali ini. Mulai penyediaan relawan bisik yang memadai, galery sitter yang sudah siap serta komunikatif, serta karya seni yang bisa lebih kita nikmati karena ada beberapa yang bisa di sentuh, menjadi tour kali ini lebih enjoy buat saya,” jelas Yudha, difabel netra yang ikut tour di 5 Juli 2024 saat diwawancara. Sekaligus perwakilan dari difabel netra yang menkondisikan dan mencari peserta difabel netra.[]
Reporter: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan Arief