Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Begini Cara Difabel Netra Mengenal dan Menavigasi Ruang Publik di Kota

Views: 8

Solidernews.com – Bagi sebagian besar orang, kota adalah peta visual: jalan raya, bangunan, lampu lalu lintas, rambu, papan reklame. Semuanya tersusun dalam koordinat yang terbaca melalui mata, baik di denah kertas maupun layar digital. Namun bagi difabel netra, kota tidak hanya dipetakan melalui penglihatan. Kota dihadirkan melalui suara, bau, sentuhan, bahkan perbedaan suhu.

Navigasi ruang publik oleh difabel netra dilakukan dengan mendeteksi suara kendaraan, deru pete-pete, denting becak, hingga teriakan pedagang kaki lima. Suara menjadi pemandu arah. Jalan raya dikenali bukan melalui marka atau lampu, tetapi melalui aroma asap knalpot, desiran angin laut, dan perubahan tekstur lantai.

Di sekitar pasar, keberadaan lokasi dikenali dari keriuhan suara tawar-menawar, langkah kaki yang semakin padat, hingga aroma ikan segar bercampur bau bumbu. Halte bus terdeteksi melalui suara rem kendaraan besar, diselingi pengumuman samar dari pengeras suara.

Namun, peta suara ini sering terganggu oleh kebisingan kota. Musik keras dari kafe, iklan komersial di pengeras suara, hingga suara mesin generator mengacaukan sinyal suara penting yang menjadi petunjuk arah. Ketika suara hilang dalam kebisingan, difabel netra kehilangan jalur navigasi auditori yang vital.

Selain suara, bau juga menjadi komponen penting dalam memetakan ruang. Bau roti dari toko, aroma kopi dari warung, bau solar dari bengkel, atau bau sampah dari selokan menjadi tanda lokasi. Namun bau memiliki keterbatasan: campuran polusi atau aroma yang bercampur membuat navigasi berbasis bau menjadi kurang akurat.

Ketika suara dan bau tidak cukup, sentuhan menjadi peta lain. Permukaan trotoar, tiang listrik, pagar besi, dinding bangunan—semua menjadi petunjuk arah berbasis tekstur. Guiding block atau jalur pemandu bertekstur memainkan peran penting, asalkan terpasang dengan benar, konsisten, dan tidak terhalang. Sayangnya, banyak guiding block di kota berhenti tiba-tiba, menabrak pohon, terpotong lubang, atau berakhir di dinding.

Simak juga ..  Susun Instrumen Asesmen Aksesibilitas Pariwisata: Unhas Menggandeng Sejumlah Pihak

Lebih jauh, struktur fisik jalan setelah proses betonisasi juga menjadi perhatian serius. Di banyak titik, ujung beton berbatasan langsung dengan selokan terbuka tanpa pelindung, menciptakan potensi bahaya serius bagi difabel netra. Jika tidak hati-hati, difabel bisa terperosok ke selokan hanya karena salah satu langkah keluar jalur. Pada titik lain, pinggir jalan memiliki perbedaan ketinggian yang ekstrem dibandingkan area luar, menambah risiko jatuh atau tersandung. Sentuhan yang seharusnya menjadi peta aman justru berubah menjadi jebakan yang mengancam keselamatan.

Abdul Rahman, seorang difabel netra di Kota Makassar yang aktif bermobilitas dengan berjalan kaki, dalam wawancara yang dilakukan solidernews (14/05/2025) menyoroti hal ini secara langsung. “Jalan beton itu bagus sebenarnya karena biar pinggi jalan di beton juga, jadi bagus jalannya. Tapi tidak ada tanda-tanda yang bisa dijadikan patokan kita sedang berada di bagian mananya jalanan. Kalau terlalu masuk itu risiko disenggol kendaraan, tapi kalau terlalu pinggi selokan selalu menanti. Saya sudah berapa kali jatuh ke got karena tidak tau mana pinggir jalan,” ungkap Abdul, yang lebih senang dipanggil dengan nama depan saja.

Abdul juga mengusulkan ide sederhana tapi krusial agar proyek betonisasi tidak hanya indah dipandang, namun juga aman bagi difabel netra, khususnya mereka yang buta total. “Di Jalan Ade Irma itu bagus betonnya. Jadi ada seperti garis lurus yang membatasi bagian badan jalan sama pinggir jalan. Nah itu teksturnya kan beda, dia agak lebih licin dibanding beton kalau diraba pakai kaki. Bagusnya semua jalan beton dibuatkan seperti garis itu. Kalau ndak salah itu garis warnanya putih nabilang orang. Cuma menurutku harus ditambah sedikit lagi ketinggiannya biar lebih terasa kalau diinjak. Kalau semua jalan beton ada garis begituannya, kita yang netra ini enak mi jalan karena sudah tau mana batas antara badan jalan sama bagian luar jalan. Jadi kalau jalan tidak terlalu ke pinggir.”

Simak juga ..  Informasi Terkait Layanan Jaminan Kesehatan Harus Mudah Dijangkau Difabel, Ini yang Dilakukan BPJS Kesehatan Makassar

Selain suara, bau, dan sentuhan, difabel netra juga mengandalkan perbedaan suhu untuk mengenali ruang. Ruang terbuka hijau, pepohonan rindang, dan taman kota menciptakan area dengan suhu lebih sejuk dibandingkan area tanpa pohon. Sensasi suhu yang lebih dingin menjadi indikator keberadaan ruang terbuka, area teduh, atau jalur pedestrian dengan peneduh.

Ilham, seorang difabel netra dengan kategori low vision, mengungkap bagaimana suhu menjadi penanda alami yang sangat ia rasakan. “Kalau sudah masuk gerbang kampus, saya biasanya sudah tahu walaupun tidak dijelaskan. Karena itu udaranya terasa sekali, sejuk, dingin seperti ada angin dari surga,” ujarnya sambil tertawa.

Oleh karena itu, keberadaan pohon kota tidak hanya berfungsi ekologis atau estetis, tetapi juga menjadi bagian penting dalam orientasi difabel netra. Pepohonan berfungsi sebagai penanda arah alami, membantu membedakan area panas (asfalt, beton) dengan area teduh. Jika pohon kota ditebang, difabel netra kehilangan salah satu petunjuk ruang yang bersifat tak kasatmata, tetapi terasa oleh tubuh.

Sayangnya, pembangunan kota sering kali mengabaikan fungsi multisensorial ini. Penebangan pohon demi pelebaran jalan, pemasangan paving tanpa mempertimbangkan tekstur, hingga hilangnya ruang terbuka hijau tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga menghapus petunjuk alami bagi difabel netra dalam membaca kota.

Kota yang dirancang dengan logika visual belum sepenuhnya mengakomodasi pengalaman multisensorial. Desain kota yang inklusif bukan hanya soal menghadirkan ramp atau guiding block secara simbolik, tetapi membangun ekosistem ruang yang mendukung semua indra sebagai alat navigasi.

Pendekatan desain inklusif memerlukan keterlibatan langsung difabel netra dalam proses perencanaan. Pendengaran, penciuman, sentuhan, dan perbedaan suhu harus diperhitungkan sejak awal, bukan hanya menjadi pelengkap setelah pembangunan selesai. Perencanaan ruang harus mempertimbangkan kejelasan suara petunjuk, konsistensi aroma, keamanan permukaan jalan, kontinuitas jalur pemandu, desain pinggir jalan yang aman, serta keberadaan pohon sebagai penanda suhu dan ruang.

Simak juga ..  Pusdis Kunjungi Konjen Australia di Makassar: Harapkan Perluasan Isu Inklusi Difabel

Pertumbuhan kota tidak hanya diukur dari megahnya bangunan atau padatnya infrastruktur, tetapi juga dari kemampuannya mendukung setiap warga menavigasi ruang secara setara. Perspektif difabel netra mengingatkan bahwa kota bukan hanya untuk dilihat, tetapi juga untuk didengar, dicium, disentuh, dirasakan.

Kota inklusif adalah kota yang menghadirkan diri melalui berbagai jalur indra, bukan hanya jalur mata. Dengan begitu, kota menjadi ruang yang memanusiakan, mendengarkan, dan menyertakan setiap keberagaman tubuh yang tinggal di dalamnya.[]

 

Reporter: Yoga Indar Dewa

Editor       : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

berlangganan solidernews.com

Tidak ingin ketinggalan berita atau informasi seputar isu difabel. Ikuti update terkini melalui aplikasi saluran Whatsapp yang anda miliki. 

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content