Views: 25
Solidernews.com – Ada banyak hal yang dikupas oleh para pegiat isu difabel pada saat bedah buku Inklusi Agraria, Mendekatkan Pengetahuan, Meningkatkan Pemenuhan Hak Kelompok Rentan beberapa waktu lalu oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) di Yogyakarta pada Rabu (31/7) lalu. Seperti yang disampaikan oleh Purwanti akrab dipanggil Ipung, tentang bagaimana hak atas tanah bagi difabel secara menyeluruh baik perempuan dengan difabilitas,anak dengan difabilitas baik fisik, sensorik, mental, intelektual maupun ganda.
Dasar hukum hak atas tanah bagi difabel secara hukum jelas diatur dalam UUD 45 pasal 33 ayat 3 menyebut “bahwa bumi air dan kekayaan…. dst.” Juga disebut dalam Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) nomor 5 tahun 1960 yang mengatur hak atas tanah dan pengaturan tanah secara hukum. Dalam aturan tersebut, dijelaskan bahwa kepemilikan penggunaan dan pengalihan juga ada Undang-undang nomor 20 tahun 2011 tentang rumah susun dan apartemen. Purwanti menambahkan jika realita di lapangan, difabel sulit mengakses rumah susun sebab mereka bisa masuk rumah tapi untuk masuk dapur dan kamar mandi sulit aksesibilitasnya. Lantas ada pula Undang-undang nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman. Jauh hari sebelumnya ada PP40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Atas Tanah. Tentang mengatur hak guna, banyak yang terjebak. Setelah ada sengketa ternyata HGB. Lantas ada pula PP 28/2011 tentang pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
Kemudian terkait isu disabilitas, Indonesia sudah meratifikasi UNCRPD dan diadopsi sebagai langkah yang diperlukan untuk penyandang disabilitas menikmati hak atas tanah setara dengan orang lain. Kemudian diturunkan menjadi UU nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas juga Duham UU 39/1999. Di UU ini ada 5 klasifikasi kelompok rentan yang terdiri dari orang miskin, perempuan hamil, anak-anak, lansia dan difabel. Ada lagi Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan ada sanksi di sana tapi implementasi tidak ada. Lantas lahirlah Permen PUPR nomor 14/PRT/M/2017 tentang akses bangunan gedung pemerintah dan pedoman teknis dan akses.
Masih ada Persoalan Difabel dalam Pengampuan
Menurut Purwanti, Pembentukan UU nomor 8 tahun 2016 masih mengadopsi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa ternyata pasal-pasal pengampuan menjadikan difabel sebagai subjek di bawah pengampuan. Hal ini kemudian dijembatani dengan aksesibilitas dan Akomodasi Yang Layak (AYL) yang sudah ada peraturan pemerintah (PP)-nya yakni PP nomor 39 Tahun 2020.
Pengampuan tidak sesuai UN CRPD maka yang ada adalah support decision maker, diadopsi di PP 39/2020 terkait AYL dalam proses peradilan tetapi bahasa dialihkan ke bahasa Indonesia. Ketika ia akan mengambil alih maka support-nya ada stakeholder yang mengurusi tentang pertanahan ini. Artinya ada penyediaan aksesibilitas dan AYL dalam proses litigasi dan nonlitigasi dalam penguasaan tanah.
Dalam kesempatan tersebut, Purwanti juga memberikan beberapa rekomendasi terkait hak atas bagi difabel. beberapa rekomendasi tersebut adalah
- Terkait penjaminan hak atas tanah atau asset. Salah satu hak difabel adalah memliki dan mewarisi harta bergerak dan tidak bergerak maka semestinya menggunakan atas nama pribadi difabel sendiri
- Dokumen surat surat berharga seyogyanya aksesibel untuk semua ragam difabel, termasuk penyediaan dokumen dengan huruf braille bagi difabel netra
- untuk difabel intelektual bagaiman ada bentuk sertifikasi yang dipahami oleh mereka.
Bagaimana dengan difabel netra saat mengakses terkait hak kepemilikan tanah? Narasumber lainnya, Muhammad Haryanto, difabel netra, salah satu kontributor buku, mengharapkan sertifikat tanah berbentuk digital juga akses difabel netra seperti dirinya. Ia juga berharap difabel mental dan intelektual jangan sampai kehilangan hak waris. Ia juga sangat mengapresiasi sekolah tinggi ilmu pertanahan nasional yang mewujudkan terbitnya buku tersebut.
Ro’fah, akademisi UIN Sunan Kalijaga, seorang ibu dengan anak difabel yang juga menjadi narasumber bedah buku melaporkan bahwa tim Pusat Layanan Difabel (PLD) di kampusnya baru saja menyampaikan laporan terkait perlindungan sosial yakni setelah melakukan penelitian di Klaten dan NTB. Informannya seorang difabel polio yang baru saja kehilangan sertifikat karena menikah lagi lantas tidak diurus nikahnya. Ro’fah menambahkan di NTB, 65% difabel tidak punya KTP disebabkan karena menikah tanpa pencatatan, sementara suami yang meninggal punya anak dari istri terdahulu, padahal ibu itu yang membangun rumah. Menurutnya ini persoalan gender dan difabilitas.
Ketika kriteria miskin bagi difabel tidak masuk dalam perlindungan sosial, maka ada biaya-biaya ekstra yang harus disandang oleh difabel yakni cost opportunity yang tidak masuk. Artinya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja difabel harus punya uang lebih. Maka Ro’fah memiliki dua pemikiran terkait reformasi agraria yang inklusif bagi difabel yakni : 1. Memikirkan pemenuhan aksesibilitas program pemanfaatan lahan, 2. Pendekatan spesifik jangan dimasukkan ke kategori miskin.
Lantas apa yang bisa dilakukan? 1. Knowledge production, 2. Mainstreaming isu difabel dalam kurikulum untuk smua fakultas. (Astuti)
Dalam kegiatan Bedah Buku Inklusi Agraria: Mendekatkan Pengetahuan, Meningkatkan Pemenuhan Hak Kelompok Rentan. Kegiatan bedah buku ini bertajuk Inklusi Agraria: Mendekatkan Pengetahuan, Meningkatkan Pemenuhan Hak Kelompok Rentan. Ketiga buku yang dibedah berjudul Mozaik Rupa Reforma Agraria, Reforma Agraria Inklusif dan Reforma Agraria Ekologis.
- Buku Mozaik Rupa Agraria
Sumber literasi agraria dengan langgam populer masih terbatas, umumnya berupa karya akademik yang sulit dipahami. Padahal, masalah agraria adalah masalah keseharian masyarakat, tentang bagaimana mereka mempertahankan ruang hidup dan sumber penghidupannya. Kebanyakan isi buku ini adalah karya warga biasa dalam bentuk cerita pendek, curahan hati, catatan pengalaman, bahkan komik yang diupayakan dapat diakses disabilitas netra jika disajikan sebagai audio book. Buku ini diharapkan dapat 1) mudah dimengerti oleh orang awam karena kesederhanaannya, 2) mudah dibayangkan (imajinatif) bentuk-bentuk praktiknya; 3) membantu masyarakat untuk merumuskan sendiri persoalan agrarianya, atau 4) menyumbang perspektif baru yang lebih luas tentang agraria yang dapat dikaji lebih dalam.
- Buku Reforma Agraria Inklusif
Judul buku ini ialah Reforma Agraria Inklusif: Praktik Penataan Akses Ramah Gender dan Disabilitas di Desa Wukirsari Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul (2024). Buku ini merupakan seri ke-2 dari buku seri ke-1 yang berjudul Pemberdayaan Tanah Masyarakat: Pembelajaran atas Proses Penataan Akses di Kabupaten Bantul (2023).
Penataan Akses merupakan bagian dari Reforma Agraria. Penataan Akses berbentuk serangkaian kegiatan untuk memberdayakan masyarakat/Subyek Hak Reforma Agraria (SRA), yang dimulai dari Rekrutmen Petugas Lapangan/Field Staf (FS); Penetapan Lokasi dan Penyuluhan program Penataan Akses oleh Kantor Pertanahan, Pemetaan Sosial, Pemodelan dan Pendampingan oleh FS. Buku ini menjawab salah satu tantangan dari buku seri ke-1, yaitu mengembangkan Penataan Akses yang mengarusutamakan pendekatan GEDSI (Gender Equality, Disability and Social Inclusion). Di dalamnya, pembaca dapat menemukan praktik Penataan Akses yang peka kelas sosial, gender dan disabilitas yang ditawarkan sebagai pendekatan baru, yaitu Reforma Agraria Inklusif.
- Buku Reforma Agraria Ekologis
Judul buku ini ialah Reforma Agraria Ekologis: Praktik Penataan Akses Ramah Lingkungan di Desa Panjangrejo Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul. Buku ini merupakan seri ke-3 dari buku seri ke-1 da ke-2. Buku ini menjawab salah satu tantangan dari buku seri ke-1, yaitu mengembangkan Penataan Akses dengan mengarusutamakan pendekatan sosial budaya dan ekologis. Di dalamnya, pembaca dapat menemukan praktik Penataan Akses yang peka lingkungan hidup, sosial dan budaya yang ditawarkan sebagai pendekatan baru, yaitu Reforma Agraria Ekologis.
Semua dapat diunduh di bawah ini:
Link Download
https://drive.google.com/drive/folders/1nsMTMwpYdVGxUZwAzgWLyheN7HOmoOqr
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan