Views: 3
Solidernews.com – Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers mengakui kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Hak pers nasional mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Kewajiban pers nasional memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Fungsi Dewan Pers (pasal 15 ayat (2) UU Pers adalah : 1. Melindungi kemerdekaan Pers dari campur tangan pihak lain, 2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, 3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik, 4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, 5. Mengembangkan komunikasi antara pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan, 7. Mendata perubahan pers.
Munculnya draft RUU Penyiaran membuat banyak pihak menolak, termasuk Dewan Pers. Kaitannya dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang banyak disebut dalam draft tersebut, Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Letsstalk_Sexualities, Sabtu (15/6) menyatakan bahwa Dewan Pers bukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dan anggota Dewan Pers dari Pers. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hanya bertugas untuk mengawasi dan tidak menerima pengaduan dari masyarakat. Yang memiliki fungsi adalah Dewan Pers.
Penegasan Ninik Rahayu bahwa bagaimana orang-orang yang dipilih secara politik akan menjadi mediator (seperti disebut dalam draft RUU) yang bisa menjauhkan dari objektifitas.
Terkait soal penolakan penayangan jurnalistik investigatif di draft RUU Penyiaran menurut Ninik berlawanan dengan aturan pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Dampak lain dari larangan itu yakni membungkam kemerdekaan pers. Padahal jelas tertera dalam pasal 15 ayat (2) huruf a, bahwa fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. Peniadaan sensor pemuatan berita itu buah dari reformasi. Pers dan masyarakat menghendaki kemerdekaan dalam pemberitaan, sesuai dengan kaidah jurnalistik dan koridor lain yang menuntut tanggung jawab pers. Sangat disayangkan jika kemerdekaan berekspresi itu kembali ditarik mundur dalam kehidupan berbangsa yang seyogyanya semakin demokratis.
Pada dasarnya pers bekerja bukan untuk diri sendiri atau institusi tempat mereka bekerja. Pers bekerja dan menghasilkan karya jurnalistik untuk memenuhi hak publik dalam mendapatkan informasi. Sedangkan hal publik untuk memperoleh informasi adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang sangat hakiki. Oleh sebab itu larangan menyiarkan sebuah karya jurnalistik jelas bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Poin-poin di atas mendasari dewan Pers untuk mengajukan keberatan atau menyampaikan masukan terhadap beberapa pasal dalam draft RUU Penyiaran agar tidak tumpang tindih atau bahkan kontradiktif dengan Undang-Undang Pers. Dewan Pers juga telah menggelar rapat bersama seluruh konstituen dan sepakat untuk meminta penundaan revisi RUU Penyiaran dan memastikan pelibatan masyarakat yang lebih luas.
Draft RUU, meski belum disahkan menjadi RUU, menurut Ninik Rahayu sama saja mengekang, mengontrol. Ia menambahkan draft RUU ini bukan regulasi pertama yang ingin membungkam.
Pada tahun 2015 hasil kajian dari satu lembaga dan memberikan draft tersebut ke Kementerian Hukum dan HAM setelah itu diserahkan ke Dewan Pers. Juga Undang-Undang Pemilu tahun 2017 yang ingin membatasi penyiaran, termasuk Undang-Undang Cipta Kerja. Keempat ada di KUHP dengan menghalangi kebebasan berekspresi. Dewan Pers berencana akan melakukan Juditial Review (JR) untuk UU KUHP yang akan berlaku pada tahun 2026. “Pers bekerja bukan untuk diri sendiri. Pers bekerja untuk memenuhi kerja-kerja jurnalistik, “pungkas Ninik Rahayu.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan Arief