Views: 8
Solidernews.com – Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, Pusat Rehabilitasi Yakkum, dan Formasi Disabilitas, melalui dukungan Program INKLUSI (Kemitraan Australia – Indonesia untuk Mewujudkan Masyarakat Inklusif), melaporkan temuan dari hasil survei pemilu yang dilakukan di 20 Provinsi dengan jumlah pemantau tersebar di 218 TPS di 42 kabupaten/kota se Indonesia.
Bertempat di Hotel Morrissey, Menteng, Jakarta Pusat, pada tanggal Jumat 22 Maret 2024 dengan menghadirkan berbagai organisasi difabel, Bawaslu RI, KPU RI dan mitra jaringan telah hadiri lebih dari 150 peserta secara langsung maupun online (zoom meeting).
Mengawali dengan sambutannya, Joni Yulianto selaku direktur Sigab Indonesia menyampaikan bahwa pada tahun 2023 Formasi Disabilitas menuliskan Catatan Tahunan dengan salah satu temuan utama adalah bahwa masih ada catatan yang sangat buruk tentang data pemilih difabel.
“Hari ini kami menyelesaikan agenda kolektif bersama yang dimulai dari survey untuk melihat persepsi difabel dan bagaimana mereka ingin berpartisipasi dalam pemilu, kemudian kami ikuti dengan pemantauan. Hasilnya menunjukkan 90% difabel ingin menggunakan hak pilihnya, namun ironisnya situasinya masih sama dengan tahun 1999 saat saya kuliah dulu”, ungkap Joni.
Selama pemaparan hasil survey, Nur Syarif Ramadhan menyampaikan bahwa hasil pemantau mencatat 45% TPS yang tidak memiliki informasi data pemilih difabel. Hal ini menunjukkan asih adanya pengabaian layanan, aksesibilitas dan pendampingan yang dibutuhkan pemilih difabel. Rekomendasi yang diberikan berdasar hasil temuan pantauan, menyatakan bahwa untuk pemilu mendatang yang pertama harus diperhatikan oleh pihak KPU, Bawaslu, BPS, Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil perlu melakukan sinkronisasi data pemilih. KPU perlu memperbaiki daftar pemilih dan pantarlih perlu dibekali dengan kapasitas untuk melakukan pendataan dengan baik. Pelibatan organisasi difabel perlu dilakukan untuk memastikan akurasi data pemilih difabel.
KPU perlu memastikan penjangkauan bagi difabel yang tinggal dalam panti atau rehabilitasi, sementara Bawaslu perlu memberikan pemantauan penyelenggaraan pemilu dalam panti termasuk juga melakukan perluasan sosialisasi terutama untuk menjangkau kelompok difabel. Fasilitasi pendidikan politik bagi difabel secara luas juga harus merambah ke difabel. Partai politik perlu membangun pengkaderan politik secara sistematis untuk memperkuat inklusivitas.
“Bagi para calon legislatif hingga dengan calon kepala negara perlu memiliki pengetahuan tentang disabilitas dengan perspektif yang tepat. Selain itu KPU perlu mewajibkan daftar pemilih tetap maupun sementara baik di KPU maupun di lokasi PPS, sehingga mereka memahami lokasi pemilih difabel. Bagian terakhir, Bawaslu perlu untuk mengawasi poin-poin di atas dan memperbaiki sistem pendaftaran pemilih”, jelas Syarif.
Penanggap pertama, Dante Rigmalia selaku Ketua Komisi Nasional Disabilitas juga menyampaikan banyak hal yang masih kurang dari penyelenggaraan pemilu, seperti bilik suara yang terlalu sempit dan gambar yang terlalu kecil.
“Saya harus hadir lebih awal, paling awal agar saya menjadi yang pertama, karena jika sudah siang bisa jadi saya tidak dengar jika nama saya dipanggil”, terang Dante.
Sejalan dengan Dante, Ariani Soekanwo juga ikut menambahkan bahwa tantangan akses dan pendataan bagi difabel dalam pemilu menjadi sorotan utama. Prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi harus menjadi fokus utama, serta perlunya perhatian khusus dari partai politik terhadap kelompok rentan.
Perwakilan dari PERLUDEM, Titi Anggraini menambahkan bahwa pelaksanaan pemilu 2024 menjadi pemilu paling buruk dibanding dengan 2019. Sistem pemilu yang sangat kompleks dengan pemilihan presiden, DPR, DPRD hingga DPD bukan pemilu serentak namun pemilu borongan, alangkah baiknya ada satu terobosan untuk memisahkan pemilu presiden dengan yang DPRD.
Komisioner KPU RI, Muhammad Afifudin memberikan keterangan bahwa KPU belum melakukan evaluasi pasca PEMILU yang lalu. Namun demikian beberapa refleksi dari penyelenggaraan yang ada tentunya masih banyak kekurangan. Soal isu difabel yang utama adalah soal pendataan pemilu. Jika dihitung pada pilkada serentak 2017 total pemilih 1,2 juta sedangkan pada 2019 hanya 350 ribu dan kami menyadari bahwa data belum valid meskipun pengecekan online sudah dilakukan sebagai upaya perbaikan.
Rahmat Bagja selaku ketua Bawaslu RI menyatakan bahwa temuan Bawaslu sudah disampaikan pada teman-teman KPU dan kedepan harus menjadi perbaikan terutama karena sebentar lagi akan menyambut Pilkada. Kedepannya yang harus dilakukan KPU adalah bagaimana saat proses pemungutan suara dan tentunya terkait dengan data dan akses pada TPS. Jangan sampai Pantarlih menghindari hal-hal yang tadi sudah disampaikan sehingga mereka perlu mendatangi dam melakukan pengecekan pada semua pemilih.[]
Reporter: Erfina
Editor : Ajiwan