Views: 7
Solidernews.com – “Ada mahasiswa netra, ya, di sini? Jadi, sekarang saya berdiri di depan kalian, menggunakan kacamata hitam. Saya cakep, loh. Saya juga pakai almamater merah seperti kalian, teman-teman kalian juga sama. Ruangan ini sangat luas dan membahana dengan kehadiran kalian para mahasiswa baru,” ujar Prof. Jamaluddin Jompa, Rektor Universitas Hasanuddin, dalam permulaan sambutannya (11/08/2025).
Sambutan itu diberikan dalam perkenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru (PKKMB) tingkat universitas, yang dihadiri oleh 10.400 mahasiswa baru dan 2.000 panitia pelaksana serta dosen dan para pejabat kampus. Prof. Jeje (nama panggilan akrabnya) juga menyampaikan sambutan hangat pada 18 mahasiswa difabel yang lolos masuk ke Unhas pada penerimaan mahasiswa tahun 2025 ini, serta menyampaikan bahwa Unhas akan terus berusaha untuk memberi pendidikan yang inklusif.
Di dalam teori implementasi kebijakan Edwards III, sambutan hangat dari Rektor Universitas Hasanuddin tersebut masuk ke dalam faktor ketiga pendukung suksesnya implementasi kebijakan, yaitu disposisi pelaksana (sikap pelaksana) untuk mendukung dan menginternalisasikan nilai-nilai yang tertuang di dalam kebijakan institusi yang dipimpinnya. Dengan bersikap inklusif, seperti mendeskripsikan lingkungan sekitar pada mahasiswa difabel penglihatan, Prof. Jeje dengan posisi tertinggi di dalam kampus berpotensi untuk diikuti oleh ratusan dosen dan ribuan mahasiswa yang hadir untuk juga memperlakukan difabel secara baik dan non-diskriminatif.
Untuk mendukung kampanye inklusivitas di kampus Unhas, dalam penyematan almamater dan penandatanganan pakta integritas secara simbolis, masing-masing ada mahasiswa difabel yang juga ikut naik ke atas panggung, disematkan almamaternya oleh rektor dan kemudian menandatangani pakta integritas.
“Memang sengaja dibuat seperti itu, agar semua yang hadir melihat langsung bahwa Unhas menerima mahasiswa difabel dan difabel juga punya hak untuk berkuliah,” ujar koordinator divisi kerelawanan Pusat Disabilitas saat diwawancarai oleh Solidernews (11/08).
Semangat inklusivitas terlihat jelas dalam GOR JK, lokasi penyelenggaraan PKKMB tingkat universitas, melalui penyediaan relawan pendamping di beberapa titik dan pelibatan mahasiswa difabel dalam setiap tahapan seremonial. Mahasiswa difabel datang, begitu ceria, membawa harapan baru bahwa di tempat itu akhirnya mereka akan mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan dengan setara.
Masalah pendidikan memang masih kerap dirasakan pelajar difabel di beberapa kota di Indonesia, khususnya yang berada jauh dari ibu kota negara. Di Kabupaten Gowa, misalnya, seorang pelajar bernama Rahmat harus bersekolah jauh dari rumah karena SLB yang ada di kabupatennya tak punya murid difabel penglihatan lain selain dirinya. Kenyataan kelas-kelas sepi dan hanya diisi satu dua orang ini, sementara guru datang tanpa memberi pengajaran yang akomodatif, terjadi di banyak SLB di pelosok Sulawesi Selatan. Bahkan, Fatin (salah satu mahasiswa difabel yang lolos ke Unhas tahun ini) sama sekali tak pernah mendapat edukasi mengenai perbedaan kemampuan melihat yang ia alami sejak lahir. Di Kabupaten Soppeng tempat dia tinggal, SLB memang ada tapi hanya ada di pusat kabupaten, dan orang-orang sama sekali belum akrab dengan istilah difabel.
“De na makita deceng,” cuma ini label yang biasa disematkan pada difabel penglihatan di perkampungan.
Dalam bahasa Indonesia, juga berarti tidak bisa melihat dengan jelas. Pelabelan ini sangat rentan membuat seorang difabel kehilangan haknya atas aksesibilitas dan akomodasi yang layak. Tidak jelas melihat itu adalah istilah yang sangat bias, mengawang-awang, dan tak jelas sama sekali. Tidak jelas melihat bagaimana? Orang yang plus atau silinder pun tidak bisa melihat dengan jelas, tapi ya memang hanya menggunakan kacamata lalu tidak membutuhkan aksesibilitas dan akomodasi yang layak. Fatin, dan difabel-difabel lain, punya perbedaan yang sangat jauh, tetapi kemudian tidak mendapat penanganan yang seharusnya, apabila mereka tinggal jauh dari ibu kota provinsi.
Melalui keberadaan Pusat Disabilitas, Universitas Hasanuddin terus berusaha untuk memberikan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi para mahasiswa difabel. Kepala Pusat Disabilitas, Dr. Ishak Salim, sangat memahami kerumitan hidup yang selama ini dihadapi oleh pelajar difabel di luar sana: pendidikan yang tidak inklusif, keluarga yang tidak suportif, organisasi perangkat daerah yang tidak langsung menyentuh permasalahan mendasar. Banyaknya hal yang membuat difabel tumbuh di tengah rasa ketidaknyamanan, bahkan untuk mendapatkan hak pendidikan. Maka dari itu, di Unhas, kepala Pusdis sangat berharap seluruh kebijakan mengenai kampus inklusi dapat benar-benar dijalankan agar seluruh difabel yang menjadi mahasiswa di Universitas Hasanuddin juga dapat merasakan nikmatnya menempuh pendidikan.
“Sebelum hari ini saya sangat gugup, takut, tapi bersemangat juga. Karena dulu kan sekolah di SLB terus. Nah, ini baru mau coba di lingkungan umum, jadi cemas. Nanti saya diterima atau bagaimana? Eh, ternyata diterima dengan sangat baik, sangat ramah,” ujar salah satu mahasiswa baru difabel saat diwawancarai Solidernews (11/08).
Kelegaan yang sama juga dirasakan oleh mahasiswa baru difabel lainnya. Di akhir-akhir sesi, memang ada dua mahasiswa difabel, yaitu Siti dan Aisya (difabel mental) yang mulai merasa tidak nyaman, tetapi itu bukan karena perlakuan diskriminatif, melainkan karena waktu penyelenggaraan yang sangat panjang. Dengan cekatan, tim Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin kemudian membuka jalur evakuasi dan mengantarkan keduanya menuju ruang kesehatan.
“Mereka istirahat di sana. Siti membaringkan diri, tenang. Aisya sempat makan dan juga menjadi tenang,” ucap koordinator kerelawanan Pusat Disabilitas Unhas.
Saat Siti dan Aisya memasuki ruang kesehatan, mereka segera dihampiri oleh para medis yang bertugas. Beberapa pendamping mahasiswa yang sedang beristirahat juga serempak mengarahkan tatapan mereka ke arah kedua mahasiswa difabel tersebut. Tetapi kemudian dengan sigap, koordinator kerelawanan dan beberapa relawan pendamping menginformasikan bahwa keduanya adalah mahasiswa baru difabel dan memohon agar semua orang tidak serempak menatap agar keduanya tak merasa terancam.
PPKMB di Universitas Hasanuddin terdiri dari tiga tahapan yang diselenggarakan dalam tiga hari yang berbeda. Permulaan yang sangat inklusif dan non-diskriminasi tentu membawa harapan besar bagi para mahasiswa baru difabel. Kampus juga sepertinya melakukan persiapan yang cukup matang untuk memberi akomodasi yang layak bagi mahasiswa difabel, terlihat dari penyediaan relawan pendamping, juru bahasa isyarat profesional, jalur evakuasi menuju ruang kesehatan, sampai dengan sikap-sikap para pemimpin kampus yang ramah pada mahasiswa difabel. Wakil Rektor 1 Bidang Kemahasiswaan, Prof. Ruslin, dan Direktur Kemahasiswaan bahkan mengajak para mahasiswa difabel secara khusus untuk berfoto dengan mereka. Tentu masih terlihat tatapan-tatapan ingin tahu atau keheranan dari berbagai penjuru, khususnya dari bangku mahasiswa baru, tetapi ini adalah langkah yang cukup baik untuk memulai tahun ajaran baru di kampus Unhas.[]
Reporter: Nabila May
Editor : Ajiwan









