Views: 24
Solidernews.com – Dalam pelaksanaan pemilu, pemerintah bertanggung jawab pada pemenuhan hak politik warga tanpa diskriminasi, termasuk warga difabel. Mereka dijamin mendapatkan perlakuan dan fasilitas selama menggunakan hak pilihnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengamanatkan persamaan kesempatan dan/atau akses bagi warga difabel. Kendati dari tahun ke tahun terus diupayakan akan tetapi hingga pemilu 2024 inklusivitas dan aksesibilitas bagi difabel belum juga dipenuhi. Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel, Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas dan Pusat Rehabilitasi YAKKUM telah melakukan pemantauan pemilu di 223 TPS, 42 kabupaten di 20 provinsi, dan hasilnya cukup mengecewakan. Menurut Direktur SIGAB Indonesia M. Joni Yulianto, penyelenggaraan pemilu 2024 mengalami kemunduran.
Diskusi yang diselenggarakan oleh Katolikana, Jumat 22 Februari 2024 melalui kanal youtube Katolikana menghadirkan Ninik Heca (Program Officer SOLIDER – SIGAB Indonesia), Nur Syarif Ramadhan (Eksekutif Nasional FORMASI Disabilitas), dan Ranie Ayu Hapsari (Pusat Rehabilitasi YAKKUM) dan Lukas Ispandriarno selaku moderator. Proses diskusi berlangsung hampir 1,5 jam dengan isu yang menarik tentang hasil pemantuan yang telah dilakukan ketiga lembaga tersebut.
“Data difabel banyak ditemukan tidak sebagai difabel, teman-teman cek di website resmi KPU, didata sebagai pemilih biasa. Konsekuiensinya adalah TPS sulit untuk diakses. Contoh difabel netra yang tidak ddata bukan difabel netra maka tidak tersedia surat suara braile atau form C3 untuk pendamping. Temuan 2019 sudah ada namun mengapa juga terjadi di 2024 lagi”, ungkap Ranie.
Di semua TPS yang kami pantau, hanya ada 2 alat bantu mencoblos, parahnya lagi ada yang membatalkan hak pilih dari difabel netra dan ini terjadi di 2 TPS di Bali. Hal ini sudah merampas hak difabel. TPS di Makassar ada yang ditemukan difabel tidak diizinkan untuk didampingi pendampingnya. Petugas KPPS menafsirkan sendiri aturan dalam penyelenggaraan pemilu. Petugas KPPS diketahui enggan mencatatkan pemilih difabel ke dalam daftar pemilih difabel”, penyampain dari Nur Syarif.
Banyak pemilih difabel datang ke TPS namun petugas KPPS tidak menuliskan jumlah difabel sesuai dengan jumlah yang ada. Hal ini terjadi di Kupang NTT dan Makassar Sulawesi Selatan. Petugas KPPS juga kurang mendapatkan pembekalan agar peduli pada pemilih rentan. Salah satu akibatnya saat pencoblosan malah disaksikan petugas sehingga melanggar asas kerahasiaan.
“Upaya yang dilakukan pemantauan Pemilu yang kami lakukan memang tidak merata ke seluruh wilayah Indonesia. Perlu dibutuhkan kolaborasi bersama untuk pemantauan pelaksanaan pemilu. Sementara para teman pemantau yang dibimbing dan dilatih pada awal Februari ada tantangan keterbatasan media karena dilakukan melalui online. Banyak yang terhambat sinyal dan kondisi fisik, masih awam serta perangkat yang digunakan. Solusi yang kami lakukan dengan pendampingan kepada pemantau yang masih butuh pendampingan”, terang Ninik Heca.
Pertanyaan yang diajukan dalam diskusi yang disampaikan oleh peserta yakni tentang hasil evaluasi yang dilakukan dan bagaimana pemerintah harus menidaklanjutinya. Menurut Ninik Heca, data difabel harus jelas kemudian alat bantu bagi pemilih difabel sensorik netra untuk kertas suara, selain itu TPS dibuat akses untuk difabel. Rekomendasi yang akan kita serahkan ini dapat segera ditindaklanjuti. Sementara pertanyaan peserta lain ada beberapa petugas yang tidak ramah dan masih adanya kecurangan dalam pemilu terjawab melalui pernyataan dari Ranie yakni penyelenggaraan pemilu yang aksesibel ini merupakan tanggungjawab negara, pemenuhan hak politik dfabel dapat terpenuhi. Para penggiat difabel mau untuk berdiskusi dengan pemerintahan, namun jangan sampai ini hanya sebagai aduan formatif saja. Adanya tindaklanjut sebagai pelindungan hak politik difabel perlu dilakukan oleh penyelanggara pemilu dan sebentar lagi kita akan melaksanakan Pilkada serentak.[]
Reporter: Erfina
Editor : Ajiwan